Home / Rumah Tangga / Suami Anak Mami / 7. Kembali ke Rumah Ibu

Share

7. Kembali ke Rumah Ibu

Author: Desy Relistia
last update Last Updated: 2023-04-06 21:29:31

Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.

Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.

Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi.

"Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.

Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.

Aku meraih ponselku dan membaca sebuah balasan pesan yang masuk dari Mas Reihan.

Aku buru-buru karena ada rapat, Lin! Mau bangunin kamu gak tega semalaman urusin Raisa.

Iya, mas! Gak apa-apa! Jangan lupa sarapan ya, mas! Maaf gak sempat buatin kamu sarapan.

Iya, Lin!

Aku bersyukur Raisa lebih banyak tertidur hari ini. Mungkin efek obat juga kelelahan setelah semalaman menangis. Aku pun merasa sangat lelah hari ini dan entah kenapa merasa sangat lunglai juga tak bersemangat. Mungkinkah karena begadang semalam? Tapi ini bukan yang pertama kalinya begadang buat aku dan tidak pernah sampai selemas ini.

Aku terus bertanya-tanya dengan diriku, ada apa? Kenapa hatiku tiba-tiba terasa tak nyaman dan lunglay? Tapi aku juga tidak merasa sedang sakit, rasanya tubuhku baik-baik saja.

Sorenya, Mas Reihan pulang kerja lebih awal dan langsung memintaku membereskan semua pakaian.

"Loh, mas ada apa?"

"Ibu sakit! Kita ke rumah ibu secepatnya!"

"Berapa lama kita di rumah ibu, mas?"

"Sudah jangan banyak tanya, cepat bereskan semua pakaian dan barang-barang kita! Mumpung Raisa masih tidur!" diktenya agak ketus.

"Tapi mas.... aku lebih nyaman tinggal disini!" pintaku penuh harap agar tidak kembali tinggal di rumah ibu.

"Tapi ibu sakit, Lin! Dia minta kita pulang dan kembali tinggal disana lagi! Ibu tidak tenang jauh dari kita, dia kepikiran terus...."

"Kan bisa mas kita jenguk ibu dan tinggal beberapa hari disana sampai ibu sembuh...."

"Benar ya, kata ibu! Kamu tuh kalau dibaikin sedikit aja jadinya ngelunjak!"

Aku tertegun mendengarnya, "Apa maksud kamu, mas? Salah aku dimana?"

"Kamu gak sadar salah kamu dimana? Oke, cukup tahu aja!"

"Apa maksudnya, mas? Kasih tahu aku kalau aku salah!"

"Hhh!" seru Mas Reihan dengan sinis. "Kamu sadar gak, kamu barusan bantah aku, gak mau aku ajak tinggal di rumah ibu?"

"Bb...bukan begitu maksudku, mas! Aku gak keberatan jenguk ibu, rawat ibu, tapii...."

"Halaah, udah, gak usah ngeles! Kamu emang gak peduli kan sama ibu aku?"

"MAS!" seruku tak terima.

"APA? MAU BANTAH LAGI? BERANI KAMU BENTAK SUAMI KAMU SEKARANG, HAH?" teriak Mas Reihan tak kalah tinggi membuatku mencicit dan menunduk.

Menjawab atau mendebat Mas Reihan hanya akan membuatku semakin terlihat salah di matanya. Aku pun memilih diam.

Melihatku membisu, Mas Reihan memelankan kembali suaranya.

"Ibu gak bisa tenang kita tinggal jauh dari dia, Lin!"

"Ibu yang gak tenang atau kamu yang gak bisa jauh dari ibu, mas?" tanyaku masih bernada kesal.

"Lin! Tolong kamu pahami kondisi ibu dan juga aku!"

"Ibu terus yang harus dipahami! Kapan ibu bisa memahami perasaanku? Kenapa kamu gak bisa tegas, mas?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku gak bisa menahan emosiku kali ini.

