Doni menggeliat dari tidurnya, pundaknya terasa ngilu karena semalam dia tidur di sofa ruang kerjanya. Dia meraih ponselnya, ada tanda pesan masuk tertera dilayarnya.
[Saya diluar pagi ini, Mas Doni mau kemana]
Pesan pemberitahuan dari Lia.
Doni termenung sejenak. Alasan apa yang akan diberikannya pada Renata agar bisa keluar, karena hari ini hari minggu. Dia mengabaikan pesan dari Lia dan bergegas ke kamar untuk mandi lalu turun sarapan. Sepertinya Renata sudah dibawah, Doni mendengar suaranya, berbicara dengan Bik Sumi.
Tak perlu waktu yang lama untuk mandi, kini Doni sudah rapi dengan baju santainya celana pendek hitam dan kaos oblong putih, terlihat sangat gagah dan akan membuat siapapun terpesona melihatnya.
Doni menuruni anak tangga dan menuju ruang makan, disana terlihat Renata sedang terduduk sendiri mengaduk susu nya.
"Selamat pagi, Ren," sapanya.
"Pagi, Mas," jawab Renata dengan dingin, matanya tak lepas dari gelas susu yang sedang di aduknya.
Doni memperhatikan Renata dengan heran, istrinya terus mengaduk gelas susunya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Ren … Rena," sapanya sambil menggoyangkan lima jarinya dihadapan Renata.
"Eh — ih — ada apa, Mas?" tanyanya gugup.
'kamu ada masalah?" tanya Doni lagi.
Renata seketika mendelik ke arah Doni dengan tatapan membunuh.
Lagi Doni heran, " Ren, kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi.
"Emh … saya sudah selesai makan, Mas," terang Renata.
"Lantas?"
"Mau ke kamar, kepalaku pusing," jawab Renata sekenanya, padahal dia muak dengan Doni yang berlaku tanpa dosa.
"Mari mainkan permainan ini Mas!" batinnya menjerit hancur. Renata menaiki undakan tangga dengan langkah tegap, dia berusaha menguatkan dirinya agar tak ada yang berani mengasihaninya.
Sejak kecil hidupnya selalu penuh dengan airmata. Tapi ada neneknya yang selalu meyakinkan untuk terus melangkah menggapai semua cita-citanya. Dan ketika dirinya sampai pada tahapan apa yang dulu diimpikan beliau, neneknya sudah meninggal jauh sebelum menyaksikannya sukses.
Tes … dua bulir bening lolos melewati pipinya, kini Renata hanya bisa menangisi sebuah foto. Foto saat bersama neneknya, pada waktu mereka liburan di kebun bunga, senyumnya tanpa beban. "Akh," dia mendesah menahan rindu pada perempuan tua yang selalu menyayanginya tanpa syarat.
Seketika kenangan bersama neneknya berputar kembali di memori kepalanya,
Kasih sayangnya begitu tulus tanpa noda pada si yatim-piatu itu. hingga dia tumbuh besar serta berhasil mencapai apa yang sulit didapatkannya dulu.
"Mak," Renata mengusap gambar wajah sang Nenek.
"Seandainya, Emak, masih ada mungkin, Rena, tidak akan selemah ini."
Dia mengusap kasar air matanya, saat mendengar derap langkah mendekat.
Renata melihat Doni masuk ke kamar, lalu menuju walk in closet, sepertinya dia berganti pakaian. "Sudah tentu akan pergi menemui gundiknya," geram Renata dalam hatinya.
"Aku keluar sebentar, Ren," ucapnya sambil meraih dompet di atas nakas.
"Mau pesan, Apa?" tanyanya dan berhenti di ujung pintu.
"Aku ikut," sahut Renata, sambil bangkit.
Hah?!"
Doni menganga mendengar penuturan istrinya yang tiba-tiba ingin keluar bersamanya.
"Aku mau ke dokter kandungan, ada jadwal check up hari ini," terangnya.
"Baiklah, aku tunggu di bawah," ujar Doni sambil melangkah keluar.
Pikirannya berkecamuk dan ingin mengumpat pada istrinya, tadi di ruang makan Renata bilang pusing, sekarang malah ingin ikut keluar dengannya. Sementara diluar sana Lia sudah siap sedang menunggunya. Akhirnya dia menekan tanda gagang telepon di ponselnya dengan segera.
"Kamu sudah diluar?" tanya Doni saat teleponnya tersambung.
"iya, Mas."
"Maaf … tiba-tiba perutku sakit, jadi sepertinya aku gak jadi keluar."
