Share

Siapa Sebenarnya Suamiku?

DUA TAHUN BERLALU

“Tuh kan, untung aja anakku nikah sama orang lain, kalau nikah sam Anisa udah pasti enggak punya anak,” caci Bu Sari.

“Nisa kok belum ngisi sih? Kalian enggak ada rencana buat periksa gitu ke dokter? Nih lihat, aku aja udh hamil anak kedua.” Ranti mengelus perutnya meski masih rata, tetapi sepertinya ia memang sedang hamil terlihat dari wajah pucatnya. Senyum mengejek ia sunggingkan.

“Iya sih, itu anakku juga udah ngisi,” timpal Bik Santi. Beberapa ibu-ibu lain hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka.

Aku menghela nafas dan tetap menebar senyum. “Enggak papa, mungkin memang belum waktunya. Yang penting enggak hamil duluan,” balasku.

Kulirik Ranti, ia memalingkan pandangan sesekali mentapku penuh kekesalan. “Ya udah aku pamit duluan ya Buk, udah siang mau buatin makanan buat Mas Danu.” Aku berlalu dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja.

Sudah dua tahun pernikahanku dengan Mas Danu, tetapi sepertinya Tuhan memang belum mempercayakan kepada kami seorang anak. Aku memikirkan ucapan Ranti, apa perlu aku uji kesuburan? Masalahnya banyak tetangga mengatakan wanita yang melebihi usia akan sulit memiliki anak, hatiku gusar.

Sampai di rumah gegas kupersiapkan bekal untuk Mas Danu. Sebelum mengantar makanan untuknya yang sedang berkebun, kupersiapkan lebih dulu makanan untuk bapak yang sedang terbaring di dipan, membantunya makan perlahan. Sudah satu tahun bapak tak dapat lagi bangun, ia hanya bisa terbaring lemah karena kecelakaan yang menimpanya. Sementara ibu sudah pergi lebih dulu beberapa bulan setelah kejadian tabrak lari yang menimpa mereka.

Kuusap perlahan wajah bapak, hatiku sakit sekali setiap mengingat impian mereka untuk menimang cucu belum sempat aku kabulkan dan sekarang sudah tak ada lagi ibu.

“Maafin Nisa ya, Pak. Nisa enggak bisa jadi anak yang berbakti.”

Aku menangis di samping bapak.

“Enggak usah minta maaf, harusnya bapak yang minta maaf sama kalian, karena bapak kalian jadi susah.” Perlahan bapak mengusap pucuk kepalaku.

Aku menggeleng lemah, semua akan kulakukan jika itu bisa menyembuhkan bapak, satu-satunya yang harus kuperjuangkan kebahagiannya kini.

Bapak meraih tanganku, menyerahkan secarik kertas. “Nomor telepon baru bibikmu, bapak mau ngomong,” pintanya.

Aku menatap kertas yang kini telah berada di genggamanku. Jika mengingat dulu kami dihina saat meminta hak kami untuk mengobatkan ibu, rasanya aku enggan menghubungi kerabat bapak lagi. Luka ibu cukup parah saat itu, kami tak memiliki banyak biaya, bapak kesana kemari meminta haknya kepada adik-adiknya, tetapi sedikit pun mereka tak pernah merasa iba. Mas Danu datang membawa uang, tetapi ibu tak dapat tertolong.

“Ngapain Pak, yang ada mereka akan menghina kita.” Aku meremas secarik kertas yang ada di genggamanku, berniat ingin membuangnya. Tapi bapak mencegah.

“Bapak berjuang buat kalian, setidaknya kalian harus hidup enak.”

Aku menggeleng, jika hidup enak tetapi mereka menghina bapak tak akan pernah kuijinkan.

“Anggap aja kita sedekah sama mereka Pak. Aku dan Mas Danu masih bisa cari pekerjaan lain.”

Jadwal operasi bapak sudah ditentukan, tetapi hingga kini aku belum mempunyai biaya. Sawah yang tak terlalu luas sudah kami jual untuk melunasi hutang pengobatan bapak yang lalu.

