Setelah terlelap seorang diri sepanjang malam, Devan terbangun pagi-pagi sekali. Dia meraih ponsel dari atas nakas. “Jam lima pagi. Ternyata dia tidak pulang. Ah, sangat menyebalkan.” suara khas orang yang baru bangun tidur. Terdengar berat dan jika diperhatikan dengan seksama agak-agak terdengar sexi.
Menyibak selimut dan menjuntaikan kaki ke lantai, berdiri gontai dan malas, Devan mulai melangkah. Dia tidak berharap Laura pulang dan tidur bersamanya atau bahkan menghabiskan malam pertama dengan dirinya. Itu semua jauh dari dalam pikiran Devan. Dia kesal perempuan itu belum pulang dan itu artinya dia harus masih tertahan di rumah mewah ini. “Ahh! sial! Baju sekolahku,” racau Devan bersungut-sungut. Dia terus mengumpat kesal.Pandangannya memindai setiap sudut kamar sembari sesekali menguap mencari keberadaan handuk. Harus segera mandi kalau tidak ingin terlambat ke sekolah. Apapun ceritanya dia harus bergegas, andaipun Laura juga belum pulang, dia harus menyelinap keluar tanpa diketahui oleh seorang pun. Devan perlu pulang ke rumahnya untuk mengambil seragam sekolah.“Ah, ini dia.” Tangan laki-laki itu meraih handuk berwarna putih. Namun, sejenak tampak termenung memandangi handuk di tangannya sembari memikirkan sesuatu. “Apa ini handuk dia?” lalu menggelengkan kepala acuh. “Ah, bodo amat. Aku harus bergegas.”Langkahnya menapaki lantai kamar mandi. Masih saja merasa takjub dengan segala kemewahan yang ada di dalam rumah istrinya ini. Kemudian bergegas menanggalkan semua pakaian. Devan tidak tahu kalau dinding juga pintu kamar mandi yang berbahan dasar kaca buram itu tembus pandang. Hanya buram dari sebelah dalam tetapi dari sebelah kamar bisa melihat segala aktivitas orang yang ada di dalam kamar mandi jika tirai di dalam kamar mandi itu tidak dilebarkan. Mana Devan tahu tentang hal ini, Dia baru saja menginjakkan kaki di rumah Laura untuk yang pertama kalinya.Tangannya memutar kran shower hingga air berjatuhan bagaikan curahan hujan di atas kepalanya. Devan menikmati sensasi mandi dengan gaya orang kaya. Tangan lebar bersandar pada dinding keramik bermotif hitam dan coklat. Sedangkan selama ini di rumahnya terbiasa mandi berjongkok dengan mengguyur air pakai gayung keseluruh tubuh. Di saat yang bersamaan pula, Laura baru pulang dari rumah sakit dan mendorong pintu kamar. Langkah Nona muda itu seketika terhenti seiringan dengan napas yang menyempit karena syok. Penglihatan gadis itu langsung disuguhi dengan pemandangan yang membuatnya tersedak air liur sendiri. Siaran langsung laki-laki yang kemarin siang baru saja bergelar suaminya tengah mandi hanya berbalutkan celana dalam. Memamerkan seluruh lekuk tubuh dan otot. Otot itu belum padat seperti laki-laki yang gagah perkasa, tetapi mampu membuat detak jantung Laura memacu kencang. Langkahnya terhuyung ke belakang sembari memegang dadanya. Dia bergegas keluar dari kamar.“Nona Laura,” tegur Axel yang baru saja menyusul sampai di depan pintu kamar.“Aaaa!” pekik Laura. Dia kaget mendengar suara Axel yang tiba-tiba.Tentu saja membuat sekretaris pribadinya itu tercengang. Raut wajahnya tampak bingung. “Kenapa, Nona Laura?”Laura menjulingkan matanya kesal. “Kamu bisa nggak jangan datang kayak jelangkung. Bikin aku kaget aja.”“Nona Laura yang tiba-tiba kaget sendiri. Aku kemari karena Nona meninggalkan berkas ini.” Axel mengulur berkas di depan wajah Laura. Namun, jiwa kepo laki-laki itu tiba-tiba saja meronta, minta dipenuhi dengan jawaban. Lehernya Ia panjangkan mencoba mengintip isi di dalam kamar.“Mau ngapain kamu?” kata Laura sewot.“Ehehe. Penasaran aja. Kenapa Nona belum masuk ke dalam kamar?” sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.Laura menghalangi Axel. “Kamu bosan bekerja, Axel!”