Devan berusia 18 tahun. Dia bersekolah di SMA negeri 2, tetapi tubuhnya yang tinggi tegap membuat banyak yang terkecoh dengan usianya itu. Dia hidup dengan seorang ayah yang sakit-sakitan. Ibunya sudah meninggal dunia. Dia bisa bersekolah karena mendapatkan biaya siswa penuh dan untuk biaya pengobatan ayahnya beserta biaya hidup mereka sehari-hari, Devan terpaksa bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan menjadi seorang cleaning service. Di sekolahnya dia menjadi seorang primadona karena wajahnya yang tampan rupawan tetapi sayangnya dia berwatak dingin dan tidak suka bersosialisasi. Dia hanya memiliki beberapa orang teman dan dia raja basket. Di sekolah, dia menyukai seorang gadis dan gadis itu juga menyukainya. Mereka saling menyukai tetapi tidak pernah tahu satu sama lain. Gadis itu merupakan ketua OSIS. Namanya Safira. Dia gadis yang periang, suka bersosialisasi dan dia berasal dari keluarga kaya. Itu pula yang menyebabkan Devan tidak pernah mengatakan perasaannya. Akan tetapi, kehidupan Devan berubah drastis di saat dirinya terpaksa menikahi seorang wanita yang usianya jauh lebih tua dari usianya. Wanita itu seorang Presdir perusahaan ternama.
View More"Kenapa kalian menculiknya?" Laura tengah duduk tenang di atas sofa yang berhadapan langsung dengan tempat dimana pemuda yang tengah pingsan tersebut terbaring.
"Lah! bukannya Nona mewajibkan tetap membawa dia," ujar Axel."Tapi kenapa harus dibius seperti ini!""Ya, karena dia tidak mau ikut.""Ini tidak benar," gumam Laura."Tidak benar apanya!" gerutu Axel merasa kesal. Bersusah payah dia membujuk pemuda yang tengah pingsan ini untuk ikut bersamanya agar mau menikah dengan Laura, tetapi pemuda ini menolaknya mentah-mentah. Mau tidak mau Axel dan beberapa orang anak buahnya mengambil tindakan ini."Aku yakin, jika kamu menjelaskan padanya secara rinci bahwa yang akan menikahinya itu adalah aku, pasti dia mau," ujar Laura dengan percaya diri. Dia selalu yakin dengan pesona yang Ia miliki. Ya, walaupun kepercayaan dirinya itu sempat hancur setelah dirinya dikhianati oleh mantan kekasihnya."Haisss!" Axel geleng-geleng kepala."Kamu menyepelekan aku!" eram Laura saat melihat reaksi sekretaris pribadinya itu."Tidak Nona Laura, aku tidak berani seperti itu padamu," tegas Axel.Laura menyodorkan minuman kaleng pada Axel yang tengah berdiri di samping dirinya dan Axel mengambil kaleng itu, lalu membukanya dan kembali memberikannya pada Laura.Laura pun mulai meneguk air dari minuman kaleng tersebut, kemudian kembali angkat bicara,"kapan dia akan sadar?" tanyanya sambil menatap pada pemuda di depannya.Belum kering air ludah Laura yang menanyakan kapan pemuda tersebut siuman, terlihat pemuda itu meringis sambil perlahan membuka mata. Bola mata yang teduh itu tertuju menatap pada wajah Laura."Ada di mana aku? stttt!” Tangannya bergerak menyentuh kepalanya."Di apartemenku," jawab Laura santai.Devan langsung bisa mengenali sosok Laura. Perempuan yang kemarin mobilnya Ia tabrak pakai sepeda dan itu tidak sengaja. Namun, perempuan ini malah memeras dirinya dengan memaksakannya untuk menikah. Entah apa yang ada di dalam pikiran perempuan itu.Devan tertatih mencoba berdiri, kemudian dia berjalan menuju arah pintu apartemen dengan tangan yang mencoba membuka pintu. Namun, sayangnya pintu tersebut terkunci membuat Devan kembali menoleh ke arah belakang menatap pada Laura. "Aku ingin pulang.” Laura pun tertawa sembari mulai berdiri. Ia melangkah mendekati sang pemuda."Jangan terlalu buru-buru! bagaimana jika kita berbicara sebentar.""Aku mau pulang sekarang!" Rahang Devan tampak mengeras.Laura menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berucap,"ternyata kamu cukup keras kepala. Menarik! tapi sayangnya jika kamu tidak ingin membuka peluang untuk kita berbicara, maka dengan terpaksa aku harus menyekap kamu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan."Devan menatap Laura dengan tatapan jengah."Apa yang kamu inginkan?""Mari silahkan duduk! kita bicarakan secara baik-baik." Laura mempersilahkan Sang pemuda untuk duduk di atas sofa mewah miliknya. Devan menghela napas berat, pun Ia menuruti keinginan Laura. Dia berjalan menuju sofa dan menghempaskan bokongnya di sana.Laura ikut duduk, lalu berdehem memberikan kode kepada Axel untuk memberikan sang pemuda air minum. Dengan sigap Axel bergegas mengambil minuman kaleng dari dalam kulkas, lalu memberikannya pada pemuda di hadapan Bosnya itu."Aku tidak ingin minum. Katakanlah! apa yang ingin kamu katakan?” Devan menatap Laura sangat dalam.Axel pun membuka minuman kaleng itu dan meminumnya untuk dirinya sendiri."Menikahlah denganku?" pinta Laura langsung to the point."Aku udah bilang, aku gak mau menikah. Lagi pula aku gak kenal sama kamu."Laura pun mengulurkan tangannya."Kenalkan, aku Anindira Laura.”Namun, seperti nasib Axel tadi, uluran tangan Laura hanya diabaikan begitu saja hingga membuat tawa Axel pecah seketika. Dia teringat dengan kepercayaan diri Laura setengah jam yang lalu. Bosnya begitu percaya diri tingkat tinggi. Laura berucap dengan pongah jika pemuda itu akan dengan senang hati menikah jika tau mempelai wanitanya adalah Laura. Sungguh kepercayaan diri yang sangat luar biasa lawak!Laura menatap Axel dengan melototkan mata membuat tawa Axel seketika terhenti. "Maaf," ucapnya ciut.Kemudian Laura kembali mengalihkan pandangannya pada Devan."Katakan, siapa namamu?"Wajah Devan tampak jelas seperti tengah menahan kesal. “Biarkan aku pulang, Tante!"