Share

Part 3. Bertemu

Lia tersenyum melihat mobil sedan hitam keluaran baru masuk ke area halaman kampusnya. Wanita berhijab panjang itu bergegas turun setelah menyemprotkan minyak wangi pada bajunya, dengan harapan agar Doni terkesan dengan harum aroma parfum yang dipakainya.

Lia langsung masuk saat melihat mobilnya terparkir sempurna.

Bruk … ia menutup pintu mobil.

"Apa Kabar?" sapanya.

"Alhamdulillah baik, apa kabar juga kamu, Mas?" sahutnya balik bertanya, sambil tersenyum manis.

Semenjak mengenal Doni saat pencairan dana BOS. Hidupnya terasa menjadi lebih berwarna. Menurutnya Doni orangnya lucu dan baik, berkat bantuannya pula semua permasalahannya seketika menjadi mudah.

Awalnya mereka hanya membahas pekerjaan via W******p. Hingga awal bulan lalu, untuk pertama kalinya, Doni mengajak makan siang bareng pada Lia. Dari situ Lia mulai terbiasa dan merasa nyaman serta damai bersama Doni. Bau parfumnya pun membuat rileks semua pikirannya, Lia merasa lain saja jika berada didekat Doni terasa istimewa dengan semua tutur dan sikap lelaki tampan itu.

"Mau makan dimana?" tanya Doni membuyarkan lamunannya.

"Emh … dimana aja, terserah, Mas Doni," sahutnya sambil melirik lelaki di sampingnya yang terlihat sangat mempesona.

"Kamu, masih ada acara atau?" tanyanya menggantung.

"Atau … apa?" tanya Lia penasaran.

"Engga sih," sahutnya sambil nyengir.

"Heh!" Lia membuang nafas kasar.

"Kenapa?"

"Engga."

Mereka terdiam, seolah tak ada lagi bahan yang akan bicarakan, saling sibuk dengan pemikiran masing-masing. 

"Kita makan disana saja, bagaimana?" tanya Doni sambil menepikan mobilnya.

"Boleh," sahut Lia dengan cepat.

Mereka masuk beriringan lalu duduk di meja paling pojok, entahlah selera keduanya bisa sama ketika memilih tempat duduknya, sama-sama menuju meja paling pojok.

"Gimana kuliahnya?" tanya Doni berbasa-basi.

"Alhamdulillah lancar," sahut Lia.

Mereka kembali hening menghabiskan waktu dengan pikiran masing-masing. Berada di sisi Doni sudah cukup membuat Lia bahagia.

"Selamat menikmati, Pak, Bu," ujar pelayan yang menghidangkan pesanan mereka.

"Terima kasih," sahut mereka berbarengan dengan Doni.

"Habis ini, kamu mau kemana?" tanya Doni lagi.

"Pulang, Mas," sahutnya.

"Mau aku antar?" tawarnya sambil memandang lekat wajah Lia.

"Tidak usah, Mas," tolaknya, mana mungkin Lia mau diantar pulang, sedangkan di rumahnya ada suami dan anaknya.

"Nanti turunin aku di lampu merah saja," pintanya.

"Baiklah," sahutnya, untung saja Doni tidak mempermasalahkan penolakanku," gumamnya dalam hati sambil melirik pria di sebelahnya.

———

"Aku mau pulang, Bi!" pamit Renata pada Bianca yang sedang anteng dengan gawainya.

"Kenapa gak nginep aja sih?" tanyanya penuh harap.

"Besok-besok kalau aku sudah muak dengan Mas Doni," sahutnya dengan muka polos.

"Hahaha … yakinkah? Anda tidak akan bucin lagi?" ledeknya.

"Ingat, Ren, kamu tidak boleh kalah dan terpuruk bersabarlah sebentar, nanti kita sama-sama bikin perhitungan dengan kedua manusia durj*na itu dan membuat mereka menyesal telah menyakitimu!" ucapnya penuh amarah.

Renata mengangguk "Terima kasih," katanya sambil dipeluknya dengan erat tubuh Bianca.

"Sama-sama, Ren."

"Dadaaaaaah."

"Take care," teriak Bianca.

Renata memacu mobil kesayangannya menuju rumahnya. Jam menunjukan pukul delapan malam. Pikirannya menerawang dengan kata seandainya, ia mulai bimbang dengan amarahnya. Pikirnya, jika pun harus bercerai dengan Doni, pastinya harus menunggu sampai ia melahirkan terlebih dahulu.

 Lampu ruang tamu yang temaram menambah suasana hati dan keadaan rumah seperti ikut bermuram durja pada Renata yang sedang terluka.

Ia mendesah pelan, hari ini begitu melelahkan, sederetan masalah datang tanpa disangka-sangka. Bahkan tak pernah terpikir olehnya, suami tercintanya akan berbuat securang itu.