"ALINA!" pelototnya tajam membuatku sedikit berigidik.

"Kamu udah gak sayang sama ibu?" tuduh Reihan ketus sangat kekanak-kanakkan. Dadaku bergejolak semakin panas. "Dia itu ibu yang melahirkan aku, Lin! Kalau bukan karena dia, belum tentu aku ada disini, bisa nikahin kamu, nafkahin kamu....." ceramahnya panjang lebar membuatku geleng-geleng. "Kamu lupa apa yang dikatakan ibu? Anak laki-laki itu milik ibunya! Surganya ada di telapak kakinya. Kamu keberatan kalau suamimu berusaha berbakti sama ibunya?"

Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Lihat kan? Aku semakin terlihat salah dimatanya. Padahal aku hanya ingin membela diri dan menyampaikan uneg-unegku.

"Maaf, mas! Jangan salah paham! Aku hanya tak nyaman di rumah ibu karena sikap ibu yang selalu memusuhiku!"

"Makanya kamu berusaha dong, ambil hati ibu!"

"Iya, mas, maaf!" tundukku dalam-dalam. Aku harus mengalah dan meminta maaf sesegera mungkin agar perdebatan ini segera berakhir.

Mas Reihan lalu beranjak, mengambil ponselnya yang berdering di atas meja.

Dari jarak yang cukup, aku mendelik kesal kepadanya. Dia selalu menunduk tak berdaya di hadapan ibunya. Ia lemah lembut kepada ibunya, dan kasar kepadaku. Aku merasa diperlakukan tak adil oleh Mas Reihan.

"Hey!" ucapnya sambil melemparkan tas baju ke wajahku. Mungkin niatnya bercanda, tapi bagiku itu tak lucu apalagi aku dan dia baru saja berdebat.

"Ngelamun aja kerjaannya! Cepat beresin baju! Kita berangkat secepatnya! Ibu udah telepon barusan!"

Aku pun melangkah dengan kesal dan memasukan semua pakaian dengan emosi.

Ibu menyambut kedatangan kami di halaman rumahnya dengan wajah sumringah. Ia langsung menuntun Mas Reihan masuk dan mengajaknya ke meja makan.

Aku hanya bisa tersenyum saat ibu berjalan menuntun Mas Reihan masuk, melupakan kehadiran aku dan cucunya yang sudah terlelap dalam gendonganku. Ibu bahkan tidak melihat ke arahku apalagi menyapaku.

Aku berusaha tak peduli dan menegarkan hatiku agar tidak terbawa perasaan. Aku langsung berjalan ke kamarku untuk menidurkan Raisa. Ku intip sekejap ke ruang dapur, ternyata ibu tengah menyuapi Mas Reihan makan dengan mata berbinar saking bahagianya melepas rindu. Seakan-akan Mas Reihan sudah tak pulang puluhan tahun dari luar negeri. Padahal dua minggu yang lalu, kami baru berkunjung ke rumah ibu saat Mas Reihan libur dan tengah luang.

Aku memilih tertidur memeluk Raisa tanpa menemui ibu. Toh, hanya Mas Reihan yang ibu harapkan kembali ke sini. Bagi ibu, mungkin aku hanya pelengkap Mas Reihan yang tidak mungkin ditinggal. Ya, kurasa itu lebih baik daripada ibu menganggapku musuh yang ingin merebut anaknya dari sisinya.

Apa aku tampak sejahat itu, ya, di mata ibu?

Entahlah, lebih baik aku tidur!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Anak Mami   31. Maaf, Bu!

    "Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"

  • Suami Anak Mami   30. Terulang Lagi

    Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya

  • Suami Anak Mami   29. Kegelisahan

    Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta

  • Suami Anak Mami   28. Gugurkan!

    "MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan

  • Suami Anak Mami   27. Kamu Hamil Anak Siapa?

    Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer

  • Suami Anak Mami   26. Cemburu

    "Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status