Share

Ingin Waktu Cepat Berlalu

Usai mengganti baju seragam sekolahnya, Devan sudah rapi dengan baju kaos oblong yang dipadukan dengan hoodie serta celana jeans. Dia keluar dari rumah dan mengunci pintu. Melangkah dengan lebar menuju jalan Raya. Seharusnya saat ini dia ingin ke rumah sakit buat menjenguk sang ayah yang tengah terbaring tidak berdaya sebelum nanti dia berangkat pergi bekerja. Namun, ketidakberdayaan membuatnya harus memilih pergi pulang ke rumah Laura.

Devan bergegas naik di atas motor Abang ojol yang tadi dia pesan dan mulai melaju menuju kediaman Laura. Setibanya di kawasan elit itu, Devan turun dari motor ojol. Melihat kehadiran Devan disana, security bergegas membuka gerbang. “Pak,” tegur security itu ramah.

Devan membalas senyum security itu dengan perasaan canggung. “Panggil aku Devan aja Pak,” ujarnya, lalu mulai melangkah hingga tiba di depan pintu utama kediaman Arya Wiguna.

Tresno menyusul. “Mas, sudah di tunggu Tuan besar sama Nona Laura.”

Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langkah Tresno menuju dapur.

Seorang laki-laki tua tampak duduk di depan meja makan menggunakan kursi roda sembari menyungging senyum. “Ayo, duduk.”

Devan terlihat kikuk bercampur sungkan. Menarik kursi dengan perasaan canggung dan mulai duduk.

“Kenapa duduk di situ?” suara Arya Wiguna.

Devan kembali mengangkat bokongnya. Bingung entah kesalahan apa yang telah dia perbuat. Sulit juga rasanya beradaptasi dengan kehidupan orang kaya. Wajahnya tampak seperti orang bodoh. Namun, Laura cepat tanggap seolah mengerti dengan maksud sang ayah. Walaupun terdengar kagok akhirnya Laura berhasil melafalkan kalimat yang sebenarnya dia tidak suka katakan itu. “Sayang, kenapa duduk di sana. Ayo sini.”

Devan termangu. Darah berdesir, tetapi bukan karena jatuh cinta melainkan kalimat itu terlalu sakral untuk ia dengar.

Ucapan Laura barusan yang dilontarkan seolah tanpa beban membuat degup jantung Devan menjadi tidak karuan. Bisa-bisanya Laura berucap sayang padanya seperti ringan kapas yang diterbang angin. Pun begitu, Devan tetap pindah duduk di samping istrinya itu. Arya Wiguna kembali menyungging senyum menatap pada sang menantu.

“Papa gak nyangka kalau kamu orangnya. Tapi Papa sangat senang orang itu adalah kamu.”

Devan tersenyum tipis. Tampak sangat sungkan sekali.

“Kalian saling kenal?” Laura menatap pada sang ayah dan Devan secara bergantian.

“Menantuku ini superhero yang telah menyelamatkan aku dari begal waktu itu.”

Devan tampak salah tingkah. Rasanya kalau dia bisa jurus menghilang, dia sangat ingin menghilangkan wajahnya atas pujian yang ia anggap terlalu berlebihan itu. Devan duduk tampak sangat tidak nyaman. Laura melirik pada suaminya, tidak menyangka jika penyelamat itu adalah Devan suaminya sendiri.

Arya Wiguna, mengulum senyum. Sejujurnya laki-laki tua itu sangat bahagia ketika mengetahui Devan adalah orang yang menjadi pengantin pengganti itu. Pemuda di depannya sudah terhitung dua kali menyelamatkannya, mulai dari berhutang nyawa sampai berhutang budi dengan menyelamatkan nama baik keluarga besarnya.

“Ayo makan.”

Devan mengangguk. Ditatapnya hidangan yang tersaji di atas meja sungguh menggiur selera. Ragam lauk pauk yang begitu amat banyak, padahal hanya akan dimakan oleh tiga orang. Decak kagum pun tidak henti bagaikan syair di dalam hati Devan. Rasanya seperti mimpi bisa menikmati hidangan yang lezat seperti saat ini. Tiba-tiba saja wajah Devan terlihat sendu sebab Dia teringat pada adik perempuannya. Alhasil Devan tidak mampu menikmati hidangan itu dengan semestinya. Kerongkongan terasa seperti banyak ditumbuhi duri hanya sekedar untuk menelan nasi.

“Laura,” tegur Arya.

“Ha? Iya, Pa.” Laura yang tengah sibuk mengunyah itu cepat mengangkat kepala.

Arya berdecak gemes melihat putrinya yang tidak peka. “Kamu makan sendiri aja! Suamimu nggak ditawarin lauk yang dia suka?”

Laura melirik pada Devan yang makan dengan menunduk, lalu dia berdehem untuk berkompromi dengan egonya yang tinggi. Membujuk hati dan berkata tidak apa-apa hanya demi membuat hati sang ayah menjadi senang. Tangannya bergerak menarik rendang daging dan menawarkan rendang daging itu pada Devan. “Kamu mau ini sayang?”

Padahal kalimat terakhir itu diucapkannya dengan sangat bersusah payah. Laura sampai mengumpati dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berani berucap demikian pada laki-laki yang baru dikenalnya. Pipi Laura menggelembung menahan sesak.

Devan mengangkat kepala dan tersenyum kecut. “Aku akan mengambilnya sendiri.” Devan bergegas menghabiskan nasi di dalam piringnya. Kemudian melirik pada jam yang melingkar pada pergelangan tangan.

“Kamu punya janji dengan seseorang?”

Suara Arya membuyarkan lamunan Devan.

“Hah! Eh! Umm. Aku harus berangkat bekerja,” lirihnya. Suasana ini benar-benar membuatnya merasa canggung.

“Kalian berdua baru menikah. Cutilah beberapa hari.”

Devan tampak terlihat serba salah. Dia bingung harus menanggapi mertuanya itu bagaimana. Orang seperti dirinya sangat tidak mungkin izin cuti dengan alasan ingin berbulan madu. Hah! Yang benar saja. Yang ada keseriusannya dalam bekerja akan dipertanyakan, lalu hal terburuknya bisa saja dia dipecat. Ah, orang kaya raya yang penuh dengan gelimang harta tidak akan bisa memahami hal seperti ini. Devan mengusap kedua pahanya di balik meja makan. Dia melirik pada Laura berharap istri baru dinikahinya itu bisa menyelamatkan dirinya. Namun, siapa mengira jika Laura akan membuat keadaan semakin runyam. Laura tersenyum manis. “Hahaha,” Laura tertawa seperti orang bodoh. “Benar. Kita baru menikah, masa hari ini kamu udah mau masuk kerja.”

Devan melagakan giginya. ‘Tuhan, aku mohon bantuan tolong secepatnya waktu berlalu menuju enam bulan.’ Wajahnya tampak meringis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status