Share

Lampu Hijau

Mas Danu menautkan alisnya. “Beneran enggak papa?” tanyanya memastikan.

Aku mengangguk lemah, lekas menuju ranjang dan merebahkan tubuh, menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku, menyisakan wajah. Kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan secara perlahan.

“Dek,” panggilnya.

Tak ingin memutar badan, aku berdehem menjawab ucapanya.

“Hem, ada apa?”

“Soal tadi, kamu jangan ambil hati ya, aku enggak mungkin jujur sama Bapak,”

Mas Danu duduk di bawah ranjang.

Karena kamarku yang tidak terlalu luas membuatnya tidur tepat di samping ranjangku dengan alas kasur lantai.

Aku mengangguk lemah. “Lagi pula itu hak kamu Mas, aku udah jadi istrimu,” lirihku.

Aku tak mungkin egois, bagaimanapun dia sudah suamiku, sepantasnya meminta haknya dan aku tidak boleh menolak.

“Aiu enggak mungkin ngelakuin itu kalau kamu enggak rela, nanti aku dituduh kasus pemerkosaan,” candanya diikuti tawa.

Aku terdiam. Jaman sekarang mana ada lelaki yang tahan, pikirku. Dulu, saat hari pernikahanku dengan Bang Roy telah ditentukan bahkan Bang Roy meminta hal itu lebih cepat, tetapi tentu saja aku tak memberikan hal berharga milikku sebelum kami sah, hingga kami ribut besar. Namun, demi menjaga nama baik aku tetap bungkam hingga Tuhan menunjukkan hal busuknya sehingga kami harus berpisah.

Aku terbangun, duduk di tepi ranjang. Kuambil bantal tepat disamping Mas Danu yang telah kupersiapkan setiap kali ia hendak tidur.

Meletakkan diatas kasur disampingku. “Bagaimana kalau kita mulai tidur bareng?” Kubuang rasa gengsi, bagaimanapun aku tak ingin orang tuaku malu jika aku terus menahan ego, membiarkan lelaki yang telah sah menikahiku tak mendapatkan haknya.

Mas Danu menatapku yang masih tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. “Kalau kamu keberatan enggak perlu lakuin ini,” ucapnya setelah beberapa detik terdiam.

Tak menjawab kuraih tangannya dan mengajaknya duduk diatas. “Aku minta maaf, tapi aku berharap hubungan kita berkembang, bukan hanya sekedar Bapak dan Ibuk.”

“Apa kamu enggak nyesel?” tanyanya penuh penekanan, tak sedikitpun pandangannya berpaling dariku.

Aku menggeleng lemah, sudah kubulatkan tekad untuk membuka hati, berharap rasa ini dapat segera tumbuh diantara kami.

“Jangan maksa, kamu bisa dapat lelaki yang lebih mapan, bisa memenuhi segala kebutuhan kamu tanpa susah. Nanti perlahan kita bicarakan sama Bapak,” tuturnya.

Kulepaskan pegangan tanganku di dengannya, memutar badan, perlahan kuusap dada. Aku bukan tipe wanita yang gemar membujuk, biasanya gengsiku akan lebih tinggi.

“Aku ini malu, aku udah numpang sama bapak sekarang malah disuruh nikahin anaknya, padahal aku ini enggak punya apa-apa, seolah dunia menertawakanku karena numpang hidup sama Bapak. Kalau Dek Nisa bisa bertahan, aku mau merantau dulu ke kota, aku pasti lakuin tugasku sebagai suami seutuhnya setelah mendapatkan pekerjaan yang layak,” sambungnya.

Hatiku terenyuh, benarkah yang dia katakan, mungkin hanya sebuah alibi saja untuk meninggalkan rumah ini? Atau sebenarnya dia sudah menahan untuk pergi setelah bapak memintanya menikahiku. Kenapa tiba-tiba hatiku kesal mendengar ucapan Mas Danu yang hendak pergi.

“Kalau mau pergi, enggak usah balik lagi kesini,” sungutku lalu pergi meninggalkan Mas Danu di dalam kamar, menutup pintu sedikit keras, berjalan cepat menuju dapur.

Kuambil segelas air dingin, meneguknya hingga tandas. “Dasar laki-laki enggak peka, bisa-bisanya malah mau pergi. Kalau emang enggak mau harusnya dia nolak sejak awal.” Kuusap wajah kasar.

Padahal sudah kuberi lampu hijau, tapi dia tetap tak peka.

Rasa tak rela melepasnya tiba-tiba saja menyelimuti hati, rasa khawatir dia tak akan kembali memenuhi dada. Entah apa yang terjadi padaku. Aku kembali ke kamar setelah beberapa saat duduk seorang diri di dapur. Kulihat Mas Danu sudah terlelap di tempatnya, tak mengindahkan ucapanku untuk tidur seranjang denganku.

