Share

Pengen Cucu

Aku terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Mas Danu. Lelaki di depanku itu memang tak pernah kutahu asal usulnya, tak pernah kutanya bagaimana kisah hidupnya. Entah dia benar-benar kehilangan ingatan atau enggan memberitahukan kehidupannya lantaran ada suatu masalah, serta bapak tak pernah mendapatkan kepastian medis kalau Mas Danu benar-benar kehilangan ingatan. Namun, mendengar ucapannya sedikit ada yang mengiris hatiku. Dia mau menikahiku yang sudah terbilang tak lagi muda, jika dibanding dirinya yang tampan dan pasti umurnya lebih muda dariku harusnya dia yang malu. Terlebih, jika dilihat bukan seperti dari kalangan orang desa. Kulit lelaki yang lebih halus dariku, aku tahu betul dia bukanlah lelaki yang pernah bekerja keras.

“Ngapain aku malu, bukannya bapak yang milih kamu, udah pasti bagi bapak kamu terbaik buat aku,” jawabku.

Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara kami, aku bergelut dengan pikiranku sendiri sementara Mas Danu entah sedang fokus menyetir sepedanya atau sama denganku. Hingga tanpa terasa roda sepeda terus berputar sampai berhenti di halaman rumah. Gegas aku turun, dan menghampiri ibu yang sedang menanam sayur di pekarangan belakang. Sayuran hijau tumbuh subur dalam polybag, halaman yang tidak terlalu luas itu dimanfaatkan ibu untuk menanam bahan pangan yang bisa kami gunakan sendiri. Terkadang jika terlalu banyak panen ibu sering membagikan kepada tetangga yang mau saja.

“Buk,” panggilku.

Ibu menghentikan aktivitasnya, memutar badan dan tersenyum padaku.

Sekarang, bisa kulihat wajahnya tak lagi pucat, senyum sumringah seirng terukir di bibirnya saat kami sedang berkumpul, terlebih Mas Danu selalu pandai menghibur kedua orang tuaku. Lelaki itu sudah bisa merebut hati ibu, bahkan terkadang dia justru lebih seperti anaknya ketimbang aku.

“Gimana Nisa, apa kata Mang Udin?” tanya ibu, kini tanganya kembali sibuk memasukkan tanah kedalam polybag.

“Katanya sore mau diambil Mang Tono, Buk.” Aku mengikuti ibu, berjongkok di sampingnya, ikut membantu mengisi sisa polybag yang ada.

“Baguslah, nanti uangnya bisa buat bekal ongkos ke rumah bibikmu, bibikmu mau buat selametan anaknya Rini,” tutur ibu.

Sebenarnya aku malas sekali datang ke rumah Bibi Arum, adik bungsu ayah. Toh, jika ibu sedang repot atau ada acara mereka hanya datang untuk makan, tetapi jika mereka yang memiliki hajat ibu orang pertama yang diharuskan datang membantu ini itu. Bukan karena ibu datang hanya badan saja, tak sedikit barang yang ibu bawa untuk mereka, tetap saja mereka selalu memandang rendah ibu.

“Ngapain kita kesana Buk, palingan juga cuma jadi babu cuci piring,” keluhku.

Aku sudah hafal dengan sikap mereka, mereka terlalu memandang rendah orang tuaku, jelas karena keadaan sosial kami jauh lebih rendah.

Mungkin mereka melupakan jasa besar bapak yang membuat adik-adiknya bisma berpangkat dan hidup mewah sehingga bapak hanya menjadi petani yang kebunnya tak ada seperempat dari milik mereka.

Aku ingat betul saat bapak hendak meminjam uang untuk pendaftaran kuliahku. Bukannya membantu, mereka justru menghina bapak. Mengatakan, orang miskin seperti kami tak usah memiliki mimpi tinggi untuk menguliahkan anaknya. Kata-kata itu yang membuatku gigih bekerja hingga lupa umurku tak lagi muda, aku tidak ingin mereka terus menghina kedua orang tuaku.

“Gak boleh gitu, inget pesan nenekmu. Keluarga harus tetap tolong menolong,” tutur ibu dengan penuh senyuman

.

