Share

Mengarang Cerita

Usai memakai seragam sekolahnya, Devan menutup pintu dan mengunci rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas. Meskipun rumah itu kecil dan terlihat kuno, tetap saja dia merasa nyaman karena itu rumahnya dan dia tinggal disana bersama sang ayah.

Memakai tas gendong ke punggung, lalu menumpu tangan pada bahu Daffa, Devan melebarkan langkah kaki dan duduk di belakang sahabatnya itu.

“Pegang erat-erat,” Daffa memberikan peringatan sembari menarik gas motor yang mulai melaju kencang membelah jalanan.

“Aziel gak bareng kita?”

“Gue buru-buru setelah lu kirim pesan tadi. Lu ngapain pagi-pagi di sana?”

Devan terdiam sejenak, bola matanya berputar karena otaknya tengah bekerja mencari alasan. “Ceritanya panjang,” hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan. Mungkin jika nanti Daffa masih menanyakan tentang itu, Devan perlu memikirkan jawaban lain sekali lagi.

Laju motor yang tengah dikendarai oleh Daffa akhirnya melewati gerbang sekolah dan berhenti di area parkir. Kedua remaja itu sama-sama turun. Dari kejauhan tampak Aziel memasuki gerbang dan berhenti di samping mereka berdua.

Sembari membuka helm. “Kalian berdua. Ayo ikut gue ke kantin.”

“Tapi sebentar lagi bel masuk akan berbunyi,” kata Devan mencoba mengingati temannya itu.

“Ck. Gue belum sarapan pagi dan tadi malam belum makan sama sekali. Sekarang perut gue perih banget. Oh, ayolah boys.” Aziel mulai melangkah, Devan dan Daffa saling melemparkan pandangan kemudian mengikuti Aziel dan berusaha mensejajarkan langkah.

Daffa berasal dari keluarga lumayan berada. Meskipun tidak terlalu kaya seperti Aziel, tetapi dia masih mampu membeli apapun yang dia inginkan menggunakan uang dari orang tuanya. Contohnya saja dia memiliki motor sport sebagai tunggangan kemanapun dia ingin pergi. Begitu juga halnya dengan Aziel. Laki-laki itu berasal dari keluarga kaya dan merupakan calon penerus keluarga besarnya. Jauh dan kontras sekali dengan kehidupan Devan yang hidup dalam garis serba berkekurangan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ditambah dengan pengobatan sang ayah, dia terpaksa bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan menjadi seorang office boy. Berteman dengan kedua orang itu merupakan suatu keberuntungan besar bagi Devan. Bukan karena status sosial keduanya melainkan karena mereka memiliki hati yang tulus.

Baru saja mereka bertiga memesan makanan dengan melahap satu suapan, bel tanda masuk untuk jam pertama pelajaran terdengar berbunyi nyaring.

“Bel udah bunyi.”

“Biarin aja.”

Kemudian kembali menyantap makanan masing-masing. Setelah kandas dan membayar, mereka bertiga berlarian menuju kelas. Mencapai pintu kelas, sebuah tatapan tajam menyambut mereka.

Aziel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari cengengesan. “Ehehe. Pak Sukri. Maaf kami terlambat.”

“Masuk kalian.”

Devan, Aziel dan Daffa melenggang masuk dan melangkah menuju meja masing-masing.

“Kalian mau ke mana?”

Daffa memutar tubuh, menoleh pada Pak Sukri. “Mau duduk,” jawabnya polos.

“Saya tidak menyuruh kalian duduk. Berdiri di depan kelas.”

Menghela napas panjang. Meletakkan tas di meja, lalu berdiri di depan kelas.

Pak Sukri masih saja menatap mereka dengan tatapan tajam. “Devan.”

“Iya, Pak.”

“Belakangan ini kamu selalu datang terlambat. Apa kamu tidak memikirkan tentang cita-cita kamu!”

“Maaf, Pak.”

“Kamu lagi Aziel! Sudah sering datang terlambat, rambut panjang kayak preman. Ini lagi! Pakai apa-apa begini!” Pak Sukri menarik kalung besi yang melingkar di leher Aziel.

“Aw, sakit, Pak. Biar saya yang buka sendiri.” Tangannya cekatan membuka kalung yang tengah Ia pakai, lalu memberikannya pada Pak Sukri.

“Daffa.”

“Iya, Pak, maaf. Kami tahu dan ngaku salah. Tapi nggak sengaja, Pak. Suer! Kami terlambat karena ada alasannya.”

“Alasan aja kamu! Sudah! pergi kalian duduk sana. Lain kali kalau terlambat lagi orang tua kalian semua akan Bapak panggil ke sekolah.”

Ketiganya melangkah dan duduk di meja masing-masing. Sedangkan Pak Sukri mulai memberikan materi pelajaran.

