Share

3. Kebebasan

Dua hari sudah berlalu sejak ayah Kevin memberitahu soal sekolah futsal kepadanya. Setelah hari itu, Kevin jadi banyak melamun. Bukan hanya karena beasiswa yang ditawarkan sahabat ayahnya itu, tapi juga karena ketidakjelasan orientasi seksualnya. Ternyata, ketidaksukaanya pada bidang olahraga ada kaitannya dengan rasa suka kepada sejenisnya. Itu yang dia asumsikan beberapa hari ini.

Kevin merasa, kecenderungan suka pada sesamanya, membuat dia menjadi lelaki yang tidak wajar. Dia menjadi lebih banyak diam, tidak senang bergaul dengan teman lelakinya dan menjauhi hal-hal yang membuatnya berkeringat. Mungkin memang wajar jika ada segelintir lelaki yang tidak suka main futsal. Namun, tidak banyak lelaki yang tidak menyukai olahraga.

Siang ini, dia sedang duduk di depan perpustakaan sambil membaca buku yang dia beli di toko buku beberapa waktu lalu. Jaket kuning kedodorannya tampak cerah di bawah cahaya matahari yang merambat melalui celah daun pohon mangga. Kevin anteng membalik halaman, sampai akhirnya tiga orang lelaki seumurannya menghampiri.

“Vin, kami kurang orang, nih. Lu mau gabung di tim?” tanya lelaki rambut cepak yang tubuhnya cukup tinggi sambil memegangi bola di tangan kirinya. Kevin menutup bukunya, mendengus, lalu menoleh ke arahnya.

“Maen futsal?” tanya Kevin sedikit meringis. Dua lelaki di samping si cepak mengangguk bersamaan.

“Yoi. Tim gue kurang orang. Si Faisal enggak masuk sekolah. Jadi, kami butuh kiper buat gantiin dia. Lo mau gabung?” tanya lelaki satunya. Dia melangkah mendekati Kevin, lalu duduk di sampingnya sambil merangkul tubuh kecil Kevin dengan tangan kirinya.

“Sori. Saya enggak bisa maen futsal. Kalian, kan tahu itu. Lagian, saya masih harus baca buku ini,” jawab Kevin sambil mengedikkan bahu pelan, lalu tidak lama setelahnya mengangkat buku yang dimaksud.

“Lo itu laki, Vin. Masa iya, sih enggak bisa maen futsal?”

Dua teman si cepak mengangguk. Salah satunya melenggang ke arah Kevin, lalu berdiri di hadapannya. “Lo diem aja di gawang, jagain bolanya biar enggak masuk.”

“Kenapa harus saya?”

“Lo kayak enggak tahu anak kelas aja. Lo pikir ada berapa cowok di kelas? Jumlah yang ada dibagi dua tim udah cukup tanpa lo. Tapi, si Faisal kagak hadir. Lo enggak mau bantu kami sebagai teman lo?”

“Tapi, kan kalian bisa maen seadanya.”

“Lo cowok bukan, sih?” tanya si cepak jengkel. Dia menurunkan bolanya ke kaki kiri, menahannya dengan alas sepatu hijaunya, lalu menendangnya pelan ke arah Kevin. “Buktiin kalau lo emang cowok, bukan banci yang bisanya cuma diem di depan perpus sambil baca novel,” katanya menyeringai.

Kevin meradang. Dia tidak terima dikatai banci seperti itu oleh si cepak. Dia lalu berdiri dengan mata memelotot. “Maksud kamu apaan ngatain saya banci?”

“Ya, kalau lo enggak ngerasa, ngapain sewot?” tanya si cepak santai, terkekeh-kekeh sambil menatap dua temannya bergantian.

“Saya emang enggak bisa maen futsal. Tapi, bukan berarti saya banci.”

“Terus, apaan, dong? Waria? Orang-orang yang suka mangkal tengah malam?” Tawa si cepak lolos setelah pertanyaan itu, membuat Kevin semakin kesal dibuatnya. Dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, menahan agar giginya tidak gemeretak.

“Terserah kalian, lah. Saya bukan banci. Dan, saya menolak diajak main futsal sama kalian,” balas Kevin, lalu meraih novelnya di atas meja dan berbalik untuk pergi meninggalkan tiga lelaki itu.

Akan tetapi, sebelum Kevin benar-benar pergi, si cepak mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan, memaksa Kevin yang awalnya sudah tidak ingin meladeni tiga orang itu, kembali berbalik dan memelesat ke arah si cepak.

