bab 32.B (POV Rista)Mama berdecak kesal, tangisan Ayra membuatku kesulitan berfikir jernih, bawaannya selalu ingin marah-marah."Ya engga lah, ogah banget punya mantu pemalas begitu. Maksud Mama kamu perbaiki hubungan hanya demi Ayra saja, bilang sama Ardan untuk menjenguk putrinya kapan saja, siapa tahu Ayra rewel karena kangen papanya, atau anak itu bisa merasakan kegalauan papanya."Kusenderkan kepala ke sofa, rasanya berat sekali melakukan apa yang mama titahkan, padahal aku ingin sepenuhnya jauh dari Ardan dan masa lalu."Males ah," jawabku sambil menutup telinga."Kamu tuh ya ga bisa dibilangin ini demi Ayra." Mama duduk mendekati."Dahulu waktu kamu masih bayi Mama sama Papa bertengkar hebat, sampai berhari-hari ga saling tegur sapa. Tahu apa yang terjadi sama kamu? pengasuh bilang kalau seharian kamu rewel dan sering nangis, akhirnya kami baikan lagi dan setelah itu pengasuh juga bilang kalau kamu jadi lebih tenang seperti sedia kala."Aku diam dalam keheningan mencoba mence
(POV Amira)Di tengah rintikan hujan pak Satria datang sambil menggenggam sebuah payung yang melindungi dirinya dari basahan air hujan.Sudah beberapa hari aku tak ke warung, semua urusan diserahkan pada Sela dan Talita, kedua remaja itu tak pernah curang selalu memberikan laporan keuangan secara rinci.Usai saling berbalas kata salam, kupersilakan lelaki jangkung itu duduk di bangku teras, kebetulan Hanan sedang tertidur lelap, jadinya diri ini bisa istirahat sebentar."Mana Hanan, Mir?" tanya Pak Satria, saat aku ke luar membawa secangkir teh hangat."Tidur, Pak eh, Satria." Aku tersipu malu, masalahnya tak terbiasa memanggilnya hanya dengan sebutan nama."Jangan panggil Pak dong, kelihatan banget ya kalau wajahku kaya Om-Om." Ia menyeringai."Engga lah, mana ada Om-Om sekeren kamu."Ia mengusap rambutnya kepedean, senyum di wajahku terus mengembang jika di dekatnya entah kenapa."Diminum, Pak. Eehh kok Pak lagi." Aku terkekeh dengan kecanggungan ini."Dihh, Mira, jahat banget. Kala
Bab 33.B"Ya ampuun, aku ga suka wanita kaya gitu. Apaan kerjaannya cuma pamer aurat sana-sini, aku tuh suka perempuan tertutup yang mana tubuhnya hanya diperlihatkan untuk suaminya saja, keibuan, penyabar dan penuh kasih sayang. Semua itu ada di diri kamu."Satria memandangku dengan serius, kupalingkan wajah ke depan sana, kini hujan telah reda berganti dengan indahnya goresan pelangi."Kalau gitu kenapa kamu ga buat aturan aja sama karyawan perempuan di kantormu untuk menutup aurat jika bekerja," usulku, memang terdengar tak nyambung."Sebenarnya itu perusahaan milik Papa, tapi ide kamu bagus juga, insya Allah nanti aku coba terapkan ya." Ia mangut-mangut.Sekarang jadi bimbang harus mengatakan apa, jika kujawab ya bagaimana dengan Nasya apakah ia setuju aku menikah dengannya? apakah anak itu menerima Satria sebagai ayah kandungnya?"Santai aja, Amira. Fikirkan dan diskusikan ini sama Nasya, aku mau kita menikah dengan restu dan ridho semua orang," ujar Satria seolah bisa membaca ke
Bab 34.AAku mematung di tempat, diri ini terasa terpasung kala melihat harapan dan kekecewaan Silmi terhadap Satria, mungkinkah ia akan menganggapku teman jika tahu orang yang ia suka sudah melamarku jadi istrinya?"Mbak, kok bengong? kaget ya aku suka sama Pak Satria, secara dia duda dan usianya jauh lebih tua, emang sih lebih cocok sama wanita seusia Mbak, tapi 'kan namanya cinta ga mandang umur," celetuknya sambil menimbang-nimbang tubuh Hanan.Aku masih tak bergeming rasanya terkejut sekali dengan keadaanku ini, di mana harus bersaing dengan wanita muda, sexy, cantik dan energik, jika untuk menjadi istri Satria harus memerlukan penilaian seorang juri, tentulah aku akan kalah dengan dirinya.Silmi masih gadis dan tentu itu memberikan nilai lebih untuk lelaki, belum parasnya yang cantik dan aduhai mustahil sekali rasanya ada lelaki yang mengacuhkannya begitu saja."Dih Mbak Amira masih bengong aja, masih syok ya denger aku suka sama Pak Satria?""Mbak!""woy!"Aku terkesiap dari la