Ketukan di pintu membuatku gegas beranjak, menghapus sisa-sisa air mata lalu melihat siapa yang berdiri di pintu. Mas Danu tersenyum menatapku, melihatnya justru air mataku kian deras mengalir. Lelaki itu, dia yang selalu ada untukku, tempat aku bersandar saat ini karena tubuhku sedang rapuh, lelaki yang selalu menenangkanku, selalu mengingatkanku untuk ikhlas menghadapi semuanya. Belum kuantar makanan untuknya yang menggarap sawah tetangga, tetapi Mas Danu sudah pulang.

Suami dadakan yang kini telah merajai hati, ia mampu meluluhkan hatiku dengan ketulusannya. Meski saat ini kami kekurangan ia tak pernah lupa akan tanggung jawabnya, ia selalu berusaha memenuhi kebutuhan rumah kami dan biaya pengobatan bapak. Kadang aku ingin sekali membantunya bekerja karena tak tega melihat dirinya pontang panting seorang diri, tetapi ia selalu melarang. Katanya, itu bukan tanggung jawabku, jika dia masih bisa mencari solusi tak ingin membiarkan aku bekerja. Namun, kadang aku diam-diam bekerja dari rumah, memanfaatkan zaman yang sudah maju, semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah.

“Loh, kenapa nangis?” Mas Danu menghampiriku, gegas kupeluk dirinya.

Aku sudah tak bisa berpikir darimana mendapatkan uang untuk operasi bapak.

“Ayo siap-siap, kita akan mau ke rumah sakit, Bapak mau operasi,” sambungnya sembari sesekali menepuk pelan punggungku.

Kulepas pelukannya, menggeleng lemah. “Kita belum punya biaya Mas,” lirihku dengan suara berat, suara terasa tercekat di tenggorokan, terlalu berat untuk mengeluarkannya. “Bapak minta telepon bibik.” Kuprlihatkan secarik kertas ditanganku yang sudah lecek.

“Ngapain, enggak usah.” Mas Danu mengambil secarik kertas tersebut lalu membuangnya. “Aku enggak akan biarin kamu dan Bapak dihina lagi, enggak usah pikirin masalah biaya.” Mas Danu menggenggama erat tanganku.

Air mata semakin deras mengalir seolah enggan berhenti. Aku takut, takut sekali membuatnya memikul beban terlalu berat. Dia sudah cukup berjuang untukku.

“Enggak usah pikirin bapak, bapak udah ikhlas,” bapak menyahut dari dalam kamar.

“Bapak harus punya semangat, kita masih mampu kok.” Mas Danu menghampiri bapak, membantunya bersandar di tembok. “Cepetan Dek, nanti kita kemalaman sampe rumah sakit,” perintahnya lagi, aku masih mematung di depan pintu.

“Tapi Mas ….”

Belum selesai aku berbicara, sebuah mobil sedan mewah memasuki halaman. “Siapa yang datang? Gak mungkin itu Bibik atau Paman,” batinku.

Dari mobil keluar seorang yang berpakaian rapi lengkap dengan jas dan sepatu, kacamata hitam menutup matanya. Mas Danu keluar menyambut orang itu. Aku hanya memperhatikan tanpa bertanya, sepertinya Mas Danu mengenal orangnya.

“Sedikit telat Bos, ada macet,” ucapanya setelah Mas Danu menghampiri.

Bos, dia memanggil mas Danu ‘bos’. Aku mengerutkan dahi, mengapa orang itu memanggil suamiku bos. Aku ingat ini bukan kali pertama ada orang asing memanggilnya bos.

“Tunggu sebentar,” pinta Mas Danu, lelaki itu hanya sedikit membungkukan badan seolah siap menerima perintah.

“Mas,” panggilku cepat.

Mengikuti langkah suamiku yang sudah berada disamping bapak memakaikan baju panjang untuk bapak, dengan telaten menyisir rambutnya dan memakaikan syal panjang di lehernya.

Mas Danu sangat telaten membantuku merawat bapak, hal yang membuatku semakin begitu mencintainya.

“Udah kubilang gak usah pikirin apa-apa sekarang cepetan siap-siap, Dek.”

“Mas, siapa ….”

Belum selesai aku bicara, Mas Danu sudah pergi meminta lelaki misterius itu untuk membantu bapak duduk di kursi roda, setelah memindahkan bapak ke mobil. Gegas ia menghampiriku yang kebingungan.

Memegang erat kedua pundakku. “Sekarang udah saatnya kamu tahu,” ucapnya yang membuatku semakin bingung. Apa ingatannya sudah pulih, batinku terus menerka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status