Share

7. Kembali ke Rumah Ibu

Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.

Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.

Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi.

"Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.

Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.

Aku meraih ponselku dan membaca sebuah balasan pesan yang masuk dari Mas Reihan.

Aku buru-buru karena ada rapat, Lin! Mau bangunin kamu gak tega semalaman urusin Raisa.

Iya, mas! Gak apa-apa! Jangan lupa sarapan ya, mas! Maaf gak sempat buatin kamu sarapan.

Iya, Lin!

Aku bersyukur Raisa lebih banyak tertidur hari ini. Mungkin efek obat juga kelelahan setelah semalaman menangis. Aku pun merasa sangat lelah hari ini dan entah kenapa merasa sangat lunglai juga tak bersemangat. Mungkinkah karena begadang semalam? Tapi ini bukan yang pertama kalinya begadang buat aku dan tidak pernah sampai selemas ini.

Aku terus bertanya-tanya dengan diriku, ada apa? Kenapa hatiku tiba-tiba terasa tak nyaman dan lunglay? Tapi aku juga tidak merasa sedang sakit, rasanya tubuhku baik-baik saja.

Sorenya, Mas Reihan pulang kerja lebih awal dan langsung memintaku membereskan semua pakaian.

"Loh, mas ada apa?"

"Ibu sakit! Kita ke rumah ibu secepatnya!"

"Berapa lama kita di rumah ibu, mas?"

"Sudah jangan banyak tanya, cepat bereskan semua pakaian dan barang-barang kita! Mumpung Raisa masih tidur!" diktenya agak ketus.

"Tapi mas.... aku lebih nyaman tinggal disini!" pintaku penuh harap agar tidak kembali tinggal di rumah ibu.

"Tapi ibu sakit, Lin! Dia minta kita pulang dan kembali tinggal disana lagi! Ibu tidak tenang jauh dari kita, dia kepikiran terus...."

"Kan bisa mas kita jenguk ibu dan tinggal beberapa hari disana sampai ibu sembuh...."

"Benar ya, kata ibu! Kamu tuh kalau dibaikin sedikit aja jadinya ngelunjak!"

Aku tertegun mendengarnya, "Apa maksud kamu, mas? Salah aku dimana?"

"Kamu gak sadar salah kamu dimana? Oke, cukup tahu aja!"

"Apa maksudnya, mas? Kasih tahu aku kalau aku salah!"

"Hhh!" seru Mas Reihan dengan sinis. "Kamu sadar gak, kamu barusan bantah aku, gak mau aku ajak tinggal di rumah ibu?"

"Bb...bukan begitu maksudku, mas! Aku gak keberatan jenguk ibu, rawat ibu, tapii...."

"Halaah, udah, gak usah ngeles! Kamu emang gak peduli kan sama ibu aku?"

"MAS!" seruku tak terima.

"APA? MAU BANTAH LAGI? BERANI KAMU BENTAK SUAMI KAMU SEKARANG, HAH?" teriak Mas Reihan tak kalah tinggi membuatku mencicit dan menunduk.

Menjawab atau mendebat Mas Reihan hanya akan membuatku semakin terlihat salah di matanya. Aku pun memilih diam.

Melihatku membisu, Mas Reihan memelankan kembali suaranya.

"Ibu gak bisa tenang kita tinggal jauh dari dia, Lin!"

"Ibu yang gak tenang atau kamu yang gak bisa jauh dari ibu, mas?" tanyaku masih bernada kesal.

"Lin! Tolong kamu pahami kondisi ibu dan juga aku!"

"Ibu terus yang harus dipahami! Kapan ibu bisa memahami perasaanku? Kenapa kamu gak bisa tegas, mas?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku gak bisa menahan emosiku kali ini.

"ALINA!" pelototnya tajam membuatku sedikit berigidik.

"Kamu udah gak sayang sama ibu?" tuduh Reihan ketus sangat kekanak-kanakkan. Dadaku bergejolak semakin panas. "Dia itu ibu yang melahirkan aku, Lin! Kalau bukan karena dia, belum tentu aku ada disini, bisa nikahin kamu, nafkahin kamu....." ceramahnya panjang lebar membuatku geleng-geleng. "Kamu lupa apa yang dikatakan ibu? Anak laki-laki itu milik ibunya! Surganya ada di telapak kakinya. Kamu keberatan kalau suamimu berusaha berbakti sama ibunya?"

Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Lihat kan? Aku semakin terlihat salah dimatanya. Padahal aku hanya ingin membela diri dan menyampaikan uneg-unegku.

"Maaf, mas! Jangan salah paham! Aku hanya tak nyaman di rumah ibu karena sikap ibu yang selalu memusuhiku!"

"Makanya kamu berusaha dong, ambil hati ibu!"

"Iya, mas, maaf!" tundukku dalam-dalam. Aku harus mengalah dan meminta maaf sesegera mungkin agar perdebatan ini segera berakhir.

Mas Reihan lalu beranjak, mengambil ponselnya yang berdering di atas meja.

Dari jarak yang cukup, aku mendelik kesal kepadanya. Dia selalu menunduk tak berdaya di hadapan ibunya. Ia lemah lembut kepada ibunya, dan kasar kepadaku. Aku merasa diperlakukan tak adil oleh Mas Reihan.

"Hey!" ucapnya sambil melemparkan tas baju ke wajahku. Mungkin niatnya bercanda, tapi bagiku itu tak lucu apalagi aku dan dia baru saja berdebat.

"Ngelamun aja kerjaannya! Cepat beresin baju! Kita berangkat secepatnya! Ibu udah telepon barusan!"

Aku pun melangkah dengan kesal dan memasukan semua pakaian dengan emosi.

Ibu menyambut kedatangan kami di halaman rumahnya dengan wajah sumringah. Ia langsung menuntun Mas Reihan masuk dan mengajaknya ke meja makan.

Aku hanya bisa tersenyum saat ibu berjalan menuntun Mas Reihan masuk, melupakan kehadiran aku dan cucunya yang sudah terlelap dalam gendonganku. Ibu bahkan tidak melihat ke arahku apalagi menyapaku.

Aku berusaha tak peduli dan menegarkan hatiku agar tidak terbawa perasaan. Aku langsung berjalan ke kamarku untuk menidurkan Raisa. Ku intip sekejap ke ruang dapur, ternyata ibu tengah menyuapi Mas Reihan makan dengan mata berbinar saking bahagianya melepas rindu. Seakan-akan Mas Reihan sudah tak pulang puluhan tahun dari luar negeri. Padahal dua minggu yang lalu, kami baru berkunjung ke rumah ibu saat Mas Reihan libur dan tengah luang.

Aku memilih tertidur memeluk Raisa tanpa menemui ibu. Toh, hanya Mas Reihan yang ibu harapkan kembali ke sini. Bagi ibu, mungkin aku hanya pelengkap Mas Reihan yang tidak mungkin ditinggal. Ya, kurasa itu lebih baik daripada ibu menganggapku musuh yang ingin merebut anaknya dari sisinya.

Apa aku tampak sejahat itu, ya, di mata ibu?

Entahlah, lebih baik aku tidur!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status