Share

Siapa Sebenarnya Suamiku?

Author: Pinter Man
last update Last Updated: 2024-03-16 12:48:18

DUA TAHUN BERLALU

“Tuh kan, untung aja anakku nikah sama orang lain, kalau nikah sam Anisa udah pasti enggak punya anak,” caci Bu Sari.

“Nisa kok belum ngisi sih? Kalian enggak ada rencana buat periksa gitu ke dokter? Nih lihat, aku aja udh hamil anak kedua.” Ranti mengelus perutnya meski masih rata, tetapi sepertinya ia memang sedang hamil terlihat dari wajah pucatnya. Senyum mengejek ia sunggingkan.

“Iya sih, itu anakku juga udah ngisi,” timpal Bik Santi. Beberapa ibu-ibu lain hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka.

Aku menghela nafas dan tetap menebar senyum. “Enggak papa, mungkin memang belum waktunya. Yang penting enggak hamil duluan,” balasku.

Kulirik Ranti, ia memalingkan pandangan sesekali mentapku penuh kekesalan. “Ya udah aku pamit duluan ya Buk, udah siang mau buatin makanan buat Mas Danu.” Aku berlalu dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja.

Sudah dua tahun pernikahanku dengan Mas Danu, tetapi sepertinya Tuhan memang belum mempercayakan kepada kami seorang anak. Aku memikirkan ucapan Ranti, apa perlu aku uji kesuburan? Masalahnya banyak tetangga mengatakan wanita yang melebihi usia akan sulit memiliki anak, hatiku gusar.

Sampai di rumah gegas kupersiapkan bekal untuk Mas Danu. Sebelum mengantar makanan untuknya yang sedang berkebun, kupersiapkan lebih dulu makanan untuk bapak yang sedang terbaring di dipan, membantunya makan perlahan. Sudah satu tahun bapak tak dapat lagi bangun, ia hanya bisa terbaring lemah karena kecelakaan yang menimpanya. Sementara ibu sudah pergi lebih dulu beberapa bulan setelah kejadian tabrak lari yang menimpa mereka.

Kuusap perlahan wajah bapak, hatiku sakit sekali setiap mengingat impian mereka untuk menimang cucu belum sempat aku kabulkan dan sekarang sudah tak ada lagi ibu.

“Maafin Nisa ya, Pak. Nisa enggak bisa jadi anak yang berbakti.”

Aku menangis di samping bapak.

“Enggak usah minta maaf, harusnya bapak yang minta maaf sama kalian, karena bapak kalian jadi susah.” Perlahan bapak mengusap pucuk kepalaku.

Aku menggeleng lemah, semua akan kulakukan jika itu bisa menyembuhkan bapak, satu-satunya yang harus kuperjuangkan kebahagiannya kini.

Bapak meraih tanganku, menyerahkan secarik kertas. “Nomor telepon baru bibikmu, bapak mau ngomong,” pintanya.

Aku menatap kertas yang kini telah berada di genggamanku. Jika mengingat dulu kami dihina saat meminta hak kami untuk mengobatkan ibu, rasanya aku enggan menghubungi kerabat bapak lagi. Luka ibu cukup parah saat itu, kami tak memiliki banyak biaya, bapak kesana kemari meminta haknya kepada adik-adiknya, tetapi sedikit pun mereka tak pernah merasa iba. Mas Danu datang membawa uang, tetapi ibu tak dapat tertolong.

“Ngapain Pak, yang ada mereka akan menghina kita.” Aku meremas secarik kertas yang ada di genggamanku, berniat ingin membuangnya. Tapi bapak mencegah.

“Bapak berjuang buat kalian, setidaknya kalian harus hidup enak.”

Aku menggeleng, jika hidup enak tetapi mereka menghina bapak tak akan pernah kuijinkan.

“Anggap aja kita sedekah sama mereka Pak. Aku dan Mas Danu masih bisa cari pekerjaan lain.”

Jadwal operasi bapak sudah ditentukan, tetapi hingga kini aku belum mempunyai biaya. Sawah yang tak terlalu luas sudah kami jual untuk melunasi hutang pengobatan bapak yang lalu.

Ketukan di pintu membuatku gegas beranjak, menghapus sisa-sisa air mata lalu melihat siapa yang berdiri di pintu. Mas Danu tersenyum menatapku, melihatnya justru air mataku kian deras mengalir. Lelaki itu, dia yang selalu ada untukku, tempat aku bersandar saat ini karena tubuhku sedang rapuh, lelaki yang selalu menenangkanku, selalu mengingatkanku untuk ikhlas menghadapi semuanya. Belum kuantar makanan untuknya yang menggarap sawah tetangga, tetapi Mas Danu sudah pulang.

Suami dadakan yang kini telah merajai hati, ia mampu meluluhkan hatiku dengan ketulusannya. Meski saat ini kami kekurangan ia tak pernah lupa akan tanggung jawabnya, ia selalu berusaha memenuhi kebutuhan rumah kami dan biaya pengobatan bapak. Kadang aku ingin sekali membantunya bekerja karena tak tega melihat dirinya pontang panting seorang diri, tetapi ia selalu melarang. Katanya, itu bukan tanggung jawabku, jika dia masih bisa mencari solusi tak ingin membiarkan aku bekerja. Namun, kadang aku diam-diam bekerja dari rumah, memanfaatkan zaman yang sudah maju, semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah.

“Loh, kenapa nangis?” Mas Danu menghampiriku, gegas kupeluk dirinya.

Aku sudah tak bisa berpikir darimana mendapatkan uang untuk operasi bapak.

“Ayo siap-siap, kita akan mau ke rumah sakit, Bapak mau operasi,” sambungnya sembari sesekali menepuk pelan punggungku.

Kulepas pelukannya, menggeleng lemah. “Kita belum punya biaya Mas,” lirihku dengan suara berat, suara terasa tercekat di tenggorokan, terlalu berat untuk mengeluarkannya. “Bapak minta telepon bibik.” Kuprlihatkan secarik kertas ditanganku yang sudah lecek.

“Ngapain, enggak usah.” Mas Danu mengambil secarik kertas tersebut lalu membuangnya. “Aku enggak akan biarin kamu dan Bapak dihina lagi, enggak usah pikirin masalah biaya.” Mas Danu menggenggama erat tanganku.

Air mata semakin deras mengalir seolah enggan berhenti. Aku takut, takut sekali membuatnya memikul beban terlalu berat. Dia sudah cukup berjuang untukku.

“Enggak usah pikirin bapak, bapak udah ikhlas,” bapak menyahut dari dalam kamar.

“Bapak harus punya semangat, kita masih mampu kok.” Mas Danu menghampiri bapak, membantunya bersandar di tembok. “Cepetan Dek, nanti kita kemalaman sampe rumah sakit,” perintahnya lagi, aku masih mematung di depan pintu.

“Tapi Mas ….”

Belum selesai aku berbicara, sebuah mobil sedan mewah memasuki halaman. “Siapa yang datang? Gak mungkin itu Bibik atau Paman,” batinku.

Dari mobil keluar seorang yang berpakaian rapi lengkap dengan jas dan sepatu, kacamata hitam menutup matanya. Mas Danu keluar menyambut orang itu. Aku hanya memperhatikan tanpa bertanya, sepertinya Mas Danu mengenal orangnya.

“Sedikit telat Bos, ada macet,” ucapanya setelah Mas Danu menghampiri.

Bos, dia memanggil mas Danu ‘bos’. Aku mengerutkan dahi, mengapa orang itu memanggil suamiku bos. Aku ingat ini bukan kali pertama ada orang asing memanggilnya bos.

“Tunggu sebentar,” pinta Mas Danu, lelaki itu hanya sedikit membungkukan badan seolah siap menerima perintah.

“Mas,” panggilku cepat.

Mengikuti langkah suamiku yang sudah berada disamping bapak memakaikan baju panjang untuk bapak, dengan telaten menyisir rambutnya dan memakaikan syal panjang di lehernya.

Mas Danu sangat telaten membantuku merawat bapak, hal yang membuatku semakin begitu mencintainya.

“Udah kubilang gak usah pikirin apa-apa sekarang cepetan siap-siap, Dek.”

“Mas, siapa ….”

Belum selesai aku bicara, Mas Danu sudah pergi meminta lelaki misterius itu untuk membantu bapak duduk di kursi roda, setelah memindahkan bapak ke mobil. Gegas ia menghampiriku yang kebingungan.

Memegang erat kedua pundakku. “Sekarang udah saatnya kamu tahu,” ucapnya yang membuatku semakin bingung. Apa ingatannya sudah pulih, batinku terus menerka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   kenyataannya

    Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Undangan Biru

    “kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Loh. Pinjam Uang?

    ….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Suamiku Banyak Duit

    “150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Tamu Tak Diundang

    “Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Pilihan Bapak Terbaik

    “Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status