Tiba-tiba mataku mengembun, padahal aku sering mengabaikannya tetapi sekarang kenapa aku takut ia akan pergi. Kurebahkan tubuh, menyeka air mata yang sempat lolos, kupejamkan mata berharap kantuk segera datang agar asa kesal di dadaku tak semakin dalam. Hingga aku benar-benar terlelap terbuai mimpi.

Suara kicau burung bersahutan, mengerjapkan mata perlahan. Terkejut saat melihat Mas Danu terlelap disampingku. Kututup mulut agar suara tak keluar. Sejenak kutatap wajah tampannya. Tanpa sadar senyum tersungging di bibirku. Aku pikir, dia akan mengabaikan permintaanku. Kutepuk pipi pelan, menyadarkan diri agar tak terus tersenyum seperti orang tak waras. Walau begitu tetap saja bibir ini terus mengukir senyum meski kutahan. Beranjak perlahan dari tempat tidur agar tak membangunkannya. Namun, baru beberapa langkah, Mas Danu menghentikanku.

“Loh udah bangun Dek, kok enggak bangunin aku,” ucapnya.

Kupaksa menaruh wajah datar, sok jual mahal kembali. “Ehem… enggak, masih pagi banget,” jawabku.

Kupercepat langkah meninggalkan kamar, tak menghiraukan panggilannya. Jangan sampai Mas danau melihat pipiku bersemu merah.

Di dapur ibu sudah bangun lebih dulu, memetik sayuran yang akan dia masak.

“Ngapain kamu senyum-senyum sendiri Nis? Masih waras kamu?” tanya ibu yang sontak membuatku menyusutkan senyum.

Sepertinya aku memang sudah gila, mana mungkin hanya karena hal sepele seperti itu membuatku ingin terus mengukir senyum.

“Masak apa Buk?”

Tak ingin menanggapi pertanyaan ibu, kualihkan pembicaraan meski aku tahu ibu akan memasak sayur kangkung. Meraih baskom berisi kangkung dan mencucinya. “Biar Nisa yang masak,” sambungku.

Memang biasanya ibu yang memasak setiap pagi, sedangkan aku menyiapkan makanan untuk siang dan malam. Sebenarnya aku ingin mengambil alih perihal memasak, tetapi ibu menolak. Katanya, agar ibu telah tiada aku tidak akan pernah melupakan rasa masakan ibu. Kali ini ibu menurut, meninggalkan dapur menuju tempat favoritnya, halaman belakang. Ya, apalagi jika bukan untuk merawat tanaman-tanamannya itu.

“Masak apa Dek?”

Aku hampir meloncat karena terkejut melihat Mas Danu telah berdiri di sampingku. Kupikir ia masih dikamar. Biasanya memang jika sore hari dia akan membantuku memasak. Meski selalu kutolak tetap saja tak mau mendengarkan.

“Mas, jangan sering ngegetin, lama-lama aku jantungan,” omelku.

“He … maaf.” Digaruknya kepala yang jelas tak gatal itu.

Kuhentikan kegitanaku membilas kangkung. Manatap Mas Danu yang sedang mengiris bawang merah.

“Mas,” panggilku.

“Hemm,” dia menjawab tanpa menoleh.

“Beneran mau pergi ke kota?” tanyaku, perihal ucapannya semalam masih menggangguku. “Bagaimana sama Bapak? Aku enggak mau nanti terjadi apa-apa sama Ibuk kalau mantu kesayangannya pergi,” ujarku.

Sebenarnya aku sendiri tak rela ia pergi, ibu dan bapak hanya alasan. Tentu saja aku malu jika kukatakan, aku tak rela dia pergi.

“Bilang aja kamu gak rela,” ledeknya, seolah mengerti isi hatiku.

“Apa sih, aku ini mikirin Bapak sama Ibuk,” kilahku memalingkan wajah dan sedikit senyum tersungging di bibir.

“Gimana, mau pergi tapi aku enggak bisa ninggalin istriku,” candanya disertai tawa.

Diam-diam aku tersenyum mendengar ucapannya. Itu artinya, dia tidak akan pergi bukan. Beberapa bulan bersama aku baru menyadari dia begitu perhatian kepadaku. Setelah menjadi istrinya aku semakin sadar, sejak dulu dia penuh dengan rasa hormat kepada wanita. Setelah menikah ia baru berani menatap mataku lama, padahal ia sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah, tak membiarkan aku mencuci seorang diri di sungai, ia selalu menjagaku dari jauh. Bahkan hingga detik ini menyentuhku pun ia seperti takut, padahal kami sudah sah. Saat aku menangis seorang diri karena pernikahanku dan Bang Roy gagal, dialah orang yang mendengar keluh kesahku, menemaniku menangis hingga tengah malam. Dadaku berdebar setiap kali ia menatapku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status