Share

part 4 Penasaran

Penulis: Silver Girl
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-09 16:23:44

**

"A-ayah ... "

Hening tak ada jawaban. Tapi helaan napas itu masih dapat kudengar walaupun lirih.

"Maaf, kalau Ralin tidak singgah, Yah sebab ada pekerjaan penting." Getir kuucapkan kata-kata itu. Aku tak tahu Ayah tahu kedatanganku darimana, yang jelas dari helaan napas itu beliau kecewa.

Laju kendaraan sepeda motor nyaring terdengar di seberang telepon pertanda beliau sedang ada di toko saat ini karena Toko bahan material bangunan milik kami terletak di tepi jalan raya. Toko itu sudah ada sejak dari nenek moyang yang diwariskan turun temurun. Tak kunjung bicara dan memang beliau tak akan bicara, aku pamit pada Ayah karena harus menghadiri rapat pagi ini.

"Maaf, Yah. Raline harus kerja dulu ... Assalamu'alaikum."

Ketika ponsel itu hendak kumasukkan ke dalam saku blazer, panggilan dari Anita memaksaku mengurungkan niatku.

"Hallo, Lin. Lagi kerja, ya? Sorry, loh."

"Lah, kamu kan tahu itu."

"Bentar, bentar aja. Ini kubagikan link berita hari ini ke I* kamu, ya."

Anita langsung mematikan panggilan sepihak. Aku sudah bisa menerka berita apa yang akan disampaikannya itu, tapi rasa penasaran memaksaku membuka link berita itu.

'Selegram Anastasia Richardo menggugat cerai suaminya Raditya Hendrawan atas kasus perselingkuhan.

Senyum terkembang di bibirku.

"Itu belum seberapa Hendrawan, tunggu kejutan selanjutnya," gumamku beranjak menuju ruang rapat.

Pov Bima

***

Kertas-kertas itu berserakan di atas meja tanpa tentu arah. Sebagian malah berserakan di lantai. Aku memijit kepala yang pusing sambil menatap kertas itu nanar.

Aku tak yakin tugas pertama yang sudah kuancang dengan sangat rapi bisa gagal. Semua setuju dengan proposal yang telah kuajukan, tapi mengapa rencana target pemasaran itu malah didahului perusahaan lain membuat perusahaan kehilangan tender dan mengalami kerugian besar.

"Permis Pak Bima! Anda sudah ditunggu di ruang Bu Direktur."

Lisa--sekretarisku muncul dari balik pintu.

Aku menarik napas panjang, satu lagi masalah harus kuhadapi yaitu meyakinkannya bahwa aku tak bersalah dalam hal ini.

Bu Direktur itu sangat dingin menanggapiku saat rapat tadi. Perdebatan yang cukup alot menyudutkanku saat rapat tadi.

Sudah pasti sikapnya akan tetap sama saat aku menghadapnya nanti.

Entah kenapa aku merasa seolah ada sesuatu yang disembunyikan wanita berambut ikal sebahu itu. Dibalik kelembutan sikapnya, kecantikannya dan ketegasan sikapnya tersimpan sebuah misteri bagiku.

Aku rasa mengenal perempuan itu, tepatnya bola mata serta tatapan itu. Akan tetapi entah dimana, aku sendiri lupa.

Kuhembuskan napas berkali-kali saat berada di depan ruangannya kali ini.

"Permisi, Bu Ralin, boleh saya masuk?" Direktur wanita berkulit putih bak pualam itu memutar kursi kerjanya. Seulas senyum tipis menghiasi bingkai merah maroon miliknya.

"Silahkan!"

Aku duduk di depannya, mencoba bersitatap dengan ke dua bola mata yang dihiasi soflens berwarna biru itu.

"Saya tak ingin berlama-lama, cuma mau memberi surat peringatan pertama dari Pak Lim. Saya harap kerja anda tak mengecewakan dan merugikan perusahaan lagi."

Wanita langsing itu berdiri seraya meletakkan sebuah kertas dihadapanku lalu melangkah meninggalkanku. Aku menarik napas lega karena aku masih diberi kesempatan untuk bekerja lebih baik.

***

"Nak Bima, bagaimana persiapan lamarannya?" tanya Haji Sobari, ayah Annisa--kekasihku sore itu saat aku berkunjung.

Padahal aku ingin menyampaikan penundaan acara karena aku harus fokus pada pekerjaanku dulu.

