Share

Mengarang Cerita

Aвтор: Ima Alyanadira
last update Последнее обновление: 2024-01-21 14:57:59

Usai memakai seragam sekolahnya, Devan menutup pintu dan mengunci rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas. Meskipun rumah itu kecil dan terlihat kuno, tetap saja dia merasa nyaman karena itu rumahnya dan dia tinggal disana bersama sang ayah.

Memakai tas gendong ke punggung, lalu menumpu tangan pada bahu Daffa, Devan melebarkan langkah kaki dan duduk di belakang sahabatnya itu.

“Pegang erat-erat,” Daffa memberikan peringatan sembari menarik gas motor yang mulai melaju kencang membelah jalanan.

“Aziel gak bareng kita?”

“Gue buru-buru setelah lu kirim pesan tadi. Lu ngapain pagi-pagi di sana?”

Devan terdiam sejenak, bola matanya berputar karena otaknya tengah bekerja mencari alasan. “Ceritanya panjang,” hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan. Mungkin jika nanti Daffa masih menanyakan tentang itu, Devan perlu memikirkan jawaban lain sekali lagi.

Laju motor yang tengah dikendarai oleh Daffa akhirnya melewati gerbang sekolah dan berhenti di area parkir. Kedua remaja itu sama-sama turun. Dari kejauhan tampak Aziel memasuki gerbang dan berhenti di samping mereka berdua.

Sembari membuka helm. “Kalian berdua. Ayo ikut gue ke kantin.”

“Tapi sebentar lagi bel masuk akan berbunyi,” kata Devan mencoba mengingati temannya itu.

“Ck. Gue belum sarapan pagi dan tadi malam belum makan sama sekali. Sekarang perut gue perih banget. Oh, ayolah boys.” Aziel mulai melangkah, Devan dan Daffa saling melemparkan pandangan kemudian mengikuti Aziel dan berusaha mensejajarkan langkah.

Daffa berasal dari keluarga lumayan berada. Meskipun tidak terlalu kaya seperti Aziel, tetapi dia masih mampu membeli apapun yang dia inginkan menggunakan uang dari orang tuanya. Contohnya saja dia memiliki motor sport sebagai tunggangan kemanapun dia ingin pergi. Begitu juga halnya dengan Aziel. Laki-laki itu berasal dari keluarga kaya dan merupakan calon penerus keluarga besarnya. Jauh dan kontras sekali dengan kehidupan Devan yang hidup dalam garis serba berkekurangan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ditambah dengan pengobatan sang ayah, dia terpaksa bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan menjadi seorang office boy. Berteman dengan kedua orang itu merupakan suatu keberuntungan besar bagi Devan. Bukan karena status sosial keduanya melainkan karena mereka memiliki hati yang tulus.

Baru saja mereka bertiga memesan makanan dengan melahap satu suapan, bel tanda masuk untuk jam pertama pelajaran terdengar berbunyi nyaring.

“Bel udah bunyi.”

“Biarin aja.”

Kemudian kembali menyantap makanan masing-masing. Setelah kandas dan membayar, mereka bertiga berlarian menuju kelas. Mencapai pintu kelas, sebuah tatapan tajam menyambut mereka.

Aziel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari cengengesan. “Ehehe. Pak Sukri. Maaf kami terlambat.”

“Masuk kalian.”

Devan, Aziel dan Daffa melenggang masuk dan melangkah menuju meja masing-masing.

“Kalian mau ke mana?”

Daffa memutar tubuh, menoleh pada Pak Sukri. “Mau duduk,” jawabnya polos.

“Saya tidak menyuruh kalian duduk. Berdiri di depan kelas.”

Menghela napas panjang. Meletakkan tas di meja, lalu berdiri di depan kelas.

Pak Sukri masih saja menatap mereka dengan tatapan tajam. “Devan.”

“Iya, Pak.”

“Belakangan ini kamu selalu datang terlambat. Apa kamu tidak memikirkan tentang cita-cita kamu!”

“Maaf, Pak.”

“Kamu lagi Aziel! Sudah sering datang terlambat, rambut panjang kayak preman. Ini lagi! Pakai apa-apa begini!” Pak Sukri menarik kalung besi yang melingkar di leher Aziel.

“Aw, sakit, Pak. Biar saya yang buka sendiri.” Tangannya cekatan membuka kalung yang tengah Ia pakai, lalu memberikannya pada Pak Sukri.

“Daffa.”

“Iya, Pak, maaf. Kami tahu dan ngaku salah. Tapi nggak sengaja, Pak. Suer! Kami terlambat karena ada alasannya.”

“Alasan aja kamu! Sudah! pergi kalian duduk sana. Lain kali kalau terlambat lagi orang tua kalian semua akan Bapak panggil ke sekolah.”

Ketiganya melangkah dan duduk di meja masing-masing. Sedangkan Pak Sukri mulai memberikan materi pelajaran.

“Sekarang kalian kerjakan tugas yang Bapak berikan. Bapak dan guru lainnya ada rapat sebentar, nanti Bapak masuk lagi untuk memeriksa tugas.”

