Langit melihat mobil kesayangannya sudah terparkir di depan kantor. Dia pun gegas ke ruangannya karena yakin Senja sudah menunggu di sana. Sayangnya, hanya kotak bekal saja yang terhidang di meja, sementara Senja tak ada. "Sayang, kamu di mana? Sembunyi ya?" panggil Langit berulang kali sembari mencari istrinya. Tak ada balasan apapun, Senja pun tak ada di sana. [Mas, aku jalan-jalan sebentar keliling kantor ya. Sekalian nunggu kamu kelar rapatnya. Jangan khawatir, InsyaAllah aku bisa jaga diri. Cuma di lingkungan kantor saja kok] Memo kecil terlihat saat Langit menggeser kotak bekal itu. Wajahnya panik seketika. Dia khawatir Senja kenapa-kenapa. Langit semakin protektif sejak Senja hamil muda. Dia benar-benar tak ingin dua kesayangannya itu tersakiti. "Bay! Senja mana?" panggil Langit saat melihat Bayu muncul dari toilet."Bukannya di dalam, Mas? Tadi saya yang antar sampai depan pintu. Terus saya ke toilet." Bayu ikut kaget mendengar pertanyaan bosnya. "Nggak ada, Bay. Cari sam
"Proyek milik papamu yang di Depok itu gimana rencananya, Lang?" tanya Erwin setelah rapat usai. "Itu sudah kujual, Om. Nggak mungkin kulanjutkan karena beberapa alasan. Lebih baik fokus sama proyek di Juanda sama Kaliwaringin saja." Erwin agak shock mendengar jawaban Langit barusan. Pasalnya dia tak tahu kalau proyek yang mangkrak itu sudah terjual. "Kapan terjualnya, Lang? Kok Om nggak tahu ya? Apa saat Om cuti kemarin?" Erwin kembali menyelidik. "Betul, Om. Saat Om Erwin cuti seminggu itu kuhubungu beberapa teman lama dan akhirnya dia mau membeli tanah sekalian bangunan setengah jalan itu. Kebetulan dia memang memang butuh." Langit kembali melirik laki-laki di depannya itu. Langit tahu ada sesuatu yang disembunyikan Erwin, hanya saja dia masih segan untuk bertanya banyak hal apalagi sampai menuduhnya macam-macam. Saat ini dia masih mengumpulkan bukti-bukti pengkhianatan laki-laki itu agar papanya percaya. Langit yakin tanpa banyak bukti, papanya tak akan percaya dengan pengkh
"Sial! Kenapa sih Langit sekarang ketus banget. Benar-benar berubah sejak nikah sama perempuan kampung itu. Dulu dia sangat perhatian dan sopan. Nggak urakan seperti sekarang. Pasti ketularan sama bininya!" umpat Luna setelah keluar dari ruangan Langit. Wajahnya ditekuk-tekuk saking kesalnya."Kenapa, Lun? Ada masalah? Kena omel Pak Langit lagi?" tanya seorang karyawan saat berpapasan dengan Luna dengan wajah masamnya. "Mau tahu aja." Luna membalas ketus sembari melotot lebar. Di ruangan yang cukup luas itu, Langit sedang menelepon istrinya. Seperti biasa, sebelum rapat biasanya dia menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan atau ngobrol sejenak dengan Senja untuk melepas rindu dan penat. "Aku sudah siapin makan siang buat kamu, Mas. Sekarang naik taksi atau--"Biar Bagas jemput, Sayang. Cuma nanti jam sebelas ada meeting dulu. Nggak apa-apa ya kalau kamu datang aku belum ke sini? Kamu duduk-duduk dulu aja atau ngemil. Banyak buah di kulkas, camilan kesukaan kamu juga banyak. Semua
Sekitar jam delapan pagi mobil Langit ke luar dari garasi. Senja masih berdiri di teras dengan senyum merekah di bibir sembari melambaikan tangan ke arah suaminya. "Ehemm ... sudah jauh, Bos. Mbak Senja nggak kelihatan lagi," ujar Bagas yang duduk di belakang kemudi. Dia baru saja melirik bos mudanya itu yang masih melihat ke belakang, seolah tak ingin meninggalkan istrinya sendirian. "Jangan jelalatan, Gas. Nyetir yang bener," tukas Langit sembari memukul pelan kursi yang diduduki asisten pribadinya itu. Bayu dan Bagas saling lirik lalu tersenyum lebar melihat wajah semringah bosnya. "Sejak Mbak Senja hamil, sepertinya bos makin protektif." "Wajar, Gas. Namanya juga calon ayah. Memangnya kamu, calon bujang lapuk." Bayu menimpali. "Dih! Pakai spion tuh ngaca, Bay. Kamu juga jomblo sampai sekarang. Si Dion malah sudah punya pacar. Sama-sama bujang lapuk nggak usah saling sikut." Bagas tersenyum miring. Kedua laki-laki itu pun terkekeh bersamaan, menertawakan nasib mereka masing2
Awalnya, Puput ingin bicara baik-baik jika memang Gilang mau meninggalkan perempuan itu. Walau bagaimanapun Puput tak ingin keluarganya hancur, mengingat bisa menjatuhkan nama baik mertuanya dan keluarganya sendiri. Hanya saja, saat ini dia melihat suaminya sudah kelewatan. Mau tak mau dia menggunakan cara itu agar Gilang bisa memutuskan yang terbaik untuk hidupnya. "Benar kata mama. Silakan papa angkat kaki dari rumah ini jika terus berhubungan dengan perempuan itu. Aku juga nggak sudi punya mama tiri, apalagi usianya hanya beda tiga atau empat tahun saja dariku. Benar-benar gila!" Fella tersenyum miring. Gilang shock bukan main mendengar ancaman kedua perempuan itu. Dia tak menyangka jika Puput masih mengingat bahkan menyimpan perjanjian itu. Gilang pikir setelah nyaris seperempat abad, kertas itupun akan hilang dan lusuh termakan usia. Nyatanya, kini Gilang melihat surat perjanjian itu di layar handphone anak sulungnya. "Papa sudah tahu sekarang kalau aku bukan anak yang bodoh k
"Keterlaluan kamu, Pa! Bisa-bisanya transfer ke perempuan murahan itu puluhan juta! Itu baru sebagian yang mama tahu. Mama yakin masih banyak transaksi yang belum mama ketahui. Sebenarnya mau papa itu apa??" Puput mengamuk setelah menyelidiki perselingkuhan suaminya beberapa minggu terakhir ini. "Kenapa kamu tega mengkhianati mama yang selama ini menemani papa berjuang? Kenapa papa nggak mikirin perasaan anak-anak kita? Mereka sudah dewasa, pasti malu melihat sikap papa seperti ini!" omel Puput menggebu. Gilang berusaha menenangkan dan menjelaskan, tapi Puput tak memberinya kesempatan bicara. "Papa mau mengelak?? Papa mau memberi mama seribu alasan ataupun pembelaan? Buat apa, Pa? Semua sudah jelas. Mama punya bukti-buktinya!" sentak Puput lagi. Awalnya Puput sempat curiga beberapa keanehan sikap suaminya, tapi dia tak berpikir terlalu jauh. Puput berusaha berpikir positif apalagi pernikahannya dengan Gilang nyaris seperempat abad. Puput pikir tak mungkin suaminya mendua sementar