Dimas memejamkan kedua matanya lalu memijit kening perlahan. Dia belum bisa mengingat semua kenangan di masa lalunya. Hanya potongan-potongan kecil yang sulit dijelaskan. Tiap kali memaksa otaknya untuk mengingat, tiap itu pula rasa sakit itu kembali menyerang. Dimas pasrah, tapi dia juga tak akan pernah menyerah. "Soal mama tirimu ...." Tiba-tiba Dimas menyeletuk. Langit menoleh lagi sebelum lampu lalu lintas menyala hijau. "Papa memang belum mengingat semuanya. Papa hanya ingat kalau kami sudah menikah. Dia memakai gaun berwarna putih gading dengan senyum yang menawan. Selebihnya papa tak ingat apapun, tapi kamu tenang saja, jika memang dia yang kamu maksud, cepat atau lambat akan terbongkar. Meski papa masih amnesia, papa juga merasakan siapa yang tulus dan siapa yang modus. Namun, perasaan saja tak cukup membuktikan jika dia seburuk itu kan? Papa ingin melihat sendiri seperti apa sosoknya. Jika memang dia buruk, percayalah. Serapat apapun bangkai tersimpan, baunya pasti akan men
Dimas sudah diizinkan untuk pulang dan berobat jalan. Langit dan Senja pun datang menjemput sekalian mengajak Dimas makan siang bersama. Astuti, perawat khusus yang dipekerjakan Langit untuk papanya menata barang-barang milik bosnya dan menyimpannya ke dalam tas. Perlahan Senja dan Langit membantu Dimas duduk ke kursi roda. Kedua kaki Dimas masih belum bisa digerakkan dengan normal. Ingatannya pun belum pulih seperti sedia kala, baru beberapa memori yang teringat. Soal Tasya, Dimas baru mengingat tentang pernikahan mereka saja, selebihnya tak ingat apapun. "Maafkan papa yang belum bisa mengingat semua memori itu, Lang. Papa akan berusaha agar kenangan-kenangan di masa lalu bersama mamamu pun terekam sempurna." Dimas berujar lirih saat mereka duduk di mobil bersama. Langit sengaja menjemput papanya sendiri tanpa bantuan supir. Dua lelaki itu duduk di kursi depan, sementara Senja dan Astuti di belakang. "Nggak apa-apa, Pa. Pelan-pelan saja. Jangan terlalu dipaksakan untuk mengingat
"Kamu baru saja berpisah dengan Mas Adi, Bel. Nggak patut jalan dengan lelaki lain saat masa iddahmu belum selesai," lirih Senja berusaha agar tak terdengar oleh pengunjung lain, termasuk Gilang yang kini masih ngobrol dengan Langit. "Apa kamu sengaja bertemu di sini agar nggak ada yang tahu? Kamu nggak kasihan sama bapak dan ibu?" Senja kembali mengingatkan, berharap adik satu-satunya itu kembali ke jalan yang benar. "Kamu bisa jalan dengan siapapun setelah iddahmu usai, Bel. Kamu--"Stop, Mbak! Jangan pernah campuri urusanku. Mau aku jalan sama si B, si B atau si Z sekalipun itu bukan urusanmu! Urus saja suamimu itu. Dia juga banyak masalah kan? Ngapain ribet mengurusi masalahku. Aku sudah dewasa dan tahu apa yang harus kulakukan untuk masa depanku sendiri. So, jangan berlagak paling peduli dan paling bijak! Aku jijik melihatnya. Paham?!" sentak Abel dengan volume sedang, tapi tetap saja ada beberapa pengunjung cafe yang mendengar dan menoleh ke arah mereka. "Aku memang peduli sa
"Siapa dia, Mas? Nggak mungkin masih lajang kan? Sudah berumur begitu." Senja mulai was-was. Dia benar-benar khawatir pergaulan adiknya makin bebas setelah bercerai dengan Adi. "Ayo. Kita sapa saja sekalian kenalan." Langit menarik pelan tangan istrinya. Mereka pun beranjak dari kursi lalu melangkah mendekati Abel dan lelaki yang baru datang itu. "Mas, kalau Abel mencak-mencak gimana? Banyak orang begini. Kamu nggak malu kalau mereka tahu jati dirimu? Maksudnya nggak malu kalau pengusaha muda sepertimu menikah denganku dan punya ipar seperti Abel?" lirih Senja yang takut membuat nama baik suaminya ternoda. Selama ini belum banyak yang tahu siapa istri Langit Biru, anak semata wayang Dimas Kuncoro. Senja khawatir ada yang memviralkan jika mereka ribut dengan Abel. "Aku menikah dengan kamu, bukan dengan Abel. Kenapa harus malu? Hanya lelaki bodoh saja yang tak mengidamkan kamu sebagai istrinya." Wajah Senja memerah mendengar pujian itu. Di saat genting begini, bisa-bisanya Langit m
"Panggil Awan saja. Bukannya kata ibu kita sebaya? Lagipula nggak enak juga dipanggil Mas kan?" Awan tersenyum tipis lalu menghela napas panjang. Sebagai lelaki diapun paham apa dan bagaimana maksud cerita Langit tadi. "Sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih kami, nanti biar saya yang urus administrasinya ya, Bi. Terima kasih banyak sebelum dan sesudahnya." Langit melanjutkan. "Nggak usah, Mas. Biar ibu saya saja yang urus administrasinya. Lagipula saya dan Ibram memang sering cekcok. Jadi, bukan semata-mata karena Senja atau ingin menolong Istri Mas Langit. Sepertinya istri Mas juga bisa beladiri. Dia bisa melindungi dirinya sendiri. Jangan sungkan begitu. Buktinya justru saya yang masuk rumah sakit, bukan istri Mas kan?" Awan menjelaskan. Awan malas berhutang budi dengan siapapun. Apalagi soal ini dia memang ikhlas menolong Senja. Dengan imbalan seperti itu rasanya akan berbeda. Dia juga sengaja berulang kali menyebut "istri Mas" agar Langit tak lagi mencurigainya macam-
"Perkenalkan, Bi, Mas Awan. Ini Langit Biru suami saya." Senja tersenyum tipis saat memperkenalkan suaminya pada Awan dan Ratri di rumah sakit. "Oh ini yang namanya Langit, putra Pak Dimas ya?" Ratri tersenyum lalu mengangguk pelan saat bersitatap dengan Langit. "Benar, Bi. Saya suaminya Senja." Langit kembali menekankan statusnya lalu melirik Awan yang masih terdiam di ranjang. Kedua laki-laki itu saling tatap beberapa saat lalu sama-sama mengalihkan pandangan pada Senja dan Ratri yang menata camilan di meja. "Oleh-olehnya banyak banget, Neng. Jadi ngerepotin. Mana bawa pakaian ganti kami pula." Ratri menata pakaian Awan ke lemari, sementara Senja menatap camilan dan buah yang dibawanya ke meja."Kemarin bibi pikir Neng Senja belum menikah. KTPnya masih single soalnya." Ratri tersenyum lalu menoleh ke arah suami istri yang duduk di sofa itu. "Iya, Bi. KTPnya masih yang lama, belum sempat ganti. Kami juga baru menikah dua bulanan." Senja membalas senyuman Ratri lalu melirik Langit