“Baik, Paaak!” jawab satu kelas serentak. Pak Sukri berangsur meninggalkan kelas.

Daffa berdiri dan menghampiri Devan yang tengah serius mengerjakan tugas.

“Minggir lu,” Daffa mengusir salah seorang teman yang memiliki kursi dekat dengan Devan. Setelah temannya itu pergi pindah, Daffa mengambil alih kursi itu dan menariknya hingga rapat di meja Devan.

“Dev.”

“Hhhmm.”

“Gue mau tanya.”

“Selesaikan tugas kamu dulu, Daff.” Devan menjawab tanpa melirik pada temannya itu. Dia fokus menulis.

“Alah, ngapain ngerjain tugas, palingan guru rapat sampai jam istirahat.”

“Terserah kamulah. Jangan ganggu aku.”

Daffa merampas pulpen di tangan Devan.

“Jawab pertanyaan gue dulu.”

Devan melirik malas dengan satu tangan menyandar pada sandaran kursi kayu itu. Dia tahu apa yang akan ditanyakan temannya ini.

“Gue penasaran, kenapa pagi-pagi banget lu ada di kawasan elit itu?”

“Subuh-subuh aku pergi menjenguk ayahku di rumah sakit, terus waktu mau pulang ke rumah, ada seorang laki-laki tua dirampok dua orang bersenjata tajam. Aku menolongnya dan memastikan dia sampai ke rumah dengan selamat.”

“Wehhh. Keren lu Dav,” ujar Aziel yang sudah berdiri di samping Devan dan entah sejak kapan.

Devan memamerkan senyum penuh jumawa. “Menurut kalian, kapan aku pernah tidak terlihat keren.”

Lalu mereka bertiga tertawa. Sedangkan anak-anak lainnya pun riuh rendah dengan kenakalan masing-masing. Namun, beberapa saat Daffa terdiam seperti tengah teringat tentang sesuatu. “Tunggu!” katanya. “Kok cerita ini sangat familiar ya.”

Aziel juga ikut terdiam, kemudian menganggukkan kepala. “Gue ingat. Bukannya cerita ini sama dengan kejadian waktu itu. Lu nolongin laki-laki tua dari rampok bersenjata sampai tangan lu terluka dan bawa ke rumah sakit. Waktu itu, lu juga sempat viral di I*******m dan di beberapa media lainnya, lu pahlawan.”

Devan tergagap. Tentu saja karena cerita yang baru saja dia katakan tadi juga merupakan cerita yang sama dengan beberapa bulan yang lalu.

“Lu ngebohongin gue, Dev?” cecar Daffa.

Alhasil Devan hanya bisa cengengesan. “Dah, dah! Pergi kalian duduk di bangku masing-masing. Aku mau menyelesaikan tugas.” Devan merampas pulpen miliknya dari tangan Daffa.

Kedua laki-laki itu pun kembali ke meja masing-masing.

_______

Jam pulang sekolah, Aziel, Devan dan Daffa jalan seiringan langkah.

“Ntar lu mulai masuk kerja lagi, Dav?”

“Iya.”

“Tapi kenapa kemarin siang lu ambil cuti? terus gak ada di rumah.”

“A-aku — tentu saja ke rumah sakit.”

Brukss! Devan terhuyung beberapa langkah mundur ke belakang. Kemudian berusaha meluruskan tubuh. “Maaf, kamu nggak apa-apa?”

Gadis yang baru saja bertabrakan dengan Devan, mengangkat kepala.

“Naina,” suara Devan lirih. Gadis itu memamerkan senyuman manis. “Gak, kok. Gimana dengan kamu. Maaf aku melangkah buru-buru.”

“Aku juga nggak apa-apa.” Devan tersenyum kikuk. Naina gadis yang Ia sukai, tetapi tidak pernah mampu menyatakan perasaannya pada gadis itu disebabkan oleh status sosialnya. Devan tidak memiliki rasa percaya diri. Kedua insan itu saling bertatapan dengan senyum-senyum.

“Gerah! tiba-tiba cuaca terasa gerah,” ledek Daffa hingga membuyarkan lamunan keduanya. Ditambah pula dengan suara nada dering yang berasal dari ponsel Devan.

“Maaf, aku permisi duluan.”

Naina mengangguk sembari masih tersenyum. Sementara Devan mulai menjauh dari ketiga orang itu.

“Halo ini siapa?”

“Papaku akan pulang ke rumah sebentar lagi. Kamu pun harus pulang karena aku tidak ingin Papa bertanya tentangmu.”

Devan kembali menatap layar ponsel. Nomor baru yang tidak dikenal ini adalah nomor istrinya. Istri? Ah, seketika Devan menjadi lesu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Brondong Nona Presdir    Konferensi pers

    Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka

  • Suami Brondong Nona Presdir    Skandal panas

    Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene

  • Suami Brondong Nona Presdir    Mau tapi Gengsi

    “Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid

  • Suami Brondong Nona Presdir    Sakit tapi Tidak Bersuara

    Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi

  • Suami Brondong Nona Presdir    Perasaan Gue Tulus untuk Tiara

    Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan

  • Suami Brondong Nona Presdir    Uring-uringan tidak menentu

    “Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status