Share

part 4 Penasaran

**

"A-ayah ... "

Hening tak ada jawaban. Tapi helaan napas itu masih dapat kudengar walaupun lirih.

"Maaf, kalau Ralin tidak singgah, Yah sebab ada pekerjaan penting." Getir kuucapkan kata-kata itu. Aku tak tahu Ayah tahu kedatanganku darimana, yang jelas dari helaan napas itu beliau kecewa.

Laju kendaraan sepeda motor nyaring terdengar di seberang telepon pertanda beliau sedang ada di toko saat ini karena Toko bahan material bangunan milik kami terletak di tepi jalan raya. Toko itu sudah ada sejak dari nenek moyang yang diwariskan turun temurun. Tak kunjung bicara dan memang beliau tak akan bicara, aku pamit pada Ayah karena harus menghadiri rapat pagi ini.

"Maaf, Yah. Raline harus kerja dulu ... Assalamu'alaikum."

Ketika ponsel itu hendak kumasukkan ke dalam saku blazer, panggilan dari Anita memaksaku mengurungkan niatku.

"Hallo, Lin. Lagi kerja, ya? Sorry, loh."

"Lah, kamu kan tahu itu."

"Bentar, bentar aja. Ini kubagikan link berita hari ini ke I* kamu, ya."

Anita langsung mematikan panggilan sepihak. Aku sudah bisa menerka berita apa yang akan disampaikannya itu, tapi rasa penasaran memaksaku membuka link berita itu.

'Selegram Anastasia Richardo menggugat cerai suaminya Raditya Hendrawan atas kasus perselingkuhan.

Senyum terkembang di bibirku.

"Itu belum seberapa Hendrawan, tunggu kejutan selanjutnya," gumamku beranjak menuju ruang rapat.

Pov Bima

***

Kertas-kertas itu berserakan di atas meja tanpa tentu arah. Sebagian malah berserakan di lantai. Aku memijit kepala yang pusing sambil menatap kertas itu nanar.

Aku tak yakin tugas pertama yang sudah kuancang dengan sangat rapi bisa gagal. Semua setuju dengan proposal yang telah kuajukan, tapi mengapa rencana target pemasaran itu malah didahului perusahaan lain membuat perusahaan kehilangan tender dan mengalami kerugian besar.

"Permis Pak Bima! Anda sudah ditunggu di ruang Bu Direktur."

Lisa--sekretarisku muncul dari balik pintu.

Aku menarik napas panjang, satu lagi masalah harus kuhadapi yaitu meyakinkannya bahwa aku tak bersalah dalam hal ini.

Bu Direktur itu sangat dingin menanggapiku saat rapat tadi. Perdebatan yang cukup alot menyudutkanku saat rapat tadi.

Sudah pasti sikapnya akan tetap sama saat aku menghadapnya nanti.

Entah kenapa aku merasa seolah ada sesuatu yang disembunyikan wanita berambut ikal sebahu itu. Dibalik kelembutan sikapnya, kecantikannya dan ketegasan sikapnya tersimpan sebuah misteri bagiku.

Aku rasa mengenal perempuan itu, tepatnya bola mata serta tatapan itu. Akan tetapi entah dimana, aku sendiri lupa.

Kuhembuskan napas berkali-kali saat berada di depan ruangannya kali ini.

"Permisi, Bu Ralin, boleh saya masuk?" Direktur wanita berkulit putih bak pualam itu memutar kursi kerjanya. Seulas senyum tipis menghiasi bingkai merah maroon miliknya.

"Silahkan!"

Aku duduk di depannya, mencoba bersitatap dengan ke dua bola mata yang dihiasi soflens berwarna biru itu.

"Saya tak ingin berlama-lama, cuma mau memberi surat peringatan pertama dari Pak Lim. Saya harap kerja anda tak mengecewakan dan merugikan perusahaan lagi."

Wanita langsing itu berdiri seraya meletakkan sebuah kertas dihadapanku lalu melangkah meninggalkanku. Aku menarik napas lega karena aku masih diberi kesempatan untuk bekerja lebih baik.

***

"Nak Bima, bagaimana persiapan lamarannya?" tanya Haji Sobari, ayah Annisa--kekasihku sore itu saat aku berkunjung.

Padahal aku ingin menyampaikan penundaan acara karena aku harus fokus pada pekerjaanku dulu.

"Su-sudah 90%, Abi."

"Syukurlah. Tunggu Abi panggilkan Annisa," ujar beliau seraya berteriak memanggil nama putrinya.

Tak lama gadis berkerudung kuning serta gamis senada keluar dari ruangan lain.

Aku dan Annisa sudah menjalin hubungan sekitar dua tahun lalu dan kami berencana menikah akir bulan ini. Gadis manis itu tersenyum seraya duduk di depanku sementara ayahnya pamit masuk.