"Su-sudah 90%, Abi."

"Syukurlah. Tunggu Abi panggilkan Annisa," ujar beliau seraya berteriak memanggil nama putrinya.

Tak lama gadis berkerudung kuning serta gamis senada keluar dari ruangan lain.

Aku dan Annisa sudah menjalin hubungan sekitar dua tahun lalu dan kami berencana menikah akir bulan ini. Gadis manis itu tersenyum seraya duduk di depanku sementara ayahnya pamit masuk.

"Kakak sehat? Kok keliatan kusut begitu?" tanya Annisa menelisik.

"Entahlah, Nisa. Kakak punya masalah di kantor, makanya kakak datang kemari untuk memberi tahu, tapi Abi sudah menanyakan persiapan. Terpaksa kakak bilang sudah hampir selesai. Padahal Kakak pusing sekali. Kamu bisa ngomong ke Abi untuk menunda lamaran kita?" Wajah Annisa berubah, terkesiap.

"Aku pun tak menginginkan hal ini, malah aku ingin cepat menikah di usiaku yang sangat matang ini."

Annisa tersenyum menenangkan.

"Nisa usahakan, Kak. Cuma Kakak tahu bagaimana Umi, Bukan? Semoga semua baik-baik saja." Annisa mendoakan keadaan kami.

Umi Annisa kurang menyukaiku, dia berpikir aku bukan lelaki baik karena banyak wanita mengidolakanku. Ah, itu dulu. Jaman keemasanku telah berlalu. Sekarang aku serius untuk berumah tangga dan Annisa jadi pilihan terakhirku. Wanita lembut dan keibuan yang membuat ku damai bila bersamanya.

"Ehem! Nggak usah berlama-lama bicara, kalian bukan muhrim. Malu dilihat tetangga." Umi muncul sembari membawa nampan berisi minuman. Wajahnya masih datar tanpa expresi.

"Baik, Umi. Saya akan pamit sekarang."

"Diminum dulu, sayang airnya sudah terlanjur dibikin," ujar Umi meletakkan nampan berisi teh itu di atas meja.

"Saya cuma mau mengingatkan agar jangan membuat malu keluarga kami." Setelah bicara begitu Umi berbalik badan menyibak gorden penghalang ruangan.

Segera kuteguk teh yang tak terlalu panas dari cangkir putih itu. Tenggorokanku tercekat, seolah ada debu yang singgah di sana.

"Maafkan umi, Kak. Nisa yakin seiring waktu beliau akan percaya pada kakak."

Aku mengangguk mengiyakan Annisa.

"Kakak pulang, Nisa. Kakak harap Nisa bisa mengusahakannya, tapi kalau tidak mau gimana lagi," ucapku pasrah.

***

"Tapi, Bu ... "

"Saya sudah diberi mandat oleh Pak Lim dan saya tinggal menjalankan. Anda sudah lihat bagaimana saya tadi berusaha mempertahanka anda? Namun, keputusan Pak Lim tak bisa diganggu gugat. Anda akan di rumahkan untuk sementara waktu sampai keputusan diambil pimpinan pusat."

Bu Ralin meninggalkanku yang terpaku di ruang rapat.

Hanya dalam kurun beberapa hari saja karirku melesat turun layaknya roller coaster.

Lagi, kesalahan kedua aku lakukan hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Aku tak habis pikir padahal aku bekerja sesuai jalur yang benar. Siapa yang bermain di belakang semua ini?

Aku berusaha mengingat-ingat rentetan memori dua minggu belakangan. Tak ada yang aneh, aku pun merasa tak punya musuh dalam pekerjaan ku. Siapa yang aku curigai sekarang? Aku mengacak rambut frustasi padahal sabtu depan aku dan Annisa akan melakukan fitting baju pengantin, sedang aku tak bekerja lagi, bagaimana kalau Annisa dan keluarganya tahu?

"Mas belum pulang?" Pak Sigit, rekan kerjaku melintasi ruang rapat. Ia hanya menyandarkan tubuh pintu tidak berniat masuk.

"Iya, Pak sebentar lagi."

Aku masih enggan meninggalkan perusahaan ini walau aku baru menjabat di sini.

"Kau belum istirahat?" tanyaku berharap dia mau masuk.

