Share

Penasaran pada Devan

Untungnya, Devan tak berkomentar lebih banyak dan memutuskan menghormati keputusan Rania.

Mereka pun akhirnya beristirahat, hingga kini sinar mentari mulai masuk lewat jendela kamar.

Silau, Rania pun terpaksa bangun dari tidurnya.

Dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku meski rasa malas yang masih mendera. Lalu, istri Devan itu pun turun dari atas ranjang dan mendapati hari sudahg pagi.

"Di mana, dia?" gumam Rania seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Sedari tadi, dirinya tak menemukan sosok Devan sama sekali.

Jadi, dengan ragu, gadis itu membuka pintu kamar pria itu.

Menjelajahi setiap sudut kamar dengan kedua matanya, dirinya masih tak menemukan Devan sama sekali.

"Bahkan di kamarpun dia tidak ada. Apakah, dia sudam pergi kerja?" gumam Rania, yang bertanya pada dirinya sendiri.

Ditutupnya kembali pintu kamar, dan berbalik.

Namun, seketika tubuh Rania meremang--saat mendapati Devan yang menjulang di depannya.

Hampir saja Rania menabrak tubuh telanjang itu, dan dengan segera dirinya memberi jarak. Mimik wajah Rania merona, wajahnya pun terasa panas. Devan terlihat sangat seksi di depan matanya. Pria itu hanya bertelanjang dada, terlihat sangat seksi dengan bulu-bulu halus yang tumbu disekitar dadanya.

Tanpa sadar Rania menelan salivanya.

"Dia sangat tampan, dan juga seksi. Kenapa, aku baru menyadarinya?" batin Rania frustasi.

"Apa yang kamu lakukan? Buat apa kamu melihat-lihat kamarku?!" tanya Devan, dengan nada suaranya yang terdengar tidak suka.

Bukannya menjawab pertanyaan yang Devan layangkan Rania justru masih setia membawa pandangannya pada dada Devan. Hingga, lambaian tangan pria itu membuat Rania tercengang.

Rania mengerjap. Gadis itu telah kembali pada dunianya,"I--iya? sahut Rania, dengan nada suaranya yang putus-putus akibat rasa gugupnya.

"Aku bertanya padamu. Apa yang kamu lakukan tadi? Apakah, kamu sudah melupakan surat perjanjian kita?!"hardik Devan dengan nada penuh penekanan.

Pias, dan juga gugup, seketika memenuihi wajah Rania. Tenggorokannya mendadak kering, Rania seolah kehilangan kata-katanya.

"Aku---" Rania bingung harus mengatakan apa. Lidahnya pun terasa sangat keluh.

"Aku sudah menyelamatkanmu dari pernikahan dengan juragan Jarwo, dan tidak membawa hal ini pada pihak kepolisian. Dan, setelah satu tahun pernikahan-kita akan bercerai. Aku harap kamu tidak akan melupakan hal itu!" ucap Devan, dengan menekan setiap kosa katanya.

"Maaf. Aku mengira kau tidak ada. Jadi---." Rania menunduk takut sebab kini Devan menatapnya dengan tajam. Namun, gadis itu tak mampu menyelesaikan semua ucapannya sebab Devan menyelah lebih cepat.

"Yang jelas jangan pernah masuk ke dalam kamarku. Karena di dalam surat perjanjian kau dan aku tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing!" tegas Devan, dengan nada suaranya yang masih sama.

"Maaf," lirih Rania, dengan wajah yang masih setia dia tundukkan. Hingga, sedetik kemudian dirinya tersentak saat suara pintu kamar yang tertutup sangat kuat.

"Kenapa dia semarah itu? Dan, apakah aku tadi tidak salah lihat? Dia hanya seorang kuli bangunan. Namun dia memiliki laptope. Bahkan laptopenya pun bermerek apple yang digigit setengah. Bukankah kalau laptope dengan merek seperti itu harganya sangat mahal?" gumam Rania dengan rasa penasaran yang seketika timbul di dalam dirinya.

