POV Zahira“Tapi masalahnya ... Pak Adnan lah atasan kami, dia pemilik hotel ini, Bu!”“Apa?”Aku terperangah, kedua mataku seakan hendak keluar dari tempatnya, pun mulutku membulat sempurna. Tak bisa kubayangkan seperti apa wajahku saat ini. Yang jelas, aku sangat terkejut mendengar penjelasan pegawai hotel ini.Bagaimana bisa? Sejak kapan mas Adnan punya hotel. Oh ... ya, bukankah lelaki itu adalah pembohong sempurna, sehingga apapun bisa ia sembunyikan dariku.Ketika aku didera pikiran yang kacau, tiba–tiba terdengar langkah kaki dari lorong kamar hotel, semakin cepat dan semakin dekat. Aku mengerjap saat menyadari pemilik langkah kaki itu adalah mas Adnan. Ia tersenyum begitu melihatku, lalu bersiap memelukku.Sayangnya, aku kalah cepat dengan gerakannya, saat tanganku baru saja meraih gagang pintu, lengan kekar mas Adnan sudah melingkar di perutku. Dia memelukku dari belakang, menyandarkan kepalanya tepat di bahu kiriku. Sementara aku meronta, melepaskan pelukannya dari tubuhku.
“Ibu kandung?”Aku meyakinkan, mungkin telingaku salah mendengar“Iya Zahira, Sarmila hanyalah lbu sambung Adnan. Akulah yang telah melahirkannya. Suamiku lebih memilih wanita picik itu ketimbang aku, istri yang telah membersamainya dari nol,” ucap wanita itu, matanya berkaca–kaca dan menerawang jauh ke depan. Seakan berusaha mengumpulkan kembali memori masa lalunya.Ia semakin mendekatiku, tangannya yang mulai keriput menyentuh jari–jariku yang dingin. Kepalanya mendongak ke arahku.“Zahira, ayo ikuti Ibu!” ajaknya.Seakan ada sinar kekuatan yang menarikku untuk menuruti setiap ucapannya. Aku pun menyambut genggaman tangannya lalu berjalan beriringan menyusuri lorong ini menuju sebuah ruangan di ujungnya.Mas Adnan menyorong kursi beroda itu, pun Erika yang mengimbangi langkah kaki kami.“Duduklah, Nak!” ucapnya saat kami sudah berada di ruangan yang bernuansa putih, dindingnya banyak di hiasi dengan potret lawas sebuah keluarga. Aku masih terpaku sambil mengedarkan pandangan pada ru
“Iya, Mas. Aku percaya padamu. Kau masih Adnan yang kukenal, yang selalu membawa namaku di hatimu kemanapun kakimu melangkah.”Aku tersenyum, mengelus dada bidang itu, menyandarkan kepala di sana. Lalu memejam saat kecupan demi kecupan ia hujamkan ke keningku.Untuk beberapa saat kami larut dalam haru dan bahagia, saling menggenggam erat jemari bersama. Hingga aku kembali insaf bahwa ada dua orang lagi di sini selain kami.“Ibu, maafkan aku.”Aku melepaskan genggaman dari jemari mas Adnan. Kakiku melangkah ke arahnya, lalu berlutut mensejajarkan wajahku dengannya yang terduduk di kursi roda. Wajah itu, menyiratkan suatu kerinduan serta rasa kesepian yang amat melanda.“Kita baru pertama bertemu, Zahira. Kau belum ada salah padaku,” ucapnya tertawa samar. Diiringi tawa renyah dari kami berdua dan senyum manis dari Erika.“Erika, maafkan aku. Aku telah menyakitimu tadi.” Aku berbalik lalu mendekat padanya, meraih kedua tangannya yang dihiasi gelang mutiara. Diri ini sama sekali tak mam
Hari ini adalah kembalinya kami dari berlibur. Rasa lelah yang melanda terbayar sudah dengan kebahagiaan yang kami lewati. Waktunya kembali ke kota untuk melakukan rutinitas seperti biasa. Walaupun masih hari Jum'at, sebaiknya memanfaatkan esok untuk istirahat. Sebenarnya, Ibu menolak ketika kami ajak ikut ke rumah, namun dengan berbagai rayuan, akhirnya ibu mau menuruti permintaan kami. Tentu sambil membawa Erika, gadis berparas bidadari tersebut. Sebelumnya, mas Adnan mengajakku memantau beberapa hotel miliknya di kawasan wisata Brastagi. Selain hotel, keluarga ini juga memiliki puluhan homestay dan beberapa villa lagi. Hanya saja semuanya masih atas nama mas Adnan. Maka dari itu, ia berencana untuk membagikan lagi kepada kedua adiknya sesuai wasiat almarhum Hajsa Hamdani, ayah kandung mas Adnan, mantan suami nyonya Friska. Meski orang tua mas Adnan bercerai karena kehadiran mama Sarmila, namun ayah Hajsa sama sekali tak meninggalkan apapun kepada mama Sarmila. Sepetinya ia paham, k