Bab 34.B"Orangnya sombong ga, Sil? secara dia 'kan istri orang kaya?" tanyaku memancing lagi"Gimana ya? dibilang sombong engga juga karena dia ramah dan sering nyapa, kalau lihatnya sekilas orang akan menyimpulkan kalau dia sombong, secara baju dan perhiasan yang ia kenakan saja bisa tuh buat beli mobil secara cash."Aku mangut-mangut mencoba menyimpulkan jawaban Silmi, percakapan kami harus berakhir karena ia pamit hendak pulang, katanya ada urusan mendadak dengan teman-temannya.Hari ini rasa resah sedikit melanda, karena Nasya belum kunjung pulang setelah kemarin menginap di rumah Mas Heri. Aku takut ia akan nyaman di sana dan lebih memilih tinggal dengannya."Assalamualaikum, Ma. Nenek ayo masuk." Akhirnya rasa resahku gugur dalam sekejap saat mendengar suaranya dari luar."Wa'alaikumus'salam, kok sore banget pulangnya?""Tadi abis jalan-jalan sebentar sama Nenek dan Papa."Aku tercenung saat mengetahui ternyata Nenek yang ia maksud adalah ibunya Mas Heri, wanita itu turun dari
"Fikrikan lagi, Mir." Ucapan ibu masih menggema di telinga menumbuhkan kebimbangan yang semakin menjulang."Aku harap Ibu jangan pernah ikut campur masalahku lagi, dan masalah Nasya jika Ibu dan Mas Heri membawanya nginap hanya untuk mencuci otaknya saja demi kepentingan Ibu sendiri, maka lebih baik tak usah di sini dia juga tak kekurangan kasih sayang dan apapun," ucapku secara tegas."Nasya kamu masuk! Mama paling ga suka sama anak yang suka ngebantah."Wajah Nasya mendung karena kecewa, bagaimana lagi aku tak suka melihatnya berpihak pada orang-orang licik yang mementingkan perutnya sendiri.Kini dapat kubaca jika inilah salah satu usaha ibu untuk melancarkan rencananya, meracuni otak Nasya dengan beribu kata dusta, besar kemungkinan bila mereka selalu bersama maka akan menumbuhkan rasa benci terhadap Satria."Mama kok gitu sih? Mama jahat!" Ia menghentakkan sebelah kaki lalu masuk ke dalam penuh emosi."Aku tahu sekarang Nasya begitu ternyata karena Ibu ya, Ibu 'kan yang bilang k
Aku tergugu tak percaya dengan ini semua, benarkah anak itu telah menerima Satria? "Kok kamu ngomong gitu sih? bukannya kemarin bilang kalau Papa Heri itu baik ya," jawabku sambil menyeka air mata."Iya sekarang sih emang baik, tapi dulu waktu kita masih tinggal bersama bukannya Papa sering marahin Mama ya, sering ngebentak dan ngatain Mama seenaknya, kalau ingat itu aku jadi pengen nangis, siapa tahu aja Om Satria ga kaya gitu ya, Ma."Nasya mengeratkan pelukannya, aku pun membalas dengan perasaan haru dan bahagia."Insya Allah Om Satria ga akan kaya gitu, Nasya jangan khawatir Om Satria udah janji mau bikin bahagia kita bertiga." Anak itu menganggukan kepala sambil tersenyum, beberapa detik kemudian tangannya mulai jahil menggelitik kaki Hanan hingga bayi itu terbangun.*Keesokan harinya Satria datang untuk menagih keputusan, lelaki itu terlihat akrab berbincang dengan ibu dan bapak, mereka tertawa entah sedang membicarakan apa, hingga aku datang membawa teh hangat dan beberapa c
(POV SATRIA)Wajah Amira selalu terbayang kala hendak terlelap, ingin sekali mengirimkan pesan agar rindu ini tersampaikan. Namun, aku tersadar Amira bukan tipikal orang yang bisa kuajak menggombal.Dia pasti sibuk menyusui Hanan yang mungkin saja rewel kala malam menjelang, belum lagi ia harus membantu Nasya belajar, semua itu membuatku faham bahwa dunianya lebih luas dibanding duniaku yang hanya sibuk dengan pekerjaan saja.Ingin sekali cepat-cepat menghalalkannya, menjadikan ia ratu di istana yang sudah kupersiapkan, akan kubuat ia bahagia hingga lupa pada derita yang pernah dirasa.Berawal dari perasaan iba hingga tumbuh menjadi suka lantaran keteguhan dan kesabarannya dalam menghadapi perihnya kehidupan, hingga akhirnya rasa ini menjadi cinta lantaran kagum dengan keshalihahannya.Ia selalu menjaga diri dari pandangan laki-laki, ia juga pribadi yang tegar saat melihat suaminya bersanding dengan wanita lain, padahal di rahimnya telah tumbuh benih lelaki itu.Kadang aku heran kenap