Share

Part 8. Pergulatan Batin Vier

Semesta seolah sedang melempari Violet dengan masalah pagi ini. Baru juga dia berhadapan dengan Hara, sekarang si brengsek Evan justru datang ke kantornya entah sedang melakukan apa. Violet terdiam untuk beberapa saat tanpa menjawab ucapan Raya. Kepalanya tiba-tiba pusing.

“Berapa meeting hari ini?” Alih-alih bertanya tentang kedatangan Evan, dia justru melemparkan pertanyaan lain.

“Ada dua meeting, Bu. Kita akan bertemu dengan perwakilan JH Grup untuk membicarakan masalah pembangunan apartemen. Di jam 11.00 pagi. Lalu, dilanjutkan bertemu dengan perusahaan iklan ERO jam 13.00 siang.” 

Itu artinya, dia masih memiliki banyak waktu luang untuk menemui Evan. Menemui Evan? Hanya dalam bayangan saja. Violet tak akan pernah melakukannya. Perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Evan di saat seperti ini?

“Usir saja dia. Saya banyak pekerjaan.” Akhirnya penolakan itu dia gaungkan. Mengurusi Evan akan membuat harinya semakin suram. “Dan pastikan dia tak akan pernah datang lagi ke kantor kita,” perintah Violet kepada sekretarisnya. 

Raya segera keluar dari ruangan bosnya. Mengatakan kepada petugas resepsionis jika Violet tak menerima tamu. Tapi, tampaknya Evan kukuh tetap berada di sana dan akan menunggu sampai Violet menemuinya. Entah apa yang diharapkan oleh Evan, Violet bukan perempuan yang memiliki hati lapang dan mudah kasihan dengan orang-orang yang sudah menyakitinya. Maka Evan hanya terlihat bodoh di lobby kantor Violet. 

Pukul 10.00 pagi, Violet keluar diikuti oleh Raya di belakangnya. Evan yang melihat itu segera mendekati mantan kekasihnya itu. 

“Violet!” panggilnya. “Aku ingin bicara denganmu.” Ada harap yang tercetak di raut wajah Evan. “Berikan aku waktu untuk menjelaskan tentang sesuatu.” 

“Satpam!” Satu teriakan Violet membuat dua satpam yang berjaga segera mendekat.

“Ya, Bu!”

“Ingat wajah lelaki ini. Kalau dia datang ke kantor ini, usir dia segera. Kalau dia tidak menurut, kalian bisa melemparkannya ke jalanan.” Perintah Violet itu seolah di kantornya tidak ada yang mengenal Evan. Bukan lagi rahasia, siapa Evan dan Violet di masa lalu. Setidaknya, sebelum pernikahan Violet dan Vier terjadi. 

Masih menjadi tanda tanya besar untuk para karyawan di sana kenapa Evan digantikan oleh Vier saat pernikahan. Tapi, mereka belum menemukan jawabannya. 

“Violet!” Evan tampak tak terima. 

Bukan urusan Violet kalau Evan tak menerima keputusannya. Perempuan itu lantas melepaskan tangan Evan yang mencekalnya dengan kasar kemudian meninggalkan kantornya. Evan akan mengejarnya ketika dua satpam sudah memeganginya. Violet benar-benar mengabaikan lelaki itu tanpa ampun. Menganggapnya seperti botol bekas yang harus dibuang di tong sampah setelah tak pakai lagi.

Vier menyaksikan itu dengan matanya sendiri. Di lantai dua, dia berdiri menatap ke arah perdebatan Violet dan Evan. Sampai sekarang, dia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Tidak ada dari siapa pun yang menjelaskan kepadanya.

Deringan ponselnya terdengar. Vier mengambil benda itu di dalam saku celananya sebelum raut wajahnya terlihat murung.

‘Saya akan menunggu kamu di rumah. Malam ini datanglah!’ 

Itu adalah isi dari pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Apa lagi ini? Begitulah yang dipikirkan oleh Vier. Sayangnya, dia tak bisa mengabaikan pesan tersebut. Maka, malam itu dia memenuhi ‘undangan’ yang dikirim kepadanya.

“Maaf, saya baru bisa datang, Pak.” Vier memulai berbicara saat berhadapan dengan seorang lelaki yang diseganinya dari dulu. 

