Share

part 5 kepercayaan

***

Pov Ralin

Kutepis lengan yang ingin memelukku dari belakang.

"Kau masih menolakku setelah apa yang telah kulakukan semua untukmu?" ucap Rangga dengan gusar.

Lelaki berkaos coklat itu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, berjalan ke arah jendela lalu mematiknya di sana.

"Maaf, Ngga. Ini hanya soal waktu, aku belum siap, tapi kupastikan tak akan lama lagi."

"Aku kesal melihat laki-laki itu memelukmu tadi, sedang aku selalu kau beri batasan. Mau sampai kapan aku menunggu?"

Rangga berdecak kesal sembari mengepulkan asap rokoknya ke udara.

"Itu tadi tak sengaja, bukan dari hatiku. Aku hampir jatuh beruntung dia menolongku," jawabku menenangkan Rangga.

"Apa lagi yang kamu inginkan? Dia sudah keluar dari perusahaan. Kamu tinggal menikah denganku, selesai persoalan."

"Kalau kau tak sabar menunggu, kau bisa mencari perempuan lain, Ngga. Tak masalah bagiku selagi kamu berstatus bebas."

Kuraih tas lalu bergegas keluar melewatinya.

Aku kesal berlama-lama dengan pria yang hanya kujadikan umpan ini. Bagiku Rangga tak lebih dari rekan bisnis dan janji-janji yang kuucapkan hanya sebatas janji sampai tujuanku tercapai.

Aku ingin segera mengetahui kabar terbaru dari Bima karena kejadian tadi siang. Seandainya saja tak ada panggilan darurat mungkin aku bisa menyaksikan drama yang mengasyikkan yang dialami Bima. Aku masih belum puas dengan keluarnya dia dari perusahaan, penderita yang dialaminya belum seberapa.

Beberapa jam yang lalu.

Kuparkirkan mobilku di depan butik langgananku. Aku mendapat kabar Bima ada di sana. Dari jauh dapat kulihat Bima tengah duduk dibangku panjang depan butik menunggu seseorang di dalam sana.

Begitu melihatku yang pura-pura tak melihat, dia berdiri menyapaku.

"Hallo Bu Ralin!"

Aku mendongak bersitatap dengan pemilik senyuman yang memabukkan itu.

"Heh, Pak Bima, ngapain di sini? Apa anda sekarang bekerja sebagai security toko ini?" candaku terkekeh geli.

"Saya belum mendapat pekerjaan baru, Bu. Sekarang mau fokus untuk masa depan dulu. Bagi saya rejeki Allah tak akan kemana, mungkin rejeki saya tak ada lagi di perusahaan itu."

Kata-katanya bermakna begitu dalam, rupanya lelaki ini seorang yang paham agama juga.

"Oh, begitu. Saya juga sangat menyayangkan anda yang keluar padahal potensi anda cukup bagus. Kalau begitu ngapain di sini?"

"Hmm, lagi fitting baju pengantin, Bu," jawabnya agak tersipu.

Raut bahagia tercetak jelas dari wajahnya. Sebaliknya aku malah kegerahan mendengar kabar bahagia Bima.

"Oh, ya! Selamat Pak Bima, semoga menjadi keluarga samawa." Aku mengulurkan tangan dan dengan sengaja menginjak sebuah batu di depanku hingga membuat keseimbanganku oleng.

"Bu Ralin!"

Secepat kilat Bima menangkap tubuhku hingga kami jatuh terguling bersama dengan posisi Bima di atasku.

"Astaga! Apa-apaan ini?" Bertepatan sebuah suara terdengar menggelegar dari arah pintu masuk toko.

"U-umi ... Aku hanya menolongnya yang hampir jatuh." Bima bergegas berdiri berusaha menggapai tangan wanita itu, namun segera ditepiskan olehnya.

"Ada apa, Umi?" Seorang wanita anggun berhijab putih juga ikut keluar dari toko mendekati mereka.

"Kita pulang, Annisa! Dia tak akan berubah sampai kapan pun akan tetap menjadi penggila wanita. Dia tak pantas untukmu," ujar perempuan parah baya itu dingin.

"Maaf umi, tapi betul aku hanya ingin menolong karena dia hampir jatuh," bela Bima pada perempuan paruh baya yang kuyakini adalah calon mertuanya.

"Kamu percayakan, Nissa? Kakak hanya menolongnya." Bima meminta pembelaan wanita bergamis lebar yang kuyakini adalah calon istrinya. "Pasangan yang sangat serasi, tampan dan cantik," bisikku memindai wanita tinggi berkulit kuning cerah itu.

"Sudahlah! Kau tak perlu banyak alasan lagi." Perempuan paruh baya itu meraih tangan putrinya.

"Kita ke dalam untuk membatalkan baju-baju tadi."

"Ta-tapi Umi. Kasih Kak Bima kesempatan untuk menjelaskan. Toh, kita belum menanyai Mbak itu." Perempuan itu menunjukku yang hanya mematung menyaksikan mereka.

"Bu Raline, betulkan kalau tadi Ibu hampir terjatuh lalu saya menolong Ibu?" Bima menatap padaku.

"Lihat! Mereka saling kenal. Sudah jelas Annisa dia belum berubah seperti katamu, masih tebar pesona padahal mau menikah," sungut perempuan paruh baya itu dengan wajah penuh bara.

Bunyi deringan ponsel dari tas kecil di bahuku mengalihkan perhatian mereka. Aku mengangguk pelan.