“Saya sudah bilang, jangan panggil saya banci,” ucap Kevin sambil mendaratkan tinjunya di wajah si cepak. Tinjunya memang tidak terlalu kuat, tapi cukup membuat lelaki itu terhuyung ke sebelah kanan.

“Anjing lo! Berani mukul gue?” Si cepak meradang setelah pipi kirinya berdenyut karena hantaman bogem mentah dari Kevin. Dia meludahkan darah, lalu memelesat ke arah Kevin dan balas menghantam wajah lelaki berkacamata itu dengan telak di bagian hidung. “Bangsat. Mati lo, Anjing!” katanya sambil terus menyerangnya bertubi-tubi.

Dua teman si cepak tersenyum, lalu keduanya bergegas memegangi tubuh Kevin, membiarkan si cepak terus meninju wajah Kevin. Akan tetapi, sebelum mereka benar-benar membuat Kevin babak belur, seorang guru datang dari arah ruang guru dan memarahi si cepak.

Kevin sudah dibuat tidak berdaya, bahkan nyaris tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya yang bergetar.

“Kalian ngapain berantem begitu?” tanya guru itu, lalu menjewer telinga ketiga lelaki itu bergantian. “Kalian semua pergi ke ruang BK. Sekarang!” bentak guru lelaki berambut purih itu sambil mendorong tubuh si cepak kencang. Setelahnya, dia membawa Kevin ke ruang UKS.

*

Saat kedua matanya terbuka, Kevin merasakan sakit yang terus berdenyut di bagian pipi dan hidungnya. Hal yang dia lihat pertama kali, seorang guru berambut putih yang sedang duduk di sisi ranjang sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Pak, kenapa saya bisa ada di sini?” tanya Kevin, melontarkan pertanyaan klise untuk orang-orang bingung yang terbangun di tempat asing.

“Tadi kamu dikeroyok Salman CS,” jawab lelaki itu. Kevin tiba-tiba merasakan sakit di dadanya saat lelaki itu menyebut nama Salman. Mendadak ingatan tentang perkataan Salman berputar di kepalanya. Apakah benar aku banci?

“Oh. Terima kasih sudah urus saya,” ucap Kevin.

“Kalian ada masalah apa sampai berantem seperti itu?” tanya guru itu sambil melepaskan kedua tangannya, lalu berbalik menatap Kevin.

Kevin menelan ludahnya pelan, menaikkan posisi kacamatanya yang melorot karena dia menunduk, lalu menoleh ke sisi lain ruang UKS. “Mereka memaksa saya ikut main futsal. Tapi ….” Kevin menjeda ucapannya, merasa ragu jika harus mengatakan yang sebenarnya. “Saya menolak. Saya ma-masih harus menyelesaikan novel yang saya beli kemarin.”

Setelah penjelasan itu, sang guru mengangguk paham dan membiarkan Kevin kembali ke kelasnya. Dia melangkah gontai ke arah kelasnya. Dan, apa yang dia dapatkan, tatapan dingin dari teman-temannya.  Ternyata, Salman sudah ada di kelas dan sedang menceritakan semuanya kepada teman-temannya, ditambah dengan hal yang dia karang sendiri.

Dua jam pelajaran terakhir rasanya selamanya bagi Kevin. Dia terus duduk dengan perasaan gelisah dan tidak enak saat tatapan dingin mengintimidasinya dari berbagai arah. Teman-teman di kelasnya sekarang menjauhinya.

Sepulang sekolah, dia melangkah lesu ke arah parkiran. Sayangnya, dia harus bertemu lagi dengan dua lelaki yang hari itu berurusan dengannya.

“Tuh, si gay muncul,” ucap lelaki rambut belah dua sambil menunjuk ke arah Kevin yang tampak lesu berjalan ke arah mereka. Dua lelaki itu lalu berlarian mendekat dan menghadang jalan Kevin dengan merentangkan kedua tangan.

“Kalian mau apa?” tanya Kevin kesal.

“Lo mau gue bayar?” tanya si lelaki rambut belah dua itu sambil terkekeh-kekeh. Dia masih berdiri di hadapan Kevin dengan kedua tangan terbuka, menahan langkahnya. “Gue ada cowok yang haus sama sex. Kalau lo mau, gue bisa bayarin buat lo. Ya, enggak?” tanyanya pada temannya yang dulu jadi korban mengintip Kevin.

“Yoi. Tapi lo harus pakai pengaman biar tai lo enggak nempel di doi,” jawabnya sambil terbahak.

Kepala Kevin rasanya panas, bukan hanya karena sinar matahari siang hari, tapi juga karena ucapan dua lelaki di hadapannya yang mengatainya sebagai seorang gay yang haus akan hubungan seks.

“Kalian udah puas ngatain saya? Sekarang apa yang kalian mau dari saya?” tanya Kevin berusaha untuk tidak terpancing. Dia tidak ingin kasusnya berakhir sama seperti saat dengan Salman tadi. Selain itu, mereka berdua lebih kuat dam lebih tinggi darinya. Alih-alih melawan, dia akan kembali babak belur.

Dua lelaki itu mengedikkan bahunya bersamaan, merasa tidak tertarik untuk meminta apa pun dari Kevin. Mereka hanya ingin mengatainya dan membuat Kevin semakin merasa tidak tenang di sekolah.

“Kalau gitu, tolong jangan ganggu saya lagi. Saya sudah minta maaf karena perbuatan saya kemarin,” ucap Kevin.

“Gue udah maafin lo. Gue cuma risi, di sekolah kita ini ternyata ada seorang gay,” ucap si lelaki yang jadi korban itu dengan tatapan menusuk. Dia memandang rendah Kevin, lalu berbalik meninggalkannya.

Lelaki rambut belah dua menaruh satu tangannya di telinga dengan pose menelepon dan menggoyangkannya berkali-kali. “Kalau lo tertarik, bisa hubungi gue. Kapan pun itu,” ucapnya dengan nada mengejek, lalu berlari menyusul temannya.

Rasanya dada Kevin sesak bukan main. Ada sesuatu yang terus mencuat di hatinya, memaksa air mata di pelupuk matanya penuh. Namun, sebisa mungkin dia tidak menangis karena tidak ingin memperburuk suasana.

Gejolak dalam hatinya semakin besar setelah kejadian barusan. Pertanyaan tentang orientasi seksualnya yang menyimpang semakin membuatnya gelisah. Apa yang harus dilakukannya? Apa benar dirinya tidak normal?

Kevin menggeleng selama di perjalanan. Dia berusaha untuk fokus mengendarai motor Scoopy-nya dan berhenti di tempat parkir depan kafe Steven yang asri. Dia lalu menaruh helm kuningnya di stang motor dan masuk dengan lesu.

“Hai, Kevin. Muka lo kenapa lagi?” tanyanya. “Lo enggak kapok-kapoknya jadi orang pelit?” Steven melepas apronnya, lalu melenggang menghampiri Kevin.

“Kali ini bukan soal sontekan,” jawab Kevin sambil menarik kursi di hadapannya, lalu duduk pelan-pelan.

“Apa setiap lo ke sini muka lo bakal dalam kondisi kayak begitu terus? Kayaknya setiap hari orang-orang itu suka banget bikin lo babak belur,” kata Steven terkekeh-kekeh. Namun, itu sama sekali tidak lucu untuk Kevin.

“Saya hargai leluconnya. Tapi, suasana hati saya lagi enggak baik buat ikut ketawa sama kamu,” ucap Kevin, lalu mengembuskan napasnya kasar. Dia menempelkan wajahnya di meja, memainkan jemarinya di atasnya, lalu menoleh pada Steven yang tampak bingung.

“Oh, sori. Jadi, kali ini lo kenapa bisa babak belur begitu?”

Kevin menggeleng. “Steve, apa kamu suka olahraga?” tanya Kevin, melemparkan pertanyaan baru kepadanya. “Kalau cowok enggak suka olahraga. Apa itu wajar?”

Steven tampak tertarik, dia lalu menarik satu kursi, mendudukkan pantatnya di samping Kevin, lalu melipat kedua tangannya di meja. “Gue enggak terlalu suka olahraga, tuh. Tapi, gue masih sering jaga kondisi tubuh biar sehat. Apa lo enggak suka olahraga?”

Kevin mengangguk sebagai jawaban.

“Hubungannya sama muka lo yang babak belur begitu, apaan?”

Kevin kembali mengembuskan napasnya, lalu mengangkat kepalanya agar tegap dan bisa berbicara dengan normal. “Saya enggak suka olahraga. Dan, saya enggak bisa maen futsal,” jelasnya. “Anak-anak di kelas memaksa saya gabung dalam tim, tapi karena saya enggak bisa, mereka mengatai saya banci. Dan—“

“Karena lo enggak terima dikatain banci, lo serang mereka dan mereka balas melawan lo dengan cara keroyokan?” tanya Steven, memotong penjelasan Kevin barusan.