Dengan wajah bingungnya perlahan Rania berbalik, dan mendapati pintu kamar yang telah tertutup rapat. Tak berselang lama terdengar Devan yang sedang melakukan panggilan telepone. Penasaran dengan apa yang pria itu bicarakan Rania menempelkan daun telinganya pada badan pintu. Suaranya terdengar tidak jelas di telinga Rania--gadis itu lebih menempelkan gendang telinganya.

"Dia, bicara sama siapa? Sepertinya terdengar sangat serius?" gumam Rania, dengan rasa penasaran yang semakin saja mendalam. Hingga, suara ketukkan membuat pandangan gadis itu teralihkan.

"Iya, sebentar!" sahut Rania, dengan setengah teriakkan dan segera membawa langkah kakinya menuju pintu ke luar. Seketika Rania shyok, begitu mendapati siapa yang kini berdiri di depannya.

"Juragan Jarwo?" gumam Rania lirih, dengan raut wajah yang telah berubah pias. Gadis itu menelan susah payah ludahnya akibat perasaan takut yang telah menyelimuti.

Seringai licik menyelimuti wajah sangar juragan Jarwo bagaimana pria bertubuh tambun itu mendapati kagetnya Rania akan kedatangannya.

"Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa lari dari saya, Rania! Saya akan tetap mengejar kamu, sekalipun kamu lari hingga keujung dunia manapun!" ujar Juragan Jarwo pelan, namun penuh penekanan.

"Sa--Saya sama sekali tidak berniat lari. Percayalah," ujar Rania lirih, seraya menampilkan tatapan memohonnya.

"Katakan. Kapan kamu membayar utang saya?!"

"Utang?"beo Rania, dengan tatapan kosongnya pada juragan Jarwo.

"Iya hutang. Dan, saya rasa kamu tidak melupakannya!"

"Pak, bisakah Bapak memberikan saya keringanan, waktu? Saya belum bisa membayarnya sekarang. Uang 50 puluh juta itu tidaklah sedikit. Dan, saya harap Bapak mengerti."

Emosi yang sudah ada di dalam diri jugaran Jarwo semakin saja membarah setelah mendengar kalimat yang baru saja mengalir dari mulut Rania. Mencengkram erat pergelangan tangan gadis itu membuat Rania seketika meringis kesakitan, akan rasa sakit yang teramat sangat pada pergelangan tangannya. Bahkan, telah ada genangan airmata yang telah menumpuk pada kedua bolamatanya.

"Memberikan kamu waktu?" geram juragan Jarwo, dengan semakin mempererat cengkraman tangannya, dan itu berhasil membuat Rania semakin saja kesakitan.

"Pak, lepas--, ini sakit. Dan, saya janji bagaimanapun akan tetap membayar hutang-hutang Bapak."

"Membayarnya? Hahaha.... Saya tidak peduli! Yang jelas, kamu harus ikut saya!" geram juragan Jarwo.

Pria itu langsung menarik paksa tangan Rania agar ke luar dari dalam rumahnya.

***

Di sisi lain, Devan tengah melakukan panggilan telepone dengan salah satu orang kepercayaannya. Suara jeritan dan raung dari Rania membuat pria itu terkejut.

"Dion, aku tutup teleponenya. Nanti baru kita sambung lagi. Dan, ingat! Pantau terus keadaan di sana!" pinta Devan, dengan nada penuh penekanan.

"Baik Tuan muda!" sahut Dion, dan memutuskan sambungan teleponenya.

Meletakkan gawai berlogo apple di atas ranjangnya, Devan segera membawa langkah kakinya ke luar dari dalam kamar. Dia harus mencari Rania segera.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ibu Sigit
kalo buat cerita .. jng malu" kan wanita.. moso lihat devan smp kaya gitu..
goodnovel comment avatar
Nahoralik Kalabua
seru!! ceritanya lumayan bagus
goodnovel comment avatar
Budi Nuraini
lanjutkan jngn buat penàsaran isi crtnya......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status