"Sebentar lagi. Coba Mas temui Bu Raline, bukankah beliau pemegang tertinggi tampuk perusahaan? Tentu dia tahu penyebab gagalnya rencana Mas. Atau jangan-jangan ada campur tangan orang ketiga dengan semua masalah ini?" Ucapan Pak Sigit membuatku tersadar, hanya Bu Raline mengetahui secara detail rancangan yang telah kubuat.

"Betul juga, ya. Tapi untuk apa dia melakukan hal yang merugikan perusahaan?" tanyaku balik.

"Kita tak tahu hati orang, Mas. Saya cuma menyayangkan saja Mas berhenti secepat ini." Aku mengangguk ketika Pak Sigit pamit.

"Bu Ralin? Kenapa perempuan itu penuh misteri? Kalau betul ia yang melakukan semua ini, untuk apa?"

Tbc...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Dari Masa Lalu   part 36 hancur

    **RALINEBukan hanya tubuhku yang sakit, tapi hatiku hancur berkeping-keping. Dua jam sudah aku berendam, meratap di dalam air bathup yang dingin hingga jari tangan dan kakiku keriput. Kubiarkan air keran itu hidup hingga meluber ke lantai kamar mandi walau terdengar sekilas bunyi dering ponsel yang tertelan bunyi keran yang mengalir. Dadaku semakin sesak mengingat kejadian yang menimpaku. Semakin berusaha kulupakan semakin berat napas melewati tenggorokan hingga kesulitan bernapas dan air mata kembali membanjir seiring air yang meluber dari bathup yang melimpah. Apa nanti yang akan kukatakan pada Bima mengenai istrinya yang sudah dua kali dilecehkan Dion dan kali ini lebih parah apalagi statusku adalah istri Bima tapi Dion ikut mencicipi tubuhku. Kembali air mata yang mengambang di pelupuk mataku. Kupukul tubuhku dengan perasaan jijik sambil berteriak. "Awas kau Dion! Aku akan membalas semua perbuatanmu! Tunggu Dion! Tunggu!"Merasa puas meluapkan semua perasaan, perlahan aku ban

  • Suami Dari Masa Lalu   part 35 dion

    DionMalas, begitu Bos menyuruhku untuk tugas ke Surabaya lagi. Aku sudah terlalu nyaman hidup di Jakarta yang glamor. Tapi, karena tak ada yang kenal wilayah Surabaya sepertiku, jadilah aku berada di sini sekarang. Bertemu dengan masa lalu dan teman-teman sekolah termasuk Bima. Pria gagah itu semakin matang saja, tapi sayang masih lajang. Aku menertawakannya dalam hati, apa beda dengan diriku?Aku sudah mulai menaruh rasa iri pada Bima sejak sekolah menengah atas. Mulai dari cewek-cewek yang mengidolakannya, prestasi yang bagus dan sejumlah keberuntungan yang pantas menumbuhkan rasa iri. "Dia dipecat dari perusahaannya di Jakarta.""Pernikahannya gagal.""Sekarang bekerja di toko bangunan."Berseliweran berita tentang Bima yang singgah di telingaku saat kumpul dengan para alumni dan aku tersenyum puas. Akhirnya Bima mendapatkan hal buruk juga, jangan selalu keberuntungan terus yang berpihak padanya. Ketika itu aku menunggu pelangganku di sebuah kafe aku melihat Anita, tetanggaku s

  • Suami Dari Masa Lalu   part 34 kena batu

    **RALINEBau peralatan sembahyang keluarga Pak Lim menguar dari bilik rawat itu. Rupanya Nyonya Lim sedang sembayang. Aku menunggu sampai perempuan paruh baya itu selesai. "Raline? Kapan kamu sampai? Ayo, masuk." Kak Moi mendapatiku berdiri menyandar tiang penyangga. "Baru sampai kok, Kak. Nyonya lagi sembahyang, saya tak ingin mengganggu," jawabku keberatan. "Nggak, apa. Ayo!" Kak Moi meraih tanganku memasuki ruang inap. Nyonya Lim melirik lalu menghentikan kegiatannya. Perempuan paruh baya itu menatapku dengan berkaca-kaca, segera dirangkulnya diriku dan menangis dipelukanmuku cukup lama. "Kami senang kamu datang, Lin. Mudah-mudahan Bapak segera sadar."Nyonya Lim menuntun tanganku mendekati ranjang Pak Lim yang banyak selang. Kepala dan kaki lelaki paruh baya itu diperban. Aku melirik monitor yang bergerak lambat. "Pah, ini Raline sudah datang! Bangunlah," ucap Nyonya Lim menutup mulutnya menahan tangis. Tetiba ruangan itu begitu sunyi yang terdengar hanyalah bunyi monitor.