Steven termasuk cerdas untuk bisa memahami apa yang terjadi. Itu membuat Kevin mengangguk mengiakan sekaligus kagum kepadanya.

“Saya merasa benci sama diri sendiri. Kenapa saya enggak suka olahraga? Saya malah lebih suka diem di perpus dan baca buku. Bukannya itu kayak cewek banget, ya?” gumamnya sambil menggeleng beberapa kali.

“Siapa bilang suka baca buku dibilang kayak cewek? Pemikirannya kuno banget, tuh!” Steven tampak tidak terima. Dia merengut sebal sambil mengetukkan jemarinya di meja. “Lo tahu, kan kalau manusia itu enggak bisa disamaratakan?” tanyanya.

“Maksud kamu?” balas Kevin bingung.

“Ya, hanya karena lo enggak bisa olahraga, mereka cap lo banci. Seakan-akan lo harus jadi kayak mereka, enggak peduli apa pun konsekuensinya. Itu enggak adil, kan? Manusia punya pilihannya sendiri. Mereka bisa lakukan apa yang mereka sukai,” jelas Steven, beberapa kali mengedikkan bahu. Sekaan-akan hal yang diucapkannya bukan sesuatu yang besar.

“Kalau aja saya bisa hidup kayak kamu, Steve,” ucap Kevin tersenyum, lalu menoleh ke sekeliling kafe yang tampak sepi. Dia benar-benar mengagumi lelaki itu sebagai orang yang hebat.

“Maksud lo?”

“Kamu bisa hidup sesuai apa yang kamu sukai. Di usia muda, kamu udah bisa buka bisnis sendiri. Dan, pemikiran kamu soal dunia terbuka banget.”

“Hanya karena lo kagum sama apa yang gue lakukan, bukan berarti lo bisa melakukan apa yang lagi gue lakukan. Manusia punya batas kemampuan. Lo aja yang enggak tahu gimana pusingnya gue urus ini semua.”

Kevin terkekeh-kekeh. Sekarang dia merasa beban pikirannya menguap sedikit demi sedikit. Mungkin Steven adalah orang yang tepat untuk diajak berbagi. Apa ke depannya Kevin harus terbuka kepadanya dan menanyakan apa solusi untuk masalah oreintasi seksualnya? Membayangkan itu, Kevin menggeleng pelan.

“Kalau begitu, lo hidup sesuai pilihan lo. Jalani apa yang lo sukai dan hargai apa yang sedang lakukan dan terima lapang dada.” Steven beranjak dari duduknya, lalu membungkuk. “Baik, Tuan. Anda mau pesan apa?” tanyanya. Kevin kembali terkekeh-kekeh, lalu menunjuk teh tarik lagi.

*

Kelas sebelas memang masih jauh menghadapi masa-masa ujian. Namun, bagi Kevin, setiap detik dalam setiap malamnya adalah waktu untuk belajar. Malam ini dia sedang membaca kembali pelajaran yang terlewatkannya.

Beberapa hari ini, pikirannya tidak bisa fokus saat belajar di kelas. Kevin semakin gelisah saja menghadapi kenyataan jika dirinya menyimpang. Semangat dan gairahnya selalu bangkit saat dihadapkan dengan lelaki telanjang dada. Otaknya membayangkan hal-hal aneh yang membuat dirinya stres sendiri.

Kevin lalu meraih setumpuk buku di bawah mejanya, membuka setiap halaman dan menemukan dua foto gadis memakai bikini. Dia berusaha mengagumi tiap lekuk tubuh gadis-gadis itu sambil membayangkan hal aneh. Akan tetapi, tidak ada reaksi apa pun.

“Ah! Kenapa saya enggak bisa merangsang lihat foto ini?” tanyanya sambil menaruh dua foto itu di meja. Kevin meneguk ludahnya dengan paksa saat membayangkan tubuh lelaki rambut belah dua yang dia temui di kolem renang waktu itu. “Saya malah merasa terangsang sama cowok itu. Gila!” teriaknya frustrasi.

Saat Kevin akan membuka celananya di kursi belajar, seseorang membuka pintu, membuatnya terlonjak dan membetulkan posisi resletingnya yang sudah turun setengah.

“Ibu! Kenapa enggak ketuk pintu dulu?” tanya Kevin kesal. Dia nyaris saja ketahuan melakukan hal yang tidak pantas.

“Cepet ganti bajumu. Malam ini Ayah mau ajak kamu ketemu temen bisnisnya, sekalian kenalin kamu sama pekerjaan Ayah,” ucap Lesti sambil menoleh ke arah dua foto di atas meja. “Ibu tunggu kamu di bawah dalam dua menit,” tambahnya.