“Astaga, Nona Laura. Sedikit-dikit ngancem. Au ah!” Axel memutar tubuh dan berlalu meninggalkan Nona mudanya itu.Kembali mengintip dengan menjulurkan kepala di balik pintu kamar.“Mbak, kamu baru pulang?” suara yang terdengar dingin.Laura kembali memegang dada karena kaget dengan suara Devan yang tiba-tiba. Dia memasang wajah jutek sembari melebarkan pintu kamar sembari melangkah masuk dengan acuh, walaupun tidak bisa dipungkirinya detak jantung masih berdegup kencang bertalu-talu. Pemandangan beberapa menit lalu kembali memutar bagaikan kaset rusak di dalam otaknya. Dia menggelengkan kepala cukup keras. ‘Laura! ada apa denganmu! jangan membuatnya curiga kalau kamu telah melihat siaran langsungnya barusan.’ Laura membatin dengan memejamkan mata sangat erat.Sementara itu, Devan yang belum mengenakan pakaian, hanya berbalutkan handuk pada pinggang, bergegas meraih baju kaos berwarna hitam dari atas ranjang, lalu segera memakainya dengan buru-buru. Dia merasa sangat canggung dengan suasana ini. Berada dalam satu kamar yang sama dengan seorang perempuan di saat dirinya hanya mengenakan handuk saja.Laura menguatkan dirinya, lalu menatap Devan dengan tatapan tegas. “Siapa yang barusan kamu panggil, Mbak!”Devan sangat ingin sekali membalas Laura, tetapi ada hal yang lebih penting daripada membalas istri yang baru saja Ia nikahi kemarin siang itu. Ya, dia harus bergegas kalau tidak ingin terlambat ke sekolah. Satu Minggu lagi ujian kenaikan kelas, dan dia tidak ingin alfa. Masuk ke SMA negeri 2 taruna bukanlah hal yang mudah untuk dirinya yang hanya berasal dari kalangan biasa. Kalau bukan karena kegigihannya belajar dengan tekun sampai mendapatkan beasiswa penuh, mungkin saat ini dia tidak akan masuk ke salah satu daftar nama siswa SMA negeri taruna.“Aku menunggumu sejak dari kemarin sore. Setidaknya kalau kamu tidak bisa pulang, beritahu pada orangmu itu untuk tidak memaksaku tetap tinggal di rumah ini. Aku punya kesibukanku sendiri!”Laura mengangkat dagunya dengan angkuh. “Oh, ya. Aku nggak tahu kalau orang sepertimu ternyata memiliki kesibukan juga,” cibirnya.Devan melengos mendengar cibiran itu. Mau bagaimanapun dia tidak akan pernah bernilai di hadapan perempuan ini. Lebih baik dia fokus pada dirinya sendiri. “Aku harus pulang sekarang.”Laura melangkah dan menghempaskan bokongnya di atas ranjang tanpa mengalihkan perhatiannya dari Devan. “Seperti kataku dari awal, Aku tidak akan mencampuri urusanmu. Tetapi yang harus kamu ketahui, mulai sejak kita sah menjadi sepasang suami istri, mulai saat itu kamu harus tinggal di rumah ini. Tempatmu sekarang adalah di rumah ini.”Devan tidak lagi peduli. Dia meraih celana dan berlari ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali keluar dari kamar mandi itu dengan pakaian lengkap. Tanpa sepatah kata pun dia meninggalkan kamar, melangkah lebar menuju pintu utama. Dia tampak sangat terburu-buru. Berlari ke pelataran halaman sampai ke jalan besar. Tangannya sibuk mengetik pesan di layar ponsel.“Dasar orang kaya! selalu berbuat sesukanya. Kalau dia sudah sepakat tidak mencampuri urusan masing-masing kenapa harus menahanku semalaman ini,” kesalnya menggebu dan tidak lama kemudian tampak dari kejauhan sebuah motor sport melaju ke arahnya.“Dev, apa yang kamu lakukan di kawasan elit ini?” Daffa membuka kaca helm full face yang tengah Ia pakai.Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka
Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene
“Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid
Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi
Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan
“Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari