Aku lepaskan rambut itu dengan sekali hentakan. Hingga beberapa helainya jatuh ke lantai. Wanita itu ingin melawan, tapi terdengar teriakan seorang lelaki yang memanggil namanya."Non Renita, ayo, Non. Nyonya Friska sudah memanggil," ajak Pak Asad yang rupanya datang atas perintah Ibu. Tanpa melawan lagi, ia pun segera pergi ke luar. Menyusul Ibu di mobil untuk segera pergi ke rumah sakit.Aku tersenyum sinis, memandang kepergian wanita yang kesakitan karena rambutnya kutarik. Sebenarnya, aku ingin sekali melakukan yang lebih menyakitkan dari itu. Tapi, aku tidak ingin terlihat seperti monster di hadapan Tabitha, anakku. Masih ada waktu yang tersisa untuk melampiaskan sesak di dada ini.Sekarang, rumah terasa sepi. Karena hanya kami bertiga yang tersisa di rumah ini. Aku, Tabitha, dan Marwah yang masih betah di kamar. Sepertinya ia tidak tahu menahu tentang yang terjadi barusan.Dengan langkah gontai, aku naik ke lantai atas kamar ini dan mencoba mengetuk pintu kamar yang terletak di
"Iya, Kak. Gak papa, aku juga mau lanjut tidur. Masih ngantuk soalnya." Marwah menguap kembali, dari nada bicaranya ia sudah kembali tegar seperti sebelumnya. Ia juga berusaha tersenyum simpul walau terlihat begitu dipaksakan. Melihat keadaannya sesaat, cukup membuat rasa cemas yang sedari tadi mendominasi pikiranku jadi menghilang."Percayalah, semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana kita," bujukku meletakkan sebelah tanganku di atas tangannya yang terulur di atas ranjangku. Mengalirkan sedikit ketegaran yang aku punya kepada wanita bermata sayu itu.Ia menjawab dengan guratan senyum seperti tadi, simpul dan dipaksakan."Makanlah dulu, Dek. Jangan biarkan perutmu terus-terusan kosong. Atau ... kamu mau kakak belikan nasi goreng, mie rebus atau pizza?" Aku tawarkan beberapa makanan favoritnya, barangkali selera makannya yang hilang akibat patah hati kembali bertandang."Emmm, nasi goreng aja, Kak. Sekalian jus martabenya, ya.""Oke." Kebetulan lidahku juga ingin sekali d
Wanita itu berdecak, lalu kembali untuk duduk di kursi roda yang dipegang Mas Adnan sambil menggembungkan pipi karena kesal.Aku dan Mas Adnan tersenyum. Aku senyum karena melihatnya berkali-kali kalah dariku. Kalau Mas Adnan entah karena apa."Terima kasih, Mas." Lagi-lagi Renita tersenyum saat ia baru saja turun dari kursi roda dan Mas Adnan membuka pintu penumpang untuknya. Ia naik terlebih dahulu lalu aku pun menyusul setelah Mas Adnan membuka pintu untukku. Lalu ia ke belakang untuk menyimpan stroller di bagasi.Lima menit dalam perjalanan, cicitan Renita terus yang terdengar di antara kami."Mas Adnan, maaf, ya. Aku gak enak ngerepotin kalian terus." Mas Adnan tertegun sejenak, namun matanya tetap lurus pada jalanan ramai di depannya. Malam ini suasana jalan raya memang begitu padat oleh banyak kendaraan."Hhmm," jawab Mas Adnan seadanya. Sementara aku lebih memilih memandang ke luar jendela. Menyaksikan hilir mudik pejalan kaki di pinggir keramaian kota.Wanita itu terus saja
Tak bisa kujelaskan seperti apa perasaanku setelah mendengar ucapan Renita barusan. Lelaki itu, ah sangat menyebalkan sekali. Ammar menatap iba ke arahku, namun kubalas tatapannya dengan wajah sinis tak bersahabat."Benarkah?" Ibu terkejut, lalu beralih melihatku. Wajahnya menunjukkan gurat yang tidak bisa kujelaskan, antara haru dan juga menyesal. Karena Ibu memang sudah tahu bahwa Ammar juga adalah kekasih Marwah, jadi ia canggung untuk bersikap. Mendukung atau pun menolak, sebenarnya sama saja baginya. Tidak berpengaruh padanya.Kulihat Ammar mengangguk sambil tersenyum, lelaki itu urung mendekat. Lelaki berkemeja kotak-kotak itu hanya duduk di sofa dekat pintu. Tanpa berujar sepatah sekata pun. Meski pandangannya kosong, ia terus saja menyaksikan keharmonisan yang tercipta antara Renita dan kedua orang tuanya.Wanita itu sangat pandai menghibur hati orang yang sakit, merangkai kalimat manis sebagai obat bagi hati yang lara. Entah itu tulus atau hanya sandiwara. Aku tidak mampu men
Story Adik Iparku di Akad Nikah SuamikuTak lama, terdengar suara klakson mobil dari depan, itu pasti Vioni. Tadi, aku menelepon dan memintanya untuk datang ke sini menemaniku. Vioni lah satu-satunya yang bisa kuharapkan saat ini. Aku butuh gadis itu sekarang. Aku perlu bantuannya untuk mengurus Tabitha dan menemaniku malam ini pergi menyusul Mas Adnan ke rumah sakit."Vioni, maafkan karena telah merepotkanmu!" ucapku setelah menarik daun pintu dan mempersilahkannya masuk."Iya, gak apa-apa, Mbak." Aku mengajaknya duduk di sofa ruang tamu sambil memangku Tabitha."Sepertinya, setelah ini aku harus segera mencari baby sitter untuk Tabitha, karena aku mulai kerepotan, apa kamu punya teman atau saudara?" ucapku sembari memegangi sebelah kepala yang terasa berdenyut. Jujur, sebenarnya aku masih trauma untuk mempekerjakan orang lain di rumah ini, baik sebagai pembantu maupun babysitter. Bayang-bayang pengkhianatan selalu muncul di pikiranku, tentang hancurnya pernikahan Ibu karena seorang
Aku pun sudah tidak sabar untuk melihat bagaimana reaksi bahagia Marwah melihat kedatangan Ammar bersama keluarganya ke rumah. Selain itu, aku pun ingin menyaksikan sendiri kehancuran Renita. Wanita itu tampak gusar akhir-akhir ini. Mungkin karena kehilangan jejak Ammar yang tiba-tiba kembali menghilang. ***Hari ini jadwal kepulangan Marwah dan Ayah Haris. Untungnya ini hari minggu, sehingga aku dan Mas Adnan pergi bersama-sama ke rumah sakit. Sementara Bu Yati kuminta untuk menyiapkan kamar Ibu yang baru rampung.Kami sengaja membawa Marwah pulang lebih awal ke rumah, agar tidak berjumpa dengan Renita di rumah sakit. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa selama empat hari ini Marwah juga berada di rumah sakit yang sama. Selama ini aku dan Mas Adnan sepakat untuk merahasiakan tentang sakitnya Marwah dari Ibu, Ayah Haris dan juga Renita. Aku tidak ingin Renita semakin berbahagia melihat kehancuran Marwah akibat patah hati."Kamu istirahat ya, Dek! Jangan samp
"Hmmm, banyak banget masaknya, Kak!" Seru Marwah saat melihatku dan Bu Yati sedang sibuk meracik sayur dan bumbu untuk acara malam ini."Sore nanti kami harus sudah ada di rumah, ya. Supaya kita bisa makan malam bersama," gumamku memperhatikan gadis di hadapanku yang tubuhnya dibalut oleh tunik bermotif bunga dengan hijab polos berwarna mocca. Manis sekali."Inshaallah, Kak. Emang ada acara apa, sih?" lontarnya dengan kedua mata yang terus memperhatikan tumpukan bahan mentah di atas meja dapur."Hanya syukuran kecil saja, karena kamu dan Ayah Haris sudah kembali sehat," ucapku santai agar tak menimbulkan kecurigaan. Karena selain mengadakan doa bersama dengan para anak yatim, akan ada kejutan manis untuk Marwah setelahnya.Begitulah tradisi dalam keluargaku, Mamak akan mengadakan kenduri jika hajat dan keinginan telah tercapai, seperti kesembuhan Marwah ini. Aku berjanji akan melaksanakan syukuran bersama anak yatim jika adikku itu kembali sehat, pun Ayah Haris. Syukuran ini sekaligus
"Ren ... sini!" ibu mendesah sembari melempar kode agar wanita itu segera bergabung dan duduk di sebelahnya. karena sungguh perbuatan yang tidak etis jika ia tetap berdiri mematung dengan busana yang minim, terlebih lagi di hadapan pak hanif."ck, acara apa, sih? bawa-bawa anak ingusan lagi. lebay banget," cercanya sinis dan menjengkelkan. disilangkan kedua tangannya di dada, lalu mencebik setelahnya.pak hanif menggeleng pelan, sementara anak-anak terlihat ketakutan.rasanya aku ingin mengambil tali dan mengikat mulut tajam renita. sayangnya, aku terlalu malas untuk berurusan dengan wanita itu lagi, bicara dan menyentuhnya adalah dua hal yang paling kuhindari selama beberapa hari ini. aku kasihan pada janin di kandungannya yang pasti sudah bisa mendengar suara dari luar, itulah yang membuatku tidak ingin berkata kasar padanya."renita, ganti pakaianmu dan bergabunglah di sini," perintah ayah haris menekan agar wanita itu segera beranjak dan mengganti pakaian minim-nya."hahaha, aku b