“Anak? Renita hamil?”Bagai disambar petir di siang bolong, aku benar-benar tak menduga akan hal ini. Hatiku seperti sedang diremas oleh ribuan tangan, jantungku seperti ditusuk oleh ribuan jarum.Apa lagi ini?Bukankah kemarin mas Adnan bilang hanya terpaksa menikahi Renita dan tak pernah menyentuh wanita itu sama sekali. Lalu bagaimana ini bisa terjadi?Sekali lagi ia telah membohongiku.“Mas ....“Aku seperti kehilangan seluruh tenaga, bahkan untuk bicara pun aku tak mampu, leherku seperti dicekik oleh sesuatu yang begitu hebatnya. Ingin bertanya tentu percuma, hanya akan ada alibi–alibi selanjutnya.Beku. Sekujur tubuh ini rasanya beku, tak kuhiraukan berbagai alasan yang diutarakan mas Adnan. Bagiku sudah percuma. Kepercayaanku telah menguap seiring harapan bahagia yang pupus.Lamat–Lamat kulihat mama dan Lula kepayahan membopong Renita menuju mobil Lula, lalu mereka pergi entah ke mana.“Itu bukan, anakku!”“Zahira, percayalah!”“Zahira, dengarkan dulu!”Aku tak peduli, mas Adna
Hari ini kulewati seperti biasa, mengurus Tabitha serta menyiapkan sarapan dan makan siang untuk penghuni rumah ini.Aku sudah menghubungi Masli untuk melepas rindu dan mengajaknya pergi ke butikku. Aku harus melupakan masalah ini sejenak dan fokus terhadap perkembangan butikku setelah mengalami kerugian besar karena mama dan Lula. Aku sudah melaporkan kasus ini ke kepolisian meski tanpa izin dari mas Adnan. Bagiku ini adalah urusanku, bukan urusan keluarga mereka. Apalagi, dendam ini semakin tebal sejak mengetahui siapa mama Sarmila sebenarnya, jadi aku tak perlu takut kualat dan dianggap sebagai menantu durhaka.Aku pergi tanpa mengajak siapa pun, hanya aku dan Tabitha saja. Mobilku berhenti di depan rumah Masli, lalu menunggunya beberapa menit untuk keluar dari rumah dengan mengenakan setelan kulot berwarna mocca dan sebuah kaca mata hitam.“Hai, bayi mungil, apa kabar?”Masli mencubit pipi gembul Tabitha yang sedang menggenggam mainan bergemerincing. Ia menggerakkan berulang dari
“Tentu, Bu. Istriku pasti percaya, aku sudah berjuang sejauh ini. Mana mungkin dia masih curiga padaku, ya kan sayang?”Mas Adnan begitu percaya diri, ia tak bisa menyembunyikan. Kebahagiaan atas bukti yang telah memperjelas alasannya.“Iya, Mas. Maafkan aku, aku percaya padamu,” ucapku tersenyum simpul. Mas Adnan begitu kegirangan, ia menggendong Tabitha ke atas berkali-kali, sampai bayi itu tertawa terbahak.“Terima kasih, Sayang. Ingat pesan Ibu, rumah tangga akan bertahan lama jika kita saling percaya pada pasangan, ya ‘kan, Bu?” Mas Adnan memelukku erat, ia menjawil hidungku lalu menarik pelan daguku. Diiringi tepuk tangan oleh Erika yang sedari tadi turut memperhatikan aktivitas di setiap durasi di video tersebut. Aku sadar pihak hotel tidak akan dengan mudah menyerahkan rekaman seperti itu jika tidak untuk kasus berat ataupun karena ada sangkut paut dari pihak pengelola hotel. Mas Adnan mungkin memang mempunyai relasi di sana, mengingat bahwa mas Adnan juga pengusaha di bidang
Aku berusaha menenangkannya dengan memberinya segelas air putih.Mengusap–usap lembut bahunya agar kesedihannya dapat berkurang.“Mbak …. “Lula melihatku dan ibu bergantian, mungkin ia masih mengumpulkan keyakinan tentang wanita yang mengaku sebagai ibu kandungnya.“Iya, Lul. Mama Sarmila bukanlah ibu kandungmu. Mama tidak merawat kalian dengan ikhlas, dia hanya mengincar harta peninggalan almarhum ayah Hajsa,” ucapku hati–hati, seakan paham makna tatapan mata Lula yang menyiratkan kesedihan mendalam. Saat ini ia merasa telah dikhianati dan dimanfaatkan. Mama Sarmila telah membuangnya begitu ia telah berhasil memiliki kalung itu.Lula menatap ibu sesaat, lalu menghambur ke pelukan ibu. Keduanya larut dalam tangis nan haru.“Ibu ... hu hu hu, maafkan aku karena sama sekali tak mengingatmu.”Lula masih menangis, air matanya tumpah membasahi bahu ibu.“Tidak apa-apa, Sayang. Waktu ibu pergi kamu masih sangat kecil, masih tertidur di ayunan,” hibur ibu pada Lula. Mereka berpelukan hingga