"Hah?!" Eh, baiklah, Lia tersentak kaget dengan apa yang Doni ucapkan.
"Semoga lekas sehat," pungkasnya, suaranya jelas bernada kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Doni.
"Maaf," cicit Doni.
"Tak apa, Mas." sahutnya lemah, sambungan telepon pun terputus.
Sementara diujung tangga Renata berdiri tegap mendengarkan percakapan suaminya dengan perempuan itu. Hatinya terbakar cemburu dan amarah! Ingin rasanya merampas ponsel yang sedang dipegang suaminya itu. lalu menghajarnya sedemikian rupa. Tapi Renata tidak punya keberanian sejauh itu.
"Sudah siap?" tanya Doni saat berbalik dan menemukan istrinya mematung beberapa meter dari tempatnya berdiri. Kaget luar biasa sebenarnya saat menemukan Renata berada tak jauh dari tempatnya berada.
"Aku kok pusing ya, Mas," celutuk Renata tiba-tiba sambil memegangi kepalanya.
Doni sigap menghampiri "ayo! Sini ku gendong," ucap suaminya, terlihat panik.
Renata membiarkan tubuhnya di bopong oleh Doni ke dalam mobil, bau aroma tubuh suaminya membuatnya memejamkan mata. Dan terkenang betapa dulu bau itu adalah candu buatnya. Perih dan sakit hatinya saat mengingat kecurangan Doni.
Doni menurunkan tubuh istri cantiknya yang dikhianatinya dengan hati-hati. Ada gurat sesal di wajahnya telah mencurangi wanita yang sangat ia cintai tapi itu dulu. Karena kini perasaannya entah apa yang tersisa untuk Renata. Semua dunianya kini dipenuhi wanita mungil yang berhijab lebar itu.
Mobil melaju dengan pelan membelah jalan raya yang sedikit padat merayap karena hari minggu. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri termasuk Doni.
Ditengah alunan suaranya Richard Mark tiba-tiba ponsel Doni berbunyi dan nama Lia terpampang jelas disana. Doni tersentak dan spontan mengerem mendadak hingga suaranya berdecit hebat. Sementara kepala Renata terbentur kaca samping mobil.
"Aaaw !?" teriak Renata sambil tangannya menumpu pada dasbor mobil. Benturan di kepalanya terasa berdenyut dan membuat penglihatannya mengabur, sementara ponsel Doni terus meraung-raung menandakan si penelpon sangat ingin berbicara.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya, Doni seketika panik dan gemetar, melihat istrinya memejamkan mata dan bersandar pada sandaran jok.
Renata tidak menjawab, nyeri pada kepalanya kian berdenyut, dan perutnya terasa kram.
Doni meraih tangan Renata dan meremasnya. Beberapa orang mengetuk kaca mobilnya terlihat mengkhawatirkan Doni dan Renata.
"Kami baik-baik saja pak," tegas Doni saat kaca mobil telah diturunkan. Terima Kasih Doni menangkupkan kedua tangan di dadanya sambil mengangguk.
Orang-orang yang tadi berkerumun pun membubarkan diri setelah memastikan pengemudi mobil dalam keadaan baik-baik saja. Lalu Doni melajukan kembali mobilnya ke tempat tujuan mereka.
Kram di perut Renata kian menjadi sepertinya sang bayi dalam perut tidak nyaman, Renata meringis sambil memegangi perutnya.
"Aaargh …. rintihnya.
"Ren," panggil Doni terlihat khawatir mendengar rintihan istrinya.
Tapi Renata malah mengunci rapat mulutnya.
Kini tujuan Doni tidak lagi ke dokter kandungan, tapi ke IGD sebuah rumah sakit terdekat, dia turun di depan IGD dan memanggil penjaga agar membawa brankar untuk Renata yang terus meringis.
Beberapa petugas sigap menghampiri mobilnya Doni, dengan membawa brankar. Renata di pindahkan oleh suaminya, lalu petugas mendorong nya, seorang suster menghampiri Doni.
"Ini kenapa pak?" tanyanya.
"Tadi saya ngerem mendadak dan istri saya kepalanya terbentur dan kesakitan terus sus," bebernya.
"Baiklah, Bapak urus administrasi dulu sebelah sana, kami akan menangani istri Anda," tutur suster dan meninggalkan Doni.
Doni membuang napasnya dengan kasar, dan menjambak rambutnya sendiri. Dia panik tidak terkira, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Renata dan kandungannya. Bagaimana kalau anaknya ada apa-apa.
Bodoh sekali. Doni merutuki perbuatannya sendiri.
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya