Share

Pembantu

“Aku sekarang tau kenapa kamu sangat kuat menjalani kehidupan ini. Nyatanya, kekuatan itu menurun dari ibumu. Dia sangat kuat sekali menahan perlakuan tidak menyenangkan itu selama bertahun-tahun, bahkan sampai saat ini di saat ayahmu sudah tiada, dia masih bersama dengan keluargamu,” ujar Rama.

“Ibuku sangat menyayangi Nenek, hanya Nenek yang menerima ibuku di keluarga ini. Maka dari itu, untuk merawat Nenek yang sering sakit, Ibu memilih untuk bertahan,” jelas Mawar.

Rama tersenyum sinis. “Kasih sayang memang bisa mengalahkan segalanya, termasuk rasa sakit yang menyiksa diri.”

Mawar menoleh dan menatap Rama dengan tatapan bingung. “Mengapa wajahmu seperti itu? Sepertinya kamu muak dengan yang namanya kasih sayang.”

“Ya! Kasih sayang, cinta, dan semacamnya hanya akan menghancurkan diri kita, membuat kita bodoh, dan tidak bisa melihat dunia dengan selayaknya,” gumam Rama.

“Sepertinya kamu pun memiliki masalah tersendiri. Apa masalahmu?” tanya Mawar.

“Kita tidak sedekat itu untuk saling menceritakan masalah satu sama lain. Keluar saja dari kamar ini, aku ingin istirahat!” sahut Rama seraya merebahkan tubuh di kasurnya.

Mawar hanya mengangguk dan segera keluar dari kamar tersebut.

Sementara itu Rama kini membuka dompetnya dan mengambil sebuah foto yang ada di sana. Ia  memperhatikan foto tersebut dengan lamat, sesekali senyum sinis tertampak di wajahnya.

“Karenamu aku membenci cinta, aku hilang rasa, aku melihat kasih sayang sebagai sesuatu yang membodohi. Bahkan, aku tidak memberikan cinta lagi kepada orang lain, hanya aku yang dicintai oleh Hana, sebaliknya aku hanya memenuhi tanggung jawabku, tanpa perasaan apa pun.”

“Bu, aku akan membalaskan dendammu. Aku akan membuatnya sengsara, aku pastikan dia tidak akan hidup tenang, dan aku janji bahwa aku akan menghancurkan hidupnya, sama seperti dia menghancurkan hidup Ibu.”

Saat ia sedang memelihara kebencian dalam hatinya, ponselnya berbunyi memperlihatkan adiknya menelepon.

“Kakak di mana? Kok tumben belum pulang?” tanya Hana.

“Hana, kakak sedang ada misi untuk membalaskan dendam kita. Jadi, selama beberapa minggu kemungkinan kakak tidak akan pulang. Kakak akan menjenguk kamu sesekali, tetapi tidak bisa setiap hari,” jelas Rama.

“Kak? Apa yang Kakak lakukan? Kakak jangan mengambil resiko terlalu besar atas dendam kita.” Kekhawatiran Hana terdengar dari nada bicaranya.

“Kamu tenang saja, kakak hanya ingin melakukan apa yang kakak bisa untuk membalaskan dendam itu. Setidaknya, meski Ibu tidak bisa kembali, tetapi kebencian Ibu bisa terbalaskan oleh kakak,” ujar Rama. “Kakak tutup teleponnya, ya. Kakak akan pergi, tetapi kakak tidak akan mengabaikan tanggung jawab kakak kepadamu. Sampai ketemu nanti.”

Rama langsung menutup telepon tersebut. Ia sengaja, ia tidak ingin adiknya bertanya lebih banyak lagi dan akhirnya mengetahui apa yang ia sedang lakukan saat ini.

Beberapa saat setelahnya, ia memilih untuk keluar dari kamar tersebut. Rupanya ia tidak bisa istirahat begitu saja, ia tidak betah berdiam diri di sana.

Ia membuka pintu kamarnya dan beralih ke kamar Mawar. Di sana tanpa sadar ia melihat Mawar yang sedang berganti pakaian.

Matanya terbuka lebar saat melihat tubuh Mawar dari belakang. Saat itu Mawar sudah tidak mengenakan bajunya.

Mulutnya ingin memanggil nama Mawar, tetapi entah mengapa ia tidak bisa mengeluarkan suara. Pandangannya hanya tertuju pada tubuh Mawar kala itu.

Suara ketukan pintu dari luar menyadarkannya dan membuat Mawar berbalik dan melihat keberadaan Rama di sana.

“Sedang apa kamu?” Mawar langsung menutupi tubuhnya dengan handuk.

“A ... aku ingin keluar,” jawab Rama pelan.

“Keluarlah, sekalian lihat siapa yang mengetuk pintu.” Mawar menunjukkan wajah kesal pada Rama.

Rama yang masih canggung dengan keadaan itu pun langsung berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu kamar tersebut.

“Turunlah, Kakek ingin bicara denganmu!” suruh Eva.

“Iya, Bu,” sahut Rama.

“Saya belum sepenuhnya menerimamu sebagai menantu,” gumam Eva yang kemudian pergi dari sana.

Rama hanya terdiam mendapati perlakuan dingin dari Eva. Untungnya ia sudah terbiasa dengan perlakuan dingin seperti itu.

“Pergilah! Lakukan tugasmu, aku akan menyusul setelah aku mandi,” ujar Mawar.

Rama hanya mengangguk dan segera pergi dari kamar tersebut. Ia kembali ke ruang tamu yang di sana sudah ada kakek dan om Mawar.

“Kalian memanggilku, ada apa?” tanya Rama.

“Apa pekerjaanmu?” Wira langsung memberikan pertanyaan pada Rama.

“Saya merupakan CEO dari perusahaan manufaktur Sukses Jaya,” jawab Rama.

“Dari mana asalmu? Siapa orangtuamu?” tanya Tian.

“Saya asli Jakarta dan ayah saya sudah meninggal sejak saya masih dalam kandungan. Jadi, meskipun saya memberitahukannya kepada kalian, kalian tidak akan mengenalnya karena saya pun tidak begitu mengenalnya,” jelas Rama.

“Sepertinya hubunganmu dan keluargamu tidak baik. Sangat terlihat sekali kalau kamu kurang kasih sayang. Pantas saja kamu bertindak seperti orang yang tidak memiliki keluarga,” gumam kakek Mawar.

Rama hanya terdiam, sekarang ia paham mengapa Mawar sakit hati pada keluarganya. Ternyata kakeknya sendiri memiliki mulut yang tajam, sangat mudah sekali untuk melukai hati orang lain.

“Mawar adalah salah satu cucu kesayangan saya, dia sangat saya andalkan. Karirnya yang bagus membuat saya bangga dengannya. Saya tidak ingin keluarga besar yang lain tau kalau kamu adalah suaminya. Biarkan semua ini disembunyikan dulu, kamu tidak akan saya anggap,” ujar kakek Mawar.

“Jika kamu mengira kita semua percaya bahwa kamu dan Mawar telah menikah sebelum anak itu hadir, kamu salah. Kita anggap kamu yang bersalah dan kamu yang memaksa Mawar untuk memenuhi hasratmu. Semua itu sangat terlihat dari raut wajahmu yang masih labil. Jadi, saat ini kamulah yang salah. Itu pandangan kita kepadamu,” timpal Wira.

“Selama itu, jangan harap kami berlaku baik kepadamu!” tegas Tian.

“Ya, ini kesalahan saya dan saya yang akan menanggungnya,” jawab Rama.

Tatapan semua orang di ruangan tersebut kembali tajam kepada Rama. Sepertinya mereka sudah sepakat untuk memperlakukan Rama kejam seperti itu, meski tadi mereka sempat iba kepada Rama.

“Air kolam renang terlihat keruh, pergi bersihkan!” suruh Wira.

Rama menarik napas panjang, seharusnya ia tidak melakukan hal itu. Tapi, mau tidak mau ia harus menurut, demi kelancaran kerja samanya dengan Mawar.

“Jika memerintahkan saya seperti ini bisa membuat kalian puas, maka lakukan saja,” ujar Rama yang kemudian pergi dari ruangan itu.

Mereka semua langsung tersenyum sinis melihat Rama yang pergi ke arah kolam dan langsung membersihkan kolam tersebut.

“Om! Apa-apaan ini! Dia bukan pembantu, mengapa kalian memerintahnya seperti itu?” Mawar menatap keluarganya dengan tatapan kesal.

“Kamu anak baik, tetapi kamu jadi seperti ini karenanya. Biarkan saja dia menerima segalanya, itu hanya sebagian kecil dari apa yang harus ia lakukan nantinya,” ujar Tian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status