Sesuai apa yang dikatakan Lesti, mereka bertiga mengadakan acara makan malam di sebuah restoran. Galang mengenalkan keluarganya kepada teman bisnisnya. Acara itu malah terkesan seperti acara perjodohan dua keluarga di ruang makan. Kevin jadi kikuk sendiri memikirkannya.

Percakapan berlangsung ke sana-kemari, membahas banyak hal. Fanny Fardianto, teman Galang lalu bertanya perihal Kevin yang banyak diam dan memilih menyantap makanannya.

“Mau disekolahin ke mana, tuh si Kevin?” tanya lelaki berkacamata kotak berjas abu-abu itu  sambil menunjuk Kevin dengan dagunya.

“Managemen. Dia harus bisa urus bisnis. Lo tahu sendiri, kan keadaan bisnis di masa depan bakal kayak gimana? Kita semua butuh otak yang fresh buat urusi bidang beginian,” jawab Galang, diiringi tawa di sela ucapannya. Kevin meringis. Sikap dan cara bicara ayahnya benar-benar berubah di saat seperti ini, berbeda sekali ketika dia berada di rumah.

“Lo emang perfectionis banget, Lang.”

“Kevin, gimana tanggapan kamu?” tanya Fanny, membuyarkan lamunan Kevin yang sejak tadi memotong steik-nya sambil bengong. Dia terbatuk beberapa kali, lalu meminum airnya dalam sekali napas.

“Ma-maksud Om?” tanya Kevin.

“Galang mau kamu masuk managemen. Menurutmu gimana?”

“Enggak gimana-gimana, Om. Saya enggak tahu harus jawab apa,” jawabnya, yang malah mengundang tawa semua orang. Galang menekan gigi gerahamnya sambil berusaha untuk tidak memarahi Kevin.

“Polos banget anak lo, Lang,” ucap Fanny. “Jadi, Galang sudah bilang sama kamu soal sekolah futsal yang mau Om tawarin ke kamu?” lanjutnya.

Kevin tampak gelisah. Dia menoleh ke arah Galang yang sedang memelotot ke arahnya, lalu melempar tatapan pada Fanny dan anak-istrinya yang juga balas menatapnya.

“Saya enggak suka futsal. Saya enggak bisa terima tawaran itu, Om. Terima kasih karena sudah memberi saya kesempatan, “ ucap Kevin pelan sambil mengangguk sopan.

“Oh? Begitu, ya?” Fanny mengangguk paham. “Terus, kamu maunya apa?”

“Saya lebih suka bermain musik, Om. Saya pengin jadi penyanyi solo,” jawab Kevin.

Fanny dan anak-istrinya tertawa menanggapi hal itu, mengabaikan tatapan Galang yang sudah nyalang ke arah Kevin dengan wajah memerah karena malu.

“Kamu yakin sama pilihan kamu?”

“Lo enggak nyesel nolak tawaran bokap gue?” tanya anak Fanny sambil menatapnya dengan tatapan mengejek. Namun, Kevin hanya menggeleng pelan, tampak yakin dengan piliannya.

“Manusia punya kebebasan memilih, Om. Saya juga harus hidup sesuai apa yang saya sukai, kan?” tanya Kevin sambil tersenyum. Dia mendadak ingat ucapan Steven di kafe waktu itu.

Sayangnya, pilihan Kevin barusan telah membangunkan singa tidur. Galang yang sudah malu karena perkataan Kevin hanya bisa diam sepanjang acara makan malam. Anaknya sudah mempermalukannya, menginjak-injak harga dirinya di depan teman bisnis.

“Mau kamu apa, sih? Anak enggak tahu terima kasih,” ucap Galang meradang saat sampai di rumah.

“Ayah enggak pernah denger apa yang saya mau. Ayah cuma mau saya jadi apa yang Ayah mau. Bukan apa yang saya sukai,” jawab Kevin merasa harus menyampaikan ketidaksukaanya kepada Galang.

Akan tetapi, jawaban itu malah menyebabkan Kevin ditampar oleh Galang.

“Kurang ajar kamu! Belajar dari mana kata-kata itu! Emangnya kamu bisa apa tanpa Ayah sama Ibu?” tanya Galang, lalu menyeret Kevin ke kamarnya.

“Kunci dia!” titahnya, lalu melempar Kevin masuk ke kamar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Email Xmcadangan
cerita ini cukup sedih, membuat ku meneteskan ingus yang berlebihan ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status