“What!” Laura melotot tajam. Sedangkan Axel tertawa lepas. Tawa yang sangat puas.“Kamu panggil aku Tante! sejak kapan aku menikah dengan Om kamu.” Laura begitu kesal. Dia tahu pemuda di hadapannya ini memiliki paras yang rupawan. Ia sangat tampan, tetapi Laura masih bisa membedakan usia melalui tubuh seseorang. Devan tinggi dan sedikit berotot. Pasti tidak terlalu jauh dari usianya, pikir Laura. Enak saja mengatai dirinya Tante-Tante! Emangnya wajahnya setua itu, huh! Akan tetapi, Laura berusaha menekan perasaan kesalnya itu, biar bagaimanapun yang dia inginkan adalah seorang suami."Tentu saja kamu akan pulang setelah menyelesaikan semua permasalahanku,” lirihnya masih berwajah masam."Kenapa harus aku?”“Pertama, kamu menabrak mobil kesayanganku pakai sepeda bututmu itu. Apa kamu sanggup ganti rugi?”Devan mendengus mendengar itu. Dasar orang kaya, selalu berbuat seenaknya. Walaupun bukan orang cerdas, tetapi Devan tidak goblok-goblok amat jika tengah dibodohi. “Kamu jangan membodohiku!”“Axel.”“Iya, Nona Laura.”Axel maju beberapa langkah, dia meletakkan beberapa foto di atas meja. “Ini bagian depan mobil Nona Laura yang udah kamu tabrak. Tergores. Nona Laura adalah orang yang sangat perfeksionis. Dia tidak suka barang-barangnya disentuh orang lain dan kamu malah menggoresnya. Kamu tahu berapa harga kap mobil itu? Ah, mending kamu gak perlu tau kalo akhirnya akan membuat kemiskinanmu meronta.”Devan tidak habis pikir dengan isi kepala orang-orang ini. Mereka menyandranya dan memaksanya menikahi Laura, perempuan yang Ia terka jauh lebih tua jika dibandingkan dengan usianya dan itu pun hanya karena alasan sepele.“Akan aku cicil,” putus Devan. Meskipun dia sadar saat ini dia tengah di peras.“Dua puluh juta.”Devan langsung terlonjak. “Buset! Kalian memerasku!” Bola matanya memerah menahan amarah.“Ayahmu tengah di rawat di rumah sakit, bukan?” ujar Laura. “Jika kamu mau menikah denganku, maka akan aku jamin biaya pengobatannya sampai tuntas. Kamu hanya perlu menjadi suamiku. Kamu tidak akan dipaksa melakukan apapun setelah itu. Kamu bebas mau apa aja terserah. Jika menolak, ganti rugi terhadap mobilku yang kamu tabrak, kalau tidak, aku jamin kamu akan mendekam di penjara.”Devan mengepal tangannya erat. Beginikah sakitnya menjadi orang miskin? Tidak bisa membela diri, walaupun sebenarnya tidak bersalah. Bisa dipermainkan seenaknya seperti tidak memiliki harga diri. Sakit!“Bagaimana?” tanya Laura.“Apa aku punya pilihan? Aku heran dengan kamu. Jika dilihat dari parasmu, kamu memiliki wajah yang lumayan, terus kamu kaya. Apa sesulit itu mencari suami? Apa harus mempermalukan diri seperti ini?”Laura yang tadinya mulai berangsur tenang dan santai, kini berubah berwajah masam lagi. Sisi sakitnya dirobek lagi dan itu rasanya sangat sakit. Dia cantik dan kaya, tetapi untuk urusan cinta dia begitu lemah tidak berdaya. Bahkan kekasih pujaan yang Ia cintai tega menghancurkan kepercayaan juga hatinya. Ia benar-benar kehilangan kepercayaan tentang cinta.“Axel.”“Iya, Nona Laura.”“Aku rasa yang dia katakan itu benar. Aku cantik dan kaya. Apa sulitnya mencari pasangan. Semua laki-laki pasti sangat berharap bisa menjadi suamiku, terlebih dengan status sosialku. Biarkan dia pergi membayar setiap omong kosongnya. Pastikan dia bahagia dengan ucapannya yang manis itu.”Axel menganggukkan kepala. Dia mempersilahkan Devan keluar dari apartemen. Devan melangkah dengan perasaan sedikit takut, setiap baris kata yang terucap dari mulut Laura terdengar menakutkan. Namun, dia senang bisa pulang. Dia tidak perlu menikah karena masa depannya masih panjang. Akan tetapi, tepat di depan pintu keluar apartemen ponselnya berbunyi dan di layar ponsel tertera pemanggil dari pihak rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Setelah mendengarkan informasi dari pihak rumah sakit, Devan terhenyak. Wajahnya kesal bercampur pias. Ia berbalik dengan tatapan tajam pada Laura.Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka
Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene
“Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid
Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi
Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan
“Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments