Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni
❤️“Rabbana atinaa fiddunya hasanah, wafilaakhirati hasanah, waqinaa 'adzaabannaar.” Nisa mengusap wajahnya, lalu kedua tangannya menengadah, berdoa memohon pada Sang Khalik agar senantiasa melindungi keluarga kecilnya.Usai berdoa, tanpa melepas mukena yang dikenakannya, ia mendekati lelaki yang masih berbaring di ranjang.“Mas, bentar lagi masuk waktu subuh, tahajud dulu, Mas.” Nisa mengusap pelan bahu Imran-suaminya, tapi lelaki itu enggan membuka mata.“Mas ....”Imran mengedikkan bahunya. “Mas masih ngantuk.”Kening Nisa bertautan, tidak biasanya Imran menolak ajakan untuk tahajud. Biasanya lelaki itu yang selalu bersemangat mengingatkan. Ia pun mencoba untuk membangunkan Imran sekali lagi, siapa tahu berhasil.“Mas ... solat tahajud dul ....” Nisa urung melanjutkan perkataannya saat Imran bangun.“Kamu dengar, nggak, Mas bilang!” Imran memutar tubuhnya menghadap Nisa. Matanya yang berwarna merah menatap istrinya dengan marah.“Maaf, Mas. Nisa ....”“Lagian percuma juga tahajud.
❤️❤️Tidak ada perpisahan yang berujung bahagia, meski keduanya sudah tak ada lagi rasa. Lalu, bagaimana dengan hati Nisa dan Imran yang masih saling mendamba, masih saling mencinta, tapi keadaan yang sudah tak ingin saling menyapa. Sakit!Meski nasib bisa diubah, tapi jalan hidup yang sudah Allah gariskan harus dijalani dengan baik. Jangan mengeluh.Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Tidak menangis seperti tadi, wanita itu bahkan beranjak dari pelukan mertuanya, lalu ke dapur guna menghangatkan sayur dan menyiapkan makan siang. Pak Surya ke luar dan memilih duduk di teras, sedangkan Bu Surya naik ke lantai atas.Tangan tua wanita itu membuka pintu perlahan, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamar itu terlihat lebih berantakan, dengan beberapa hiasan meja tercecer di lantai. Juga beberapa buku berserakan. Ia melihat Imran tengah berdiri di balkon kamar dengan kedua mata tertutup.“Mama nggak paham dengan jalan pikiranmu, Imran.” Bu Surya berdiri di sebelah putranya. Wanita itu menoleh,
❤️❤️Imran berbaring dengan kedua tangannya menumpu kepala. Matanya menatap langit-langit kamar. Sesekali napas panjang keluar dari mulutnya. Tak jauh dari sisinya, seorang wanita berhijab berdiri di dekat meja rias memerhatikan.“Mas ....”Imran menoleh ke arah wanita yang masih mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Tiba-tiba ada hasrat yang menyuruhnya untuk tersenyum.“Ya, Nis?”“Nisa boleh rebahan di situ?” tanya Nisa, sambil telunjuknya mengarah ke lengan Imran. Wanita itu ingin tidur di lengannya. Kening Imran mengernyit, tapi detik berikutnya ia mengangguk. Ia merentangkan tangan kanannya, seolah mempersilakan. Nisa berjalan mendekat lalu meletakkan kepalanya di sana.Jantung keduanya berdetak cepat saat keduanya saling bertatapan. Tangan kiri Imran menyentuh pipi Nisa, keduanya pun tersenyum.“Nisa?”“Iya, Mas?”“Kenapa mau dijodohkan sama, Mas?”“Karena Allah!”“Seyakin itu, Nis?”“Iya. Nisa percaya. Allah akan menghadirkan pada Nisa, pasangan yang baik. Juga soleh.”K
