Share

Pengen Cucu

Author: Pinter Man
last update Last Updated: 2024-03-15 00:07:19

Aku terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Mas Danu. Lelaki di depanku itu memang tak pernah kutahu asal usulnya, tak pernah kutanya bagaimana kisah hidupnya. Entah dia benar-benar kehilangan ingatan atau enggan memberitahukan kehidupannya lantaran ada suatu masalah, serta bapak tak pernah mendapatkan kepastian medis kalau Mas Danu benar-benar kehilangan ingatan. Namun, mendengar ucapannya sedikit ada yang mengiris hatiku. Dia mau menikahiku yang sudah terbilang tak lagi muda, jika dibanding dirinya yang tampan dan pasti umurnya lebih muda dariku harusnya dia yang malu. Terlebih, jika dilihat bukan seperti dari kalangan orang desa. Kulit lelaki yang lebih halus dariku, aku tahu betul dia bukanlah lelaki yang pernah bekerja keras.

“Ngapain aku malu, bukannya bapak yang milih kamu, udah pasti bagi bapak kamu terbaik buat aku,” jawabku.

Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara kami, aku bergelut dengan pikiranku sendiri sementara Mas Danu entah sedang fokus menyetir sepedanya atau sama denganku. Hingga tanpa terasa roda sepeda terus berputar sampai berhenti di halaman rumah. Gegas aku turun, dan menghampiri ibu yang sedang menanam sayur di pekarangan belakang. Sayuran hijau tumbuh subur dalam polybag, halaman yang tidak terlalu luas itu dimanfaatkan ibu untuk menanam bahan pangan yang bisa kami gunakan sendiri. Terkadang jika terlalu banyak panen ibu sering membagikan kepada tetangga yang mau saja.

“Buk,” panggilku.

Ibu menghentikan aktivitasnya, memutar badan dan tersenyum padaku.

Sekarang, bisa kulihat wajahnya tak lagi pucat, senyum sumringah seirng terukir di bibirnya saat kami sedang berkumpul, terlebih Mas Danu selalu pandai menghibur kedua orang tuaku. Lelaki itu sudah bisa merebut hati ibu, bahkan terkadang dia justru lebih seperti anaknya ketimbang aku.

“Gimana Nisa, apa kata Mang Udin?” tanya ibu, kini tanganya kembali sibuk memasukkan tanah kedalam polybag.

“Katanya sore mau diambil Mang Tono, Buk.” Aku mengikuti ibu, berjongkok di sampingnya, ikut membantu mengisi sisa polybag yang ada.

“Baguslah, nanti uangnya bisa buat bekal ongkos ke rumah bibikmu, bibikmu mau buat selametan anaknya Rini,” tutur ibu.

Sebenarnya aku malas sekali datang ke rumah Bibi Arum, adik bungsu ayah. Toh, jika ibu sedang repot atau ada acara mereka hanya datang untuk makan, tetapi jika mereka yang memiliki hajat ibu orang pertama yang diharuskan datang membantu ini itu. Bukan karena ibu datang hanya badan saja, tak sedikit barang yang ibu bawa untuk mereka, tetap saja mereka selalu memandang rendah ibu.

“Ngapain kita kesana Buk, palingan juga cuma jadi babu cuci piring,” keluhku.

Aku sudah hafal dengan sikap mereka, mereka terlalu memandang rendah orang tuaku, jelas karena keadaan sosial kami jauh lebih rendah.

Mungkin mereka melupakan jasa besar bapak yang membuat adik-adiknya bisma berpangkat dan hidup mewah sehingga bapak hanya menjadi petani yang kebunnya tak ada seperempat dari milik mereka.

Aku ingat betul saat bapak hendak meminjam uang untuk pendaftaran kuliahku. Bukannya membantu, mereka justru menghina bapak. Mengatakan, orang miskin seperti kami tak usah memiliki mimpi tinggi untuk menguliahkan anaknya. Kata-kata itu yang membuatku gigih bekerja hingga lupa umurku tak lagi muda, aku tidak ingin mereka terus menghina kedua orang tuaku.

“Gak boleh gitu, inget pesan nenekmu. Keluarga harus tetap tolong menolong,” tutur ibu dengan penuh senyuman

.