Ah, entah terbuat dari apa hati wanita yang telah melahirkanku itu. Meski selalu dihina dan dibeda-bedakan ia tetap berlapang dada membantu saudara bapak. Tak seperti saudara ibu yang memang selalu membantu setiap kali ibu kerepotan. Meski ibu tak sekaya saudara-saudaranya, tetapi mereka selalu menghormati ibu, tetap menghargai ibu meski ibu anak bungsu diantara mereka. Hal itu yang membuatku lebih nyaman berada di lingkup keluarga dari ibu.

Aku mencebik. “Merek aja nggak pernah ada simpatinya sama kita. Cuma jadi babu geratisan.”

“Enggak papa, kan kita bisanya bantuin hal begitu.” Ibu mengusap lembut rambut panjangku.

Ibu memang keras kepala, setiap kali aku larang untuk datang kesana selalu saja punya alasan untuk membuatku tak tega membiarkannya datang seorang diri. Begitu pula bapak, aku tak akan tega melihat tubuh tuanya seperti tukang kebun di rumah mewah adik-adiknya.

Aku menghela nafas berat. Ibu melihatku yang terlihat kesal.

“Kebaikan yang kita tanam pasti akan ada imbal balasnya, Nak. Enggak usah khawatir kalau sekarang kita sering dihina,” tuturnya lagi membuatku hanya bisa terdiam.

“Udah sana buatin kopi suamimu, tadi ibu juga udah bikin adonan bakwan, belum sempat ibuk goreng. Kamu goreng sekalian, ya,” pinta ibu yang membuatku gegas melaksanakannya tanpa menunggu lama.

Berjalan menuju dapur yang tak terlalu besar, kubuka tirai jendela agar cahaya masuk lebih terang. Kulihat adonan bakwan yang ada di meja, lantas menggorengnya setelah minyak yang dipanaskan mendidih. Tak lupa kopi dan teh sudah tersedia, setelah matang kusajikan untuk ayah dan Mas Danu yang sedang berbincang di teras depan, ibu ikut duduk bersama, aku pun duduk disamping ibu.

Dersik angin membelai kulit, rintik hujan mulai turun satu persatu semakin lama semakin sering hingga tanpa jeda.

“Ibu harap bisa gendong cucu, sebelum ibu pergi,” ucap ibu disela perbincangan kami.

Aku diam menunduk, senyum di bibirku yang semula terukir sempurna kini berubah ciut. Jangankan untuk memberikan cucu secepatnya, aku dan Mas Danu saja masih tidur terpisah, kami tidak tahu akan memulai darimana ritual itu.

“Bapak pun pengennya gitu, lihat temen-temen bapak malah udah gendong cicit,” balas bapak disertai tawa.

“Bapak sama ibuk punya cucu berapa?” jawab Mas Danu. Ia pun ikut tertawa memecah kecanggungan diantara kami.

“Kalau ibuk sih maunya yang banyak, biar rame. Annisa Enggak punya saudara.” Ibu begitu antusias menanggapi ucapan Mas Danu, wajahnya begitu bahagia mungkin membayangkan keadaan rumah yang begitu ramai dengan jeritan anak-anak.

“Empat aja cukup, biar kalian enggak repot ngurusnya, iya kalau bapak sama ibuk panjang umur bisa bantuin ngurus anak kalian,” bapak menimpali.

Tak kalah antusias dengan ibu, keduanya tertawa riang begitu pun Mas Danu, sekilas ia menatapku, sementara aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka.

Ingin sekali rasanya aku kabulkan permintaan bapak dan ibu, tapi mana mungkin aku bisa membuat anak sendiri.

….

Malam disertai rintik hujan, hawa dingin menyelimuti. Aku berdiam diri di kamar seorang diri, keinginan bapak dan ibu terus terngiang di kepala. Berjalan mondar-mandir seperti setrika. Bagaimana aku mengatakan kepada Mas Danu, lagi pula bagaimana aku bisa melakukannya tanpa cinta, apa aku mampu? Kuacak rambut frustasi.

“Loh, kamu kenapa Dek?”

Aku tersentak, Mas Danu mengagetkanku. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di sampingku. Padahal beberapa saat lalu masih kudengar ia bercanda dengan bapak di ruang depan.

“Anu … ini …”

Aku gelagapan, entah kenapa jantungku berdegup tidak karuan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suryanieck
suka ceritanya semoga cepat dpt momongan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status