❤️❤️Sepanjang perjalanan Imran tak berhenti mengucapkan istighfar. Hatinya pun terasa sesak saat melihat pakaian kerjanya sudah rapi, juga sarapan pagi yang tersedia seperti biasa.Lima belas tahun Imran melakukan kebiasaan bersama-sama dengan Nisa, setiap hari tanpa ada kata bosan. Tapi kini ia sendiri yang harus menghentikan ini semua. Menyelesaikannya sampai akhir.Mobilnya berhenti di parkiran kantor, tapi lelaki itu tidak langsung turun. Kedua matanya terpejam, lalu sesaat setelahnya muncul bayangan Nisa yang menangis atas perbuatannya pagi ini.“Nisa ... maafin, Mas!” ucapnya lirih. Imran menangisi sikap bodohnya. Hatinya benar-benar dilema.Untuk beberapa lama Imran tidak beranjak dari tempatnya, ia begitu terhanyut pada kesedihan yang ia buat untuk wanita yang dicintainya. Nisa terluka, tapi ia pun teramat sangat sakit.Imran menoleh sisi kiri kanan, sudah ada beberapa kendaraan yang parkir di sebelahnya. Dengan tangan ia mengusap wajahnya yang basah, embusan napas panjang ke
❤️❤️Fadhil mengembuskan napasnya berat. Ia bahkan tidak langsung turun dari mobil meski kendaraan itu sudah tiba di depan rumahnya. Isi kepalanya terngiang-ngiang wajah Nisa, teringat bagaimana dulu saat mereka menghabiskan waktu bersama, meski hanya dalam status teman.Nisa dan Fadhil sepakat membatasi kebersamaan mereka dalam ikatan persahabatan, meski banyak orang-orang di sekitar mereka yang berharap keduanya berjodoh. Tapi Fadhil menghargai keputusan Nisa yang hanya menginginkan hubungan mereka sebatas itu.Dirasa cukup lama melamun, lelaki berkacamata itu keluar dari mobilnya dan masuk ke rumah. Bangunan yang memiliki dua lantai itu terlihat megah, meski dekorasi ruangan yang sederhana.“Assalamu’alaikum, Bu.” Fadhil mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu yang menghadap kolam ikan. Wanita menjawab salam putra semata wayangnya, tapi wajahnya terlihat berubah saat melihat ke arah Fadhil yang pulang kerja dalam keadaan murung.“Ada apa?” tanya Bu Sri.
Masa Iddah Nisa sudah berjalan satu bulan. Namun tekad Imran sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Banyak pihak yang berharap keduanya kembali rujuk, tapi sikap Imran yang kekeh membuatnya pantang untuk berkata mundur.Imran dibuat ketar-ketir, sampai saat ini ia belum bisa menemukan sosok lelaki yang akan dijodohkan untuk Nisa. Imran tidak bisa menyerahkan Nisa ke sembarang orang. Bagaimana pun, Nisa adalah wanita yang baik dan pantas mendapatkan lelaki yang baik pula.Lelaki itu tidak memprotes sikap Nisa yang tetap menyiapkan pakaian kerjanya, juga sarapan pagi dan malam yang selalu menanti untuk disentuh. Meski begitu, Imran sama sekali tidak mencicipi barang sedikit pun.Pagi ini, Nisa bangun kesiangan. Dengan cepat-cepat ia menyiapkan sarapan pagi untuk Imran setelah menyiapkan pakaian kerja lelaki itu. Tapi saat tangannya sedang menggoreng telur, Imran sudah hendak berangkat kerja.“Mas ....” Panggilan Nisa membuat langkah lelaki itu terhenti. Tanpa memutar badan, ia menanti w
Imran dibuat ketar-ketir dengan keadaan Nisa. Alifah meneleponnya saat dirinya hendak meeting pagi dengan seorang klien. Beruntung pertemuan itu belum dimulai, Imran pun mengatakan pada sekretarisnya untuk membatalkan meeting tersebut dan dengan tergesa-gesa ia meninggalkan kantor.Lelaki itu menyarankan agar Alifah menghubungi Dokter Mimi, dokter langganan Imran dan Nisa yang tak lain adalah teman kuliah Imran. Lelaki itu lebih percaya pada sang dokter karena sudah menjadi langganan selama mereka menikah jika ingin mengadakan konsultasi. Selama perjalanan Imran terus berdoa semoga Nisa tidak mengalami sakit yang serius.Jalanan yang sedikit macet membuatnya semakin tidak sabar. Berulang kali ia mengatakan sumpah serapah saat ada beberapa kendaraan roda dua menyalip di depannya dan nyaris tertabrak jika Imran tidak langsung menginjak rem.“Bego! Mentang-mentang pake motor, maen serobot aja!” seru Imran dengan nada kesal. Tangannya meninju stir mobil.Imran sendiri tahu jika ocehannya