Renata melirik ruang kerja di sudut lantai dua. Lampunya menyala, itu menandakan suaminya ada disana, tapi ia malas meski hanya untuk memastikannya. Renata lebih memilih masuk ke kamar lalu mandi dengan berendam air hangat, mungkin akan lebih baik untuknya yang sedang dalam suasana hati terluka setidaknya ia bisa melemaskan otot-otot yang tegang. 

Sejam kemudian Renata selesaikan ritual mandinya dan merebahkan diri diatas tempat tidur dengan suasana kamar yang temaram dan wangi aromatherapy membantunya rileks. Perlahan ia memejamkan matanya meski beribu pertanyaan masih berkecamuk di kepalanya tanpa jawaban, kemudian ia terbuai ke alam mimpi bersama larutnya malam.

———

Doni mendengar pintu terbuka dan detak sepatu yang bersahutan. Tapi ia Malas sekali rasanya berhadapan dengan Renata, sebab itulah ia lebih memilih berpura-pura sibuk di ruang kerjanya, meski tadi ia sempat melirik dengan ekor matanya saat Renata berdiri di ujung tangga. Tapi Doni lebih memilih mengabaikannya.

Rasa bersalah terhadap Renata yang membuatnya menghindari istrinya itu. Padahal Renata sedang hamil buah cinta mereka. Namun tak lantasembuat Doni setia.

"Akh lebih baik aku chat Lia saja."

[ Sudah tidur? ]

[Belum] 

[Kenapa?]

[Gak tau, gak bisa tidur]

[Besok ada waktu?] 

[Kenapa?]

[Kita makan siang]

[Besok aku kabari]

[Baiklah, selamat malam]

Doni mematikan ponselnya dan merebahkan tubuhnya di sofa ruang kerja. Berat sekali kakinya, untuk melangkah ke kamar tidur dan berbaring bersama Renata, malah lebih memilih sofa sebagai pelepas lelahnya malam ini.

Dunia tentang Renata seolah terampas semenjak kehadiran Lia, seorang perempuan kecil mungil berpakaian syar'i. Sungguh jauh dengan Renata yang bodygoals tapi kalem.

Lia sosok perempuan yang lemah lembut dan manja sepertinya, buktinya dia selalu meminta bantuan pada Doni perihal pekerjaan. Padahal menurut Doni tidak terlalu sulit untuk ukuran mahasiswa sepertinya. Bertolak belakang dengan Renata yang mandiri. Selalu bisa mengerjakan segala hal tanpa dirinya, apalagi Renata seorang pemilik butik yang lumayan ternama di kalangan para sosialita yang ada di kota mereka. Tentunya jaringan pergaulan Renata lebih luas dan lebih unggul dari Lia. Entah yang dirasakannya ini adalah rasa minder atau merasa kalah sebagai laki-laki. Sehingga Doni dengan mudah berpaling pada Lia.

Ia pejamkan mata mencoba memaksa melupakan semua kepenatan dikepalanya dari masalah yang dibuatnya sendiri. Ingin rasanya terlelap dan segera mimpi indah tentunya dengan Lia wanita mungil yang jadi dunianya saat ini.

——

Renata mengerjapkan matanya saat alarm di ponselnya berbunyi, memaksanya bangkit dan meraih benda pipih itu. ia terpaku pada tempat di sebelahnya yang masih rapih, tanda tidak ada yang menempati nya tadi malam.

Ia menghela nafas panjang, sepagi ini hatinya kembali sakit dan terluka oleh suaminya lalu Renata membuka ponselnya untuk melihat whatsweb suaminya itu. Dan air matanya pun luruh tanpa bisa ditahan, rasanya seperti dihantam palu besar tepat di ulu hatinya saat melihat percakapan tadi malam antara suaminya dan Lia.

"Mau bagaimanapun aku harus mengakhiri rasa sakit yang kurasakan ini, aku tidak boleh membiarkan manusia jah*nam itu menghancurkan ku lebih dalam lagi, aku harus bertindak sesegera mungkin!" Renata bermonolog sendiri.

Ia bangkit dan turun kebawah. Tenggorokan terasa kering dan perutnya lapar. Terakhir makan kemarin sore di rumah Bianca, bahkan semalam dia sampai lupa minum susu hamilnya.

"Neng, mau dibikinin sarapan apa?" tanya Bik Sumi asisten rumah tangganya saat melihat Renata berjalan menuju dapur.

"Susu sama roti bakar saja Bik, tapi susu saya yang bikin," sahutnya sambil mengambil cangkir dari laci dapur.

"Buat sarapan Den Doni, bikin apa ya, Neng?" tanya Bi Sumi lagi.

"Entahlah, Bi, mungkin dia tidak sarapan di rumah lagi, Bik?" sahutnya singkat.

Bik Sumi mengelus lembut pundak majikannya tanpa bercerita pun pasti Bik Sumi sudah tau dengan kehambaran suasana rumah tangga antara Renata dan Doni.

"Saya baik-baik saja, Bi," tegasnya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, Neng, semoga allah selalu melindungi, Neng dan keluarga dari segala macam bala," tuturnya.

"Aamiin." sahutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status