"Kakak sehat? Kok keliatan kusut begitu?" tanya Annisa menelisik.

"Entahlah, Nisa. Kakak punya masalah di kantor, makanya kakak datang kemari untuk memberi tahu, tapi Abi sudah menanyakan persiapan. Terpaksa kakak bilang sudah hampir selesai. Padahal Kakak pusing sekali. Kamu bisa ngomong ke Abi untuk menunda lamaran kita?" Wajah Annisa berubah, terkesiap.

"Aku pun tak menginginkan hal ini, malah aku ingin cepat menikah di usiaku yang sangat matang ini."

Annisa tersenyum menenangkan.

"Nisa usahakan, Kak. Cuma Kakak tahu bagaimana Umi, Bukan? Semoga semua baik-baik saja." Annisa mendoakan keadaan kami.

Umi Annisa kurang menyukaiku, dia berpikir aku bukan lelaki baik karena banyak wanita mengidolakanku. Ah, itu dulu. Jaman keemasanku telah berlalu. Sekarang aku serius untuk berumah tangga dan Annisa jadi pilihan terakhirku. Wanita lembut dan keibuan yang membuat ku damai bila bersamanya.

"Ehem! Nggak usah berlama-lama bicara, kalian bukan muhrim. Malu dilihat tetangga." Umi muncul sembari membawa nampan berisi minuman. Wajahnya masih datar tanpa expresi.

"Baik, Umi. Saya akan pamit sekarang."

"Diminum dulu, sayang airnya sudah terlanjur dibikin," ujar Umi meletakkan nampan berisi teh itu di atas meja.

"Saya cuma mau mengingatkan agar jangan membuat malu keluarga kami." Setelah bicara begitu Umi berbalik badan menyibak gorden penghalang ruangan.

Segera kuteguk teh yang tak terlalu panas dari cangkir putih itu. Tenggorokanku tercekat, seolah ada debu yang singgah di sana.

"Maafkan umi, Kak. Nisa yakin seiring waktu beliau akan percaya pada kakak."

Aku mengangguk mengiyakan Annisa.

"Kakak pulang, Nisa. Kakak harap Nisa bisa mengusahakannya, tapi kalau tidak mau gimana lagi," ucapku pasrah.

***

"Tapi, Bu ... "

"Saya sudah diberi mandat oleh Pak Lim dan saya tinggal menjalankan. Anda sudah lihat bagaimana saya tadi berusaha mempertahanka anda? Namun, keputusan Pak Lim tak bisa diganggu gugat. Anda akan di rumahkan untuk sementara waktu sampai keputusan diambil pimpinan pusat."

Bu Ralin meninggalkanku yang terpaku di ruang rapat.

Hanya dalam kurun beberapa hari saja karirku melesat turun layaknya roller coaster.

Lagi, kesalahan kedua aku lakukan hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Aku tak habis pikir padahal aku bekerja sesuai jalur yang benar. Siapa yang bermain di belakang semua ini?

Aku berusaha mengingat-ingat rentetan memori dua minggu belakangan. Tak ada yang aneh, aku pun merasa tak punya musuh dalam pekerjaan ku. Siapa yang aku curigai sekarang? Aku mengacak rambut frustasi padahal sabtu depan aku dan Annisa akan melakukan fitting baju pengantin, sedang aku tak bekerja lagi, bagaimana kalau Annisa dan keluarganya tahu?

"Mas belum pulang?" Pak Sigit, rekan kerjaku melintasi ruang rapat. Ia hanya menyandarkan tubuh pintu tidak berniat masuk.

"Iya, Pak sebentar lagi."

Aku masih enggan meninggalkan perusahaan ini walau aku baru menjabat di sini.

"Kau belum istirahat?" tanyaku berharap dia mau masuk.

"Sebentar lagi. Coba Mas temui Bu Raline, bukankah beliau pemegang tertinggi tampuk perusahaan? Tentu dia tahu penyebab gagalnya rencana Mas. Atau jangan-jangan ada campur tangan orang ketiga dengan semua masalah ini?" Ucapan Pak Sigit membuatku tersadar, hanya Bu Raline mengetahui secara detail rancangan yang telah kubuat.

"Betul juga, ya. Tapi untuk apa dia melakukan hal yang merugikan perusahaan?" tanyaku balik.

"Kita tak tahu hati orang, Mas. Saya cuma menyayangkan saja Mas berhenti secepat ini." Aku mengangguk ketika Pak Sigit pamit.

"Bu Ralin? Kenapa perempuan itu penuh misteri? Kalau betul ia yang melakukan semua ini, untuk apa?"

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status