Vier baru saja akan pergi ke kamar ketika ketukan pintu rumahnya terdengar. Ada sedikit kernyitan di dahinya sebelum membuka pintu. Ini sudah malam dan dia tak biasa mendapatkan tamu saat larut seperti ini.
“Hara?” Vier terkejut saat Haralah yang datang ke rumahnya. Perempuan itu tak seperti biasanya. Wajahnya memerah dan tatapannya tak fokus.
“Vier.” Hara melemparkan tubuhnya ke pelukan suami Violet tersebut dan melingkarkan tangannya di punggung Vier dengan erat. Bau alkohol menyengat tanpa ampun memenuhi penciuman Vier setelahnya.
“Apa yang kamu lakukan, Hara!”
Dengan sedikit kasar, Vier menjauhkan Hara dari tubuhnya. Menatap perempuan itu dengan tajam dan kemarahan tercetak di matanya. Dia tak tahu sejak kapan Hara menjadi perempuan yang bisa mengkonsumsi alkohol.
“Aku akan tidur di sini. Di mana istrimu? Aku akan menyingkirkannya!”
Meskipun pikiran Hara sedang tidak waras, dia seolah masih menantang keberadaan Violet. Mendorong Vier agar terlepas dari lelaki itu, Hara masuk ke dalam rumah dan berteriak mencari Violet.
“Hei, Violet. Kamu di dalam. Keluarlah dan hadapi aku. Aku tidak sudi kekasihku dimiliki olehmu!”
“Hara. Ayo, aku akan mengantarkan kamu pulang!” Vier kembali menarik Hara dan menuntunnya untuk pergi.
Hara memberontak. Meskipun kakinya sedikit sempoyongan, tapi dia masih sanggup berdiri dengan tegak. “Vier, panggilkan istrimu ke sini. Aku ingin memberi peringatan kepadanya.”
Karena Hara berteriak seperti orang gila, maka sudah pasti Violet mendengarnya. Perempuan itu tanpa basa-basi keluarga dari kamarnya. Berjalan mendekati Hara. Raut wajahnya seperti bongkahan es. Dingin dan beku. Awalnya dia tidak bisa mengatakan apa pun, tapi Hara tak bisa menahan dirinya untuk menyerang Violet.
“Hei, kamu perebut kekasih orang!” teriak Hara, “aku tidak akan membiarkan hidupmu tenang sudah merebut Vier dari sisiku. Aku akan terus mengusikmu sampai kamu tidak tahan untuk segera menyelesaikan 6 bulan ini.” Tantangan itu dilontarkan oleh Hara tanpa sedikitpun rasa takut.
“Violet, Hara sedang mabuk. Aku akan mengantarkannya ke rumahnya.” Vier tak ingin keributan ini mengganggu ketenangan Violet.
“Tidak. Aku sudah bilang sama kamu kalau aku akan menginap di sini. Kamu tidak mendengarku?” Hara melotot pada Vier. Merasa tak suka dengan Vier yang akan menyingkirkan dari rumah lelaki itu.
“Urus dia dengan benar, Bang. Aku tidak ingin perempuan ini mengganggu istirahatku.” Violet berbalik setelah memberikan peringatan itu.
Hanya saja, Hara tak terima. Baru saja Violet melangkah, perempuan itu mendapat serangan dari Hara. Hara menjambak rambut Violet dari belakang sampai kepala Violet mendongak kasar. Rasa sakit menguasai kepala Violet. Vier segera mendekat pada dua perempuan itu untuk melepaskan tangan Hara di rambut Violet.
“Hara, lepaskan!” Vier mencoba memisahkan tapi Hara tak bergeming dan semakin meremas rambut Violet.
“Aku akan mencabut rambut perempuan ini dari batok kepalanya. Aku akan membuatnya terlihat buruk sampai tidak ada orang yang menyukainya.”
Sumpah serapah bahkan tak hentinya keluar dari mulut Hara. Violet yang terlihat mendesis kesakitan itu menginjak kaki Hara dengan keras. Tangan Hara yang masih terus memegangi rambutnya dihantam dengan kepalan tangannya. Hara menjerit kesakitan. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Violet. Tapi dia bertindak dengan caranya.
Setelah lepas, dia hampir melayangkan tangannya untuk menampar pipi Hara. Tapi Vier melindungi kekasihnya dengan pelukan. Tamparan itu mendarat tepat di kepala Vier. Seperti gerakan slow motion, keadaan tiba-tiba saja hening. Violet terkejut dengan tindakan tiba-tiba Vier.
Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam. Tapi setelah keterkejutan itu menghilang, Vier menatap Violet dengan dingin.
