Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira.
Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja.
Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini.
***
Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
“Dek, aku mau nikah lagi,” ucap Yusuf Pramudya, lelaki bergelar suami yang menikahiku belum lama ini. Entah apa alasan suamiku yang baru pulang dari luar kota, langsung memberitahukan keinginannya itu kepadaku, sedangkan koper yang dibawanya belum aku bongkar. Mas Yusuf menarik tanganku yang baru saja meletakan tas kerjanya di meja. Lelaki itu berdiri gagah di depanku dengan kemeja digulung hingga siku dan dasi yang dilonggarkan sembari tangan kekarnya menggenggam tanganku. Bau maskulin dari tubuhnya menyeruak di hidungku karena begitu dekatnya ia berdiri. Jantungku mendadak berdegup kencang. Aku sering mengalami ini saat didekatinya. Namun, mengapa kali berbeda. Ada rasa takut juga dalam hatiku. Apakah ia serius dengan ucapannya tadi? Aku coba menepis pikiran itu. "Apa kau mengijinkan aku untuk menikah lagi, Nadhira?" tanyanya dengan seutas senyuman meminta persetujuan. Kulepaskan genggamannya dan tidak ingin kujawab. Aku malah beralih ke dap
"Mas Yusuf!!!" Aku terduduk dengan napas tersengal. Buliran keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhku. Rupanya aku bermimpi. Mimpi tentang Mas Yusuf yang pergi dari kehidupanku. Kuatur ritme napasku yang masih tersengal sehingga membuat bahuku naik turun. Lelah sekali rasanya.Aku mengalihkan pandang pada sosok yang tengah terlelap di sampingku. Yusuf Pramudya, laki-laki yang secara gentle melamarku dan meminta diriku untuk menjadi istrinya tiga bulan yang lalu.Saat pertama bertemu dengannya, ia begitu gigih berjuang untuk mendapatkan hatiku walau beberapa kali aku sempat menolaknya. Dengan kegigihannya itu dan perhatian yang ia berikan padaku hingga membuat aku luluh. Akhirnya aku pun menerima cinta lelaki itu. "Sekali lagi kutanya padamu, Nadhira," ucapnya padaku kala itu. Saat ia memutuskan untuk melamarku secara pribadi di sebuah cafe. "Apa yang ingin kamu tanyakan, Mas?" tanyaku berlaga tak mengerti. Padahal aku tahu maksud hatinya. Kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari kan
"Hai, Nadhira!" sapa perempuan yang berdiri di depanku."Naura?" ucapku lirih dengan mata membeliak.Pagi-pagi begini Naura datang ke rumahku, untuk apa? Dan ini adalah pertemuan pertamaku dengannya setelah sekian lama."Lama gak ketemu, sejak kita lulus kuliah dulu. Kamu apa kabar?" tanya Naura dengan senyum terkembang."Ba-baik," jawabku terbata.Aku mendadak gugup. Tidak seharusnya aku bertingkah seperti ini di depan Naura. Dia adalah teman kuliahku dulu dan aku berteman baik dengannya ketika itu. Kami sangat akrab. Kami belajar bersama, makan di kantin kampus bersama, bahkan kami sering hangout bareng bila jam kuliah kosong. Seharusnya kami saling berpelukan dan melepas rindu, karena kami baru bertemu lagi setelah hampir lima tahun.Naura makin cantik dengan tatanan rambut panjang ikal kecoklatan yang dibiarkan tergerai. Rambut pendek yang saat kuliah dulu menjadi potongan rambut favoritnya, sekarang telah berganti. Man
Hari itu pun tiba. Hari di mana suamiku akan mengucap ijab kabul untuk kedua kali dengan atasannya sekaligus teman lamaku. Naura Amanda. Mas Yusuf sudah rapi dengan setelan kemeja putih yang dipadukan dengan jas hitam. Sama seperti tiga bulan yang lalu saat ia mengucapkan janji sucinya kepadaku. Sosok itu selalu terlihat tampan dan gagah. "Kamu gak usah hadir ke pernikahanku, ya! Setelah acara ijab kabul, aku akan langsung pulang," ucap suamiku tiba-tiba. Peci hitam yang sedari tadi dimainkannya, ia pakai di kepala. "Gak, Mas, aku mau ikut ke pernikahanmu. Aku juga ingin menyaksikan kamu menikah," rengekku sambil mencoba bersikap baik-baik saja. Ah, tidak. Sebenarnya hatiku sangat pedih. "Aku khawatir, kamu tidak akan kuat melihatku menikahi Naura. Jadi, kau di rumah saja, tunggu aku pulang! Oke?!" pinta suamiku lagi sembari menangkup kedua pipiku. Satu kecupan kilat mendarat di bibirku. Aku merasakan sentuhan lembut dari tangan lelaki i
Dadaku terasa sesak menyaksikan suamiku mengucapkan ijab kabulnya. Aku berlari keluar dari keramaian dengan deraian air mata. Aku tidak peduli orang-orang di sana menatapku. Hingga di sebuah ruang sepi, di mana tidak ada orang, aku berjongkok dan menangis tersedu. Wanita mana yang sanggup menyaksikan suaminya menikah lagi dan berbagi suami dengan wanita lain. Sekuat apapun aku menahan rasa sesak di dadaku, nyatanya aku lemah dan tidak mampu melihat semua itu. "Ambil ini, hapus air matamu!" ucap seorang laki-laki. Aku mendongak dan melihat siapa laki-laki yang berdiri di depanku. Adrian Mahesa. Lelaki yang selalu ada saat aku sedang sedih. Dia adalah temanku dan juga teman suamiku. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa dia ada di sini? Bukankah tadi dia mengantar ayahku pulang? tanyaku dalam hati. "Ayo berdiri dan hapus air matamu!" suruhnya sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Rian, begitu