“Sekarang kalian kerjakan tugas yang Bapak berikan. Bapak dan guru lainnya ada rapat sebentar, nanti Bapak masuk lagi untuk memeriksa tugas.”

“Baik, Paaak!” jawab satu kelas serentak. Pak Sukri berangsur meninggalkan kelas.

Daffa berdiri dan menghampiri Devan yang tengah serius mengerjakan tugas.

“Minggir lu,” Daffa mengusir salah seorang teman yang memiliki kursi dekat dengan Devan. Setelah temannya itu pergi pindah, Daffa mengambil alih kursi itu dan menariknya hingga rapat di meja Devan.

“Dev.”

“Hhhmm.”

“Gue mau tanya.”

“Selesaikan tugas kamu dulu, Daff.” Devan menjawab tanpa melirik pada temannya itu. Dia fokus menulis.

“Alah, ngapain ngerjain tugas, palingan guru rapat sampai jam istirahat.”

“Terserah kamulah. Jangan ganggu aku.”

Daffa merampas pulpen di tangan Devan.

“Jawab pertanyaan gue dulu.”

Devan melirik malas dengan satu tangan menyandar pada sandaran kursi kayu itu. Dia tahu apa yang akan ditanyakan temannya ini.

“Gue penasaran, kenapa pagi-pagi banget lu ada di kawasan elit itu?”

“Subuh-subuh aku pergi menjenguk ayahku di rumah sakit, terus waktu mau pulang ke rumah, ada seorang laki-laki tua dirampok dua orang bersenjata tajam. Aku menolongnya dan memastikan dia sampai ke rumah dengan selamat.”

“Wehhh. Keren lu Dav,” ujar Aziel yang sudah berdiri di samping Devan dan entah sejak kapan.

Devan memamerkan senyum penuh jumawa. “Menurut kalian, kapan aku pernah tidak terlihat keren.”

Lalu mereka bertiga tertawa. Sedangkan anak-anak lainnya pun riuh rendah dengan kenakalan masing-masing. Namun, beberapa saat Daffa terdiam seperti tengah teringat tentang sesuatu. “Tunggu!” katanya. “Kok cerita ini sangat familiar ya.”

Aziel juga ikut terdiam, kemudian menganggukkan kepala. “Gue ingat. Bukannya cerita ini sama dengan kejadian waktu itu. Lu nolongin laki-laki tua dari rampok bersenjata sampai tangan lu terluka dan bawa ke rumah sakit. Waktu itu, lu juga sempat viral di I*******m dan di beberapa media lainnya, lu pahlawan.”

Devan tergagap. Tentu saja karena cerita yang baru saja dia katakan tadi juga merupakan cerita yang sama dengan beberapa bulan yang lalu.

“Lu ngebohongin gue, Dev?” cecar Daffa.

Alhasil Devan hanya bisa cengengesan. “Dah, dah! Pergi kalian duduk di bangku masing-masing. Aku mau menyelesaikan tugas.” Devan merampas pulpen miliknya dari tangan Daffa.

Kedua laki-laki itu pun kembali ke meja masing-masing.

_______

Jam pulang sekolah, Aziel, Devan dan Daffa jalan seiringan langkah.

“Ntar lu mulai masuk kerja lagi, Dav?”

“Iya.”

“Tapi kenapa kemarin siang lu ambil cuti? terus gak ada di rumah.”

“A-aku — tentu saja ke rumah sakit.”

Brukss! Devan terhuyung beberapa langkah mundur ke belakang. Kemudian berusaha meluruskan tubuh. “Maaf, kamu nggak apa-apa?”

Gadis yang baru saja bertabrakan dengan Devan, mengangkat kepala.

“Naina,” suara Devan lirih. Gadis itu memamerkan senyuman manis. “Gak, kok. Gimana dengan kamu. Maaf aku melangkah buru-buru.”

“Aku juga nggak apa-apa.” Devan tersenyum kikuk. Naina gadis yang Ia sukai, tetapi tidak pernah mampu menyatakan perasaannya pada gadis itu disebabkan oleh status sosialnya. Devan tidak memiliki rasa percaya diri. Kedua insan itu saling bertatapan dengan senyum-senyum.

“Gerah! tiba-tiba cuaca terasa gerah,” ledek Daffa hingga membuyarkan lamunan keduanya. Ditambah pula dengan suara nada dering yang berasal dari ponsel Devan.

“Maaf, aku permisi duluan.”

Naina mengangguk sembari masih tersenyum. Sementara Devan mulai menjauh dari ketiga orang itu.

“Halo ini siapa?”

“Papaku akan pulang ke rumah sebentar lagi. Kamu pun harus pulang karena aku tidak ingin Papa bertanya tentangmu.”

Devan kembali menatap layar ponsel. Nomor baru yang tidak dikenal ini adalah nomor istrinya. Istri? Ah, seketika Devan menjadi lesu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status