  • Suami Dari Masa Lalu   part 33 tak ada yang kebetulan

    *RalineKandungan ini begitu kuat, segala cara telah kucoba. Memakan buah nanas muda dan terakhir adalah minum jamu buatan Mbok Jum, tetangga komplek ini yang berjualan jamu di pasar. Sore itu sepulang kerja, Lidia memanggilku. "Lin! Sudah lama tak singgah, mampir dulu," ajak Lidia di balik pagarnya.Aku yang bawaannya malas terpaksa mengiyakan, tak enak dia seperti sengaja menungguku. Kebetulan Bima belum pulang juga. "Bagaimana dengan Dion? Apa hubungan kalian berjalan dengan lancar?" tanya Lidia menyelidik. Aku mengedikkan bahu. "Ya, begitulah. Ada apa memanggilku?"tanyaku tak ingin berlama-lama di sini sebab Perutku serasa diaduk-aduk ketika menci*um aroma farfum Lidia yang menyengat. "Kamu kenapa? Kok menutup mulut?" tatap Lidia heran, tapi kemudian dia tersenyum. "Hayo, kamu hamil ya? Persis seperti aku waktu itu. Mencium bau apa saja mual. Tapi aku nggak pengen, kubuang aja."Hatiku tergelitik mendengar cerita Lidia. "Kamu buang pake apa?" Aku tak berani menatapnya ta

  • Suami Dari Masa Lalu   part 32 Bersalah

    **Pov Bima"Hendra sudah cerita semuanya dan aku meradang." Mama Hendra menatap tajam ke dalam bola mataku. "Aku ingin melaporkan istrimu itu atas tuduhan penyalahgunaan undang-undanh ITE. Mana dia? Pasti sekarang ia takutkan?" Mama Hendra melirik pintu kamar.Aku hanya diam tak melakukan pembelaan terhadap Raline, aku ingin ia dapat pelajaran dari kejadian ini. Akan tetapi mengingat ia sedang hamil memaksaku ikut bicara. "Maafkan, Raline, Bu. Apa kita tak bisa menempuh jalan damai?" Mama Hendra mendesah, sedikit membenahi posisi duduknya. Sesekali ia melirik ke pintu kamar yang tertutup. "Bim, kamu tahu keadaan Hendra, Bukan? Sudah kemana-mana aku membawanya berobat. Kalau biaya sudah tak terkatakan ... " Mama Hendra menjeda ucapannya. Sebutir air mata jatuh menimpa pipinya yang keriput. Hatiku ikut pedih mendengarnya. Hendra telah kehilangan Ayahnya sejak duduk dibangku esempe, hanya Mamanya yang berjuang untuk hidup mereka dan sekarang Mama Hendra sudah pensiun, mereka hanya

  • Suami Dari Masa Lalu   part 31 Terbongkar

    **Pov Bima"Raline!" Aku menghentikan pemilik gocar yang mendorong Raline. "Terus jalan, Pak!" pukas Raline. Aku menahan laju kursi roda itu. "Kamu mau apa? Urus saja selingkuhanmu itu," ucap Raline dengan tatapan entah. Ada sebening kaca di sudut matanya tapi kemarahan juga bergelayut di mata itu. "Cemburu, kah ia?""Dia karyawanku yang mengalami kecelakaan kerja," jawabku menghalau kecurigaan Raline. "Bagus! Lebih penting karyawan daripada istri sendiri, ya?""Istri? Loh, kamu sendiri yang bilang kita hidup sendiri-sendiri, Bukan?"Raline diam, tapi kaca di sudut mata menetes, buru-buru disekanya dan menyuruh Bapak itu untuk melanjutkan jalannya kursi roda. 'Astaghfirullah, apa yang telah kukatakan dalam keadaan Raline yang sedang sakit itu.'Aku lekas menggantikan Bapak gocar itu setelah membayar ongkos gocar-nya. Semoga Maya tak mengapa menungguku.Lekas kudorong kursi menuju ruang UGD ketika kuperhatikan sekilas wajah Raline yang pucat pasi.Sesampainya di pintu ugd, seoran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status