Ah, entah terbuat dari apa hati wanita yang telah melahirkanku itu. Meski selalu dihina dan dibeda-bedakan ia tetap berlapang dada membantu saudara bapak. Tak seperti saudara ibu yang memang selalu membantu setiap kali ibu kerepotan. Meski ibu tak sekaya saudara-saudaranya, tetapi mereka selalu menghormati ibu, tetap menghargai ibu meski ibu anak bungsu diantara mereka. Hal itu yang membuatku lebih nyaman berada di lingkup keluarga dari ibu.

Aku mencebik. “Merek aja nggak pernah ada simpatinya sama kita. Cuma jadi babu geratisan.”

“Enggak papa, kan kita bisanya bantuin hal begitu.” Ibu mengusap lembut rambut panjangku.

Ibu memang keras kepala, setiap kali aku larang untuk datang kesana selalu saja punya alasan untuk membuatku tak tega membiarkannya datang seorang diri. Begitu pula bapak, aku tak akan tega melihat tubuh tuanya seperti tukang kebun di rumah mewah adik-adiknya.

Aku menghela nafas berat. Ibu melihatku yang terlihat kesal.

“Kebaikan yang kita tanam pasti akan ada imbal balasnya, Nak. Enggak usah khawatir kalau sekarang kita sering dihina,” tuturnya lagi membuatku hanya bisa terdiam.

“Udah sana buatin kopi suamimu, tadi ibu juga udah bikin adonan bakwan, belum sempat ibuk goreng. Kamu goreng sekalian, ya,” pinta ibu yang membuatku gegas melaksanakannya tanpa menunggu lama.

Berjalan menuju dapur yang tak terlalu besar, kubuka tirai jendela agar cahaya masuk lebih terang. Kulihat adonan bakwan yang ada di meja, lantas menggorengnya setelah minyak yang dipanaskan mendidih. Tak lupa kopi dan teh sudah tersedia, setelah matang kusajikan untuk ayah dan Mas Danu yang sedang berbincang di teras depan, ibu ikut duduk bersama, aku pun duduk disamping ibu.

Dersik angin membelai kulit, rintik hujan mulai turun satu persatu semakin lama semakin sering hingga tanpa jeda.

“Ibu harap bisa gendong cucu, sebelum ibu pergi,” ucap ibu disela perbincangan kami.

Aku diam menunduk, senyum di bibirku yang semula terukir sempurna kini berubah ciut. Jangankan untuk memberikan cucu secepatnya, aku dan Mas Danu saja masih tidur terpisah, kami tidak tahu akan memulai darimana ritual itu.

“Bapak pun pengennya gitu, lihat temen-temen bapak malah udah gendong cicit,” balas bapak disertai tawa.

“Bapak sama ibuk punya cucu berapa?” jawab Mas Danu. Ia pun ikut tertawa memecah kecanggungan diantara kami.

“Kalau ibuk sih maunya yang banyak, biar rame. Annisa Enggak punya saudara.” Ibu begitu antusias menanggapi ucapan Mas Danu, wajahnya begitu bahagia mungkin membayangkan keadaan rumah yang begitu ramai dengan jeritan anak-anak.

“Empat aja cukup, biar kalian enggak repot ngurusnya, iya kalau bapak sama ibuk panjang umur bisa bantuin ngurus anak kalian,” bapak menimpali.

Tak kalah antusias dengan ibu, keduanya tertawa riang begitu pun Mas Danu, sekilas ia menatapku, sementara aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka.

Ingin sekali rasanya aku kabulkan permintaan bapak dan ibu, tapi mana mungkin aku bisa membuat anak sendiri.

….

Malam disertai rintik hujan, hawa dingin menyelimuti. Aku berdiam diri di kamar seorang diri, keinginan bapak dan ibu terus terngiang di kepala. Berjalan mondar-mandir seperti setrika. Bagaimana aku mengatakan kepada Mas Danu, lagi pula bagaimana aku bisa melakukannya tanpa cinta, apa aku mampu? Kuacak rambut frustasi.

“Loh, kamu kenapa Dek?”

Aku tersentak, Mas Danu mengagetkanku. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di sampingku. Padahal beberapa saat lalu masih kudengar ia bercanda dengan bapak di ruang depan.

“Anu … ini …”

Aku gelagapan, entah kenapa jantungku berdegup tidak karuan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suryanieck
suka ceritanya semoga cepat dpt momongan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   kenyataannya

    Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Undangan Biru

    “kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Loh. Pinjam Uang?

    ….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Suamiku Banyak Duit

    “150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Tamu Tak Diundang

    “Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Pilihan Bapak Terbaik

    “Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status