“Tentu saja. Kamu pasti sibuk dengan istrimu. Bahkan tidak peduli dengan Hara yang terus menangis setiap malam.” Suara lelaki itu begitu berat dan penuh amarah. Raut wajah yang dulu selalu menampakkan keramahan itu berganti kemarahan. 

“Maafkan saya, Pak.” Vier seolah tak bisa mengeluarkan ucapan lain selain kata maaf berkali-kali. Kepalanya menunduk takzim. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu setelah ini. 

“Nikahi Hara segera!” Kepala Vier yang tadinya menunduk kini mendongak untuk memastikan apa yang didengarnya. 

“Maaf?” tanya Vier.

“Sudah hampir sebelas tahun bukan? Lalu sampai kapan kamu akan terus menggantung hubunganmu dengan Hara? Hara begitu mencintaimu sejak dulu. Ingatlah apa yang pernah kami lakukan kepadamu, Vier.” 

Lelaki itu mengungkit kebaikan keluarganya yang sudah dilakukan selama ini. Vier tahu. Bukankah dia juga sudah berada di sisi Hara selama ini tanpa penolakan? 

“Saya mengerti, Pak. Tapi, saya sudah pernah mengatakan saya akan menikahi Hara setelah saya bercerai dengan Violet. Bukankah Bapak sendiri yang menyetujuinya?” 

“Lalu nanti tiba-tiba kamu akan memiliki anak dengannya dan meninggalkan Hara begitu saja?” Suara ayah Hara menginggi memenuhi ruangan. “Itu hanya akan membuat Hara sakit hati.” 

“Tapi saya tidak bisa menikah dengan dua perempuan sekaligus, Pak.” Vier mencoba menjelaskan. Jika dia melakukannya, hanya akan menambah masalah di hidupnya. 

Vier ingin sekali mengeluh. Tapi dia menahan mati-matian. Dalam dirinya bertanya, kenapa dia harus terjebak dengan dua masalah runyam seperti ini? Ingatannya tentang isi perjanjian yang dibuat bersama Violet. Lalu tentang Hara. Semua bercampur menjadi satu. 

“Kalau begitu, luangkan waktumu untuk Hara. Saya tidak ingin melihat putri saya terus menerus menangis karenamu. Kalau perlu kita harus membuat perjanjian. Punya anak atau tidak kamu dengan istrimu nanti, kamu harus tetap menikah dengan Hara enam bulan lagi.” 

Saya berpisah kamar dengan Violet.’ Vier mengatakan itu di dalam hati. Tapi tak terucap di mulutnya. Dia tak ingin ayah Hara semakin mengetahui urusan pribadinya dengan Violet. 

Vier pulang ke rumah dan melihat Violet masih duduk di ruang keluarga sambil membaca buku. Kacamata bertengger di hidung mancungnya, rambutnya yang biasa tergerai indah itu kini diikat kuncir kuda. Violet tampak cantik dengan penampilan rumahannya. 

“Abang dari mana?” tanya Violet tanpa mengalihkan tatapannya pada buku yang dibacanya.

“Ada urusan yang harus diselesaikan.” Vier duduk di samping Violet. Menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, matanya tertutup sejenak.

“Sudah makan?” Violet bertanya lagi. “Aku tadi masak. Bagian Abang masih di meja makan. Bibi akan bekerja dua hari lagi.” 

Violet terdengar cuek mengatakan semua itu. Tapi suaranya mengandung perhatian yang luar biasa. 

“Terima kasih. Tapi, kita bisa order makanan kalau memang kamu sibuk,” usul Vier. Lelaki itu menatap Violet dari samping dan untuk sejenak pikirannya menyatakan kekagumannya pada istrinya. Kecantikan Violet benar-benar alami. Jika dibandingkan dengan Hara, perbedaan itu tampak sangat jelas. 

“Aku pemilih. Jadi aku tidak suka makanan yang dipesan tidak sesuai seleraku.” Violet menutup bukunya. “Aku ke kamar dulu,” pamitnya sebelum meninggalkan Vier seorang diri.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elin Marlina
nah kan wajar kali hara cemas baru nikah bbrpa hari aj vier udah bgitu, biasanya aku dukung prnikahan kaya gini tpi liat sifat violet yg mnjengkelkan jdi g suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status