"Maaf, saya buru-buru ada keperluan penting di kantor." Aku berbalik arah menuju mobilku yang terparkir.

'Sial! Aku belum melihat drama selanjutnya gara-gara panggilan darurat ini'. Aku menggerutu dalam hati.

***

Rumah megah berpagar ukiran kuning keemasan masih sama dua tahun terakhir aku bertandang. Bukan tak sering Pak Lim menyuruh datang, tapi aku yang belum punya waktu luang.

Namun, kali ini istrinya, Nyonya Lim sendiri yang meminta.

Nyonya Lim menyambut kedatanganku sumringah begitu melihat aku turun dari mobil. Wanita berusia enam puluh tahun dan masih tampak segar itu menggandeng tanganku menelusuri lorong demi lorong rumah megahnya menuju dapur yang terletak di luar rumah paling belakang.

Nyonya Lim memang suka dapur yang menyatu dengan alam. Ia merancang sebuah taman di tepi kolam renang dengan membuat pondok-pondok kecil sebagai tempat makan lesehan.

"Kamu pasti heran Papa Lim memintamu datang, Bukan?" tanyanya sembari membuka pintu pagar pembatas rumah dan dapur.

"Kurasa karena masalah perusahaan, Nyonya," jawabku sekenanya.

Perempuan memakai kaos biru tua dipadu celana pendek di atas lutut itu tersenyum.

Bau daging bakar menyinggahi penciumanku. Aku kaget, rupanya sedang ada pesta barbeque di sana. Ada sepasang suami istri dan dua anak laki-lakinya yang masih bocah, Pak Lim tentunya dan yang sedang membakar daging itu ... Alex, putra bungsu Pak Lim, mantan murid Les privatku yang berusia lima tahun di bawahku.

"Alex, lihatlah siapa yang datang," seru Nyonya Lim.

"Duduk, Raline," ujar Pak Lim.

Aku mengangguk hormat pada Pak Lim dan Kak Moi, putri sulung dan suaminya.

Sementara Alex berjalan ke arah kami. Senyum manisnya terkembang menampakkan kedua cekungan di pipinya.

"Selamat datang, Raline." Alex menyambut tanganku yang telulur padanya. Ia tak berubah masih memanggilku menyebut nama.

"Harusnya aku yang mengucapkan selamat atas kelulusanmu. Hebat, sekarang sudah menjadi master chef hotel bintang lima."

Alex terkekeh. "Ah, kamu bisa saja. Silahkan nikmati pesta ini, ya. Aku mau ke pemanggangan lagi."

"Aku bantu, ya. Kebetulan aku belum lapar," ujarku seraya berdiri.

"Jangan Raline kamu tamu kami tentu harus dilayani dengan baik," cegah Nyonya Lim sambil menatap suaminya agar membantu melarangku.

"Biarkan saja, Ma. Alex butuh teman wanita yang menemaninya."

Aku tersipu dan salah tingkah sendiri, lebih baik kuhindari mereka sebab aku yakin pertanyaan yang sama akan selalu terlontar.

"Lin, kapan kamu menikah? Umurmu sudah cukup, Loh."

Pertanyaan yang basi, tapi selalu menyulut emosi jiwaku.

Aku menghampiri perapian yang penuh daging siap bakar. Kuambil kipas lalu mengibaskan pada bara api yang tengah menyala.

"Awas kalau gosong, Raline," ejek Kak Moi diiringi tawa yang lainnya.

Aku menatap Alex yang geleng-geleng kepala melihat kelakuan saudaranya yang suka sekali menggoda kami. Lelaki pendiam itu meneruskan pekerjaannya mengoles bumbu pada daging yang dibakar.

"Raline, apa kau tak lihat wajah adekku yang semakin ganteng itu?" Kembali Kak Moi berseloroh.

Kali ini Alex yang salah tingkah ketika aku menoleh padanya. Memang Alex terlihat lebih dewasa dan matang tentu saja dibalik wajah tampan khas oriental itu.

Setelah itu kami tak banyak bicara sampai sisa daging selesai. Aku mengangkut daging siap santap itu ke meja keluarga Pak Lim. Sedangkan Alex mematikan panggangan lalu menyusulku di belakang.

"Makanlah, Raline. Ini daging sapi halal, kok." Nyonya Lim meletakkan satu daging ke piring yang disediakan di depanku. Aku mengambil garpu dan pisau lalu memotong tepian daging yang tak terlalu panas.

"Lezat, Bukan? Tentu saja, Chef Alex yang masak." Kak Moi mencubit pinggang Alex. Lelaki berambut ikal tebal itu mengaduh sambil melirikku.

"Lin, bisa kita bicara sebentar sebelum kamu pulang?" tanya Pak Lim setelah acara makan malam pesta barbeque selesai.

Aku menyerngit mendengar permintaan Pak Lim yang menurutku tak biasa. Pak Lim hanya bicara padaku soal bisnis tak lebih.

Kak Moi beserta anak dan suaminya pamit meninggalkan kami.

"Kami sudah sangat mengenalmu dan mempercayai mu, Lin. Bahkan kami sudah menganggap mu anak angkat. Bolehkah kami meminta sesuatu?" tanya Nyonya Lim sembari menggenggam jemari lentikku.

Aku mengangguk menahan napas menunggu Pak Lim bicara.

Tbc...

Quotes

"Biarlah waktu yang akan membalas, tetaplah menjadi orang baik walaupun sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status