“Kamu yang waras di sini, Violet. Tidak seharusnya kamu memberikan perlawanan ini kepadanya.”
Untuk pertama kalinya Vier berbicara dengan cara dingin seperti itu. Hara yang mendapatkan pembelaan dari Vier itu menyeringai puas. Violet melihat itu dengan jelas di matanya.
“Uruslah kekasihmu ini dengan benar. Dia sudah keterlaluan.” Violet tak mau kalah.
“Dia sedang kehilangan akal sehatnya. Tidak seharusnya kamu meladeninya.”
“Jadi aku harus diam saja saat aku mendapatkan perlakukan buruk seperti ini?”
“Dia hanya mengekspresikan rasa sakitnya. Kamu tidak pernah merasakan bagaimana kekasihmu dimiliki oleh orang lain, karena itulah kamu bersikap seperti ini.” Vier memang tidak mengatakan itu dengan nada tinggi.
Tapi itu sudah mampu membuat Violet merasa sakit hati tak berkesudahan. Vier tidak tahu apa pun tentang dirinya. Kekasihnya bahkan diambil oleh perempuan lain di depan matanya. Dia berusaha menyembuhkan lukanya seorang diri agar tidak ada satu orang pun melihat kelemahannya. Menangisi laki-laki yang tidak setia kepadanya hanya akan menurunkan harta dirinya.
“Aku akan mengantarkan Hara ke rumahnya. Kalau aku tidak pulang, maka kamu tidak perlu mencariku.”
Ucapan Vier lagi-lagi melukai Violet. Lelaki itu dengan mesra memeluk Hara keluar dari rumah. Meninggalkan luka mendalam di hati Violet. Dia menyangka, Vier adalah lelaki yang berbeda. Ayahnya bahkan sudah mempercayai Vier begitu besar. Tapi ternyata dia sama saja. Violet menertawakan dirinya sendiri dalam keheningan. Mungkin, dia memang tidak pantas untuk dicintai.
Violet membalikkan badannya kemudian berlalu dari ruangan tersebut. Masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya. Kakinya tak bisa berhenti mondar-mandir. Ketenangannya terusik. Dalam situasi seperti ini, perempuan lain pasti akan menangis. Tapi Violet berbeda. Dia perempuan tangguh.
Keesokan harinya saat dia akan berangkat ke kantor, Vier mencegahnya. “Kita berangkat bersama?” Tampaknya Vier menyesali apa yang dikatakan semalam.
Violet juga tidak tahu kapan lelaki itu kembali ke rumah. Namun perasaan Violet sedang tidak baik-baik saja sekarang. Maka dia menolak.
“Aku masih mampu menyetir. Terima kasih tawarannya.” Violet melangkah untuk pergi.
Lagi-lagi Vier menghalanginya. “Maaf, Violet. Aku sudah keterlaluan semalam.”
“Apa yang kamu bilang memang benar. Tidak perlu meminta maaf. Mulai sekarang, luangkan waktumu untuk kekasihmu. Aku tidak akan pernah melarang. Aku pergi dulu.”
Violet tak lagi peduli semua ucapan Vier kepadanya. Bukankah semua lelaki sama saja? Dia akan mengeluarkan kata-kata yang melukai, tapi pada akhirnya memohon maaf. Itu terdengar menyebalkan.
Vier menatap mobil Violet keluar dari halaman rumahnya sebelum menghilang dari pandangannya. Lelaki itu terlihat tidak nyaman dengan hubungan buruk yang akhirnya membelit dirinya dan Violet.
Mereka bertemu kembali di dalam ruangan meeting. Violet terlihat menampakkan raut wajah yang dingin. Vier yang berada di belakang ayah Violet hanya bisa menatap diam-diam istrinya.
“Biarkan saya yang meninjau lokasinya.” Suara Violet terdengar mengalun saat ayahnya meminta perwakilan dari karyawan untuk melihat lahan di suatu daerah.
“Kenapa harus kamu, Violet?” tanya ayahnya.
“Kenapa tidak? Anda meragukan kemampuan saya?” Rizal Bimantara terkejut dengan nada ketus putrinya.
Tentu saja yang dimaksud ayahnya bukan seperti itu. Tapi terlihat, Violet sama sekali tak peduli dengan tatapan yang penuh tanya dari ayahnya.
“Saya yang akan pergi ke sana. Saya harus memastikan bagaimana lokasinya, bagaimana akses jalannya, dan hal-hal lainnya.” Dan itu adalah keputusan mutlak yang tidak akan ada yang bisa menghalanginya.
***
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa