Share

Kafka Si Dosen Ganteng

Nadia sedikit terperanjat karena kehadiran Amira yang tanpa terduga, dielusnya dada. "Itu loh, pacarnya dosen ganteng.

"Hah, wanita itu mau sogok kamu, itu maksudnya?" Rasa penasaran Amira di mode maksimal.

"Iya. Begitu ya orang selingkuh karena takut ketahuan jadinya ngogok!" kesal Nadia.

Amira memegangi dagunya seiring mencetuskan kesimpulan hasil dari pengolahan pemikirannya, "Kalau wanita itu sogok kamu karena takut ketahuan, itu artinya kalian saling kenal dong!" Segera, tangannya menangkup mulut yang menganga.

"Tidak, saya sama wanita itu tidak saling kenal sama sekali, tapi saya kenal sama pacar aslinya," jelas Nadia seadanya.

Amira semakin mengangkup mulutnya, kali ini menggunakan kedua telapak tangan. "Oh my god, Nadia ... kenapa tidak kamu adukan wanita itu, kan kasihan pacarnya."

"Tidak ah, bukan urusan saya." Datar Nadia.

"Ish. gadis ini ... masa membiarkan dosa mengalir. Wkwk." Amira sudah lebih relax dibandingkan menit-menit ke belakang.

"Itu kan bukan dosa saya, tapi dosa wanita itu atau mungkin pacarnya juga berdosa karena bisa saja wanita selingkuh karena kesalahan pria." Dengan cepat Nadia berprasangka pada Abimana-pria dingin nan menyebalkan di matanya. 

"Atau pacarnya kurang ganteng, lebih ganteng dosen kita," terka Amira seiring mesem-mesem karena mengagumi ketampanan salah satu aset istimewa kampus.

Nadia segera membandingkan ketampanan Abimana dan dosen ganteng di sini. "Lebih ganteng Abimana sih," ceplosnya.

"Oh ... jadi namanya Abimana, nama yang gagah, pasti pria itu juga gagah!" kagum Amira bahkan sebelum melihat bentukan si pria.

Nadia menghembus udara tipis. "Sudah, jangan pikirkan Abimana karena walau dia tampak sempurna, tapi sebenarnya tidak!" omelannya karena sikap dingin si pria hampir membuat denyut jantungnya berhenti.

Beberapa jam berlalu dengan mudah untuk Nadia, tapi setelah kuliah si dosen ganteng menghampiri. "Saya menerima titipan dari Tania, kamu mengenalnya kan. Tolong diterima." Sebuah paper bag berukuran cukup besar disodorkan ke arah Nadia oleh si pria bernama Kafka bersama senyuman menawan yang tampak sangat memesona nan rupawan yang akan membuat para gadis di kampus berteriak histeris.

Namun, lain halnya dengan Nadia, gadis ini bersikap datar walau mengakui ketampanan Kafka. "Iya, saya mengenalnya tadi pagi, tapi maaf, saya tidak bisa menerima ini karena nenek bilang jangan menerima apapun dari orang asing."

"Loh, Tania kan bukan orang asing, kalian sudah saling mengenal." Kafka memaksa dengan lembut.

Nadia menggeleng. "Kami hanya mengenal sebatas itu bukan mengenal lama seperti dengan sahabat saya Amira. Jadi ... pacar bapak itu orang asing bagi saya," tutur lembut Nadia menggunakan kepolosannya yang detik ini sangat berguna.

Kafka tersenyum kecil bahkan senyum itu tampak sangat menawan walau setipis jaring laba-laba. "Baiklah, saya tidak akan memaksa kalau kamu tidak mau menerima pemberian dari Tania, tapi ... setidaknya hargai uasaha Tania, dia memilihkan benda ini dengan sangat hati-hati karena dia memerhatikan kuliatas dan kenyaman saat disentuh atau dipeluk."

"Heuh!" Nadia kebingungan dengan topik pembahasan sang dosen, hingga rasa penesaran tertarik keluar, "memangnya apa benda itu?"

Kafka tersenyum senang karena akhirnya berhasil mendapatkan hati Nadia, segera benda dalam paper bag dikeluarkan. "Bagaimana, kamu suka kan sama boneka beruangnya?" Senyuman lebar dipasang.

Nadia terpanah melihat boneka menggemaskan itu, tapi segera rasa sendu menyerang. Dulu ... Nadia punya banyak boneka beruang pemberian papa, tapi hutang papa sekalian membawa bonekanya juga. Batin gadis ini menangis.

Kafka mencoba mengintip wajah Nadia yang menunduk perlahan. "Ada apa, kenapa tampak sedih?" pedulinya sebagaimana seorang dosen pada mahasiwi.

Nadia terisak, "Bapak jangan menunjukan boneka beruang itu ... karena Nadia jadi sedih ...." Air matanya turun bukan main-main dan ini sama sekali bukan akting.

Kafka segera dibuat panik dan kalang kabut menghadapi sikap Nadia, "Saya mohon maaf karena saya tidak tahu jika boneka beruang akan membuat kamu menangis." Segera, boneka itu kembali ke dalam paper bag, kemudian Kafka mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, "lap air mata kamu, sekali lagi saya mohon maaf."

Nadia menerima selembar sapu tangan yang sangat wangi, sangat terlihat jelas jika Kafka adalah pecinta kebersihan. "Terimakasih," ucap sendunya kala mengembalikan sapu tangan.

"Baiklah, tidak apa, saya akan mengembalikan bonekanya pada Tania. Ngomong-ngomong, kamu baik-baik saja, kamu bisa pulang sendiri?" khawatir Kafka sebagaimana tenaga pengajar pada muridnya. Apalagi Nadia menangis karenanya. 

"Bisa, kalau begitu saya permisi." Nadia masih terisak hingga Kafka tidak tega membiarkan si gadis berjalan seorang diri. Dia mengantar Nadia hingga keluar gerbang universitas.

Segera, tatapan elang Abimana membidik Nadia dan si pria, bibirnya menyungging tipis. "Ada apa sama anak itu, apa dia baru saja putus cinta, matanya sampai sembab?" Pria ini ingin menertawakan, tapi prihatin, kemudian mencaci si pria, "dasar bad man, bisa-bisanya dia menyakiti anak kecil!"

Dengan postur tubuh gagahnya, Abimana menghampiri kedua orang yang berada dalam jarak pandangnya.

Segera, kedua mata memesona Kafka membelalak. "Sial, itu Abimana!" langkah pria ini terhenti seketika seiring salah tingkah, tapi ternyata pria yang dia takuti menemui Nadia.

"Ada apa. kenapa kamu menangis, apa hari ini kuliahnya mengecewakan?" Tawa kecil Abimana.

Seketika Nadia menggerutu, "Dasar iblis, dia tertawa di atas penderitaan saya, dia suka melihat saya menderita. Huft!"

"Ada apa ...?" ulang Abimana, kali ini dengan lembut dan tanpa tawa.

Kafka menggunakan kesempatan ini untuk kabur, lagi pula sejak awal Nadia tidak menyadari jika dirinya dibuntuti. Maka, kala Abimana melirik tempat si pria, dirinya kebingungan karena sosok itu menghilang. Segera, dirinya menginterograsi Nadia, "Apa kamu dapat pelecehan?"

Seketika wajah Nadia terangkat. "Hah, tidak kok!"

Abimana memasukan satu tangannya ke dalam saku celana hingga tampak sangat keren, tapi ekspresinya tetap dingin. "Baguslah, karena saya tidak mau bergaul dengan perempuan kotor!" Kalimat itu sangat kentara, hingga Nadia ingin mencaci sekaligus mengatakan jika kekasih Abimana sangat kotor!

"Ada apa kamu kesini lagi?" ketus Nadia dengan wajah terangkat kesal.

"Papa menyuruh saya lagi menjemput kamu," ungkap Abimana yang tampak sangat keberatan, kemudian memegangi pelipisnya, "iya ampun, ini sangat meropotkan!"

"Ish, kalau merepotkan iya tolak saja, lagipula saya tidak berharap dijemput kok!" protes Nadia.

"Kalau ditolak, papa akan menganggap saya tidak berbakti padahal selama ini saya adalah anak baik dengan prestasi membanggakan, saya tidak mau karena satu perintah papa tidak dituruti akhirnya menjadi anak durhaka," tutur panjang lebar Abimana yang sebenarnya sedang membanggakan diri.

"Kamu sudah bukan anak kecil, kamu sudah tua walau baby face!" rutuk Nadia saat berkata blak-blakan tentang Abimana. 

"Apa, tua!?" Abimana segera menggelengkan kepalanya, "usia saya sejajar dengan pacar kamu yang brengsek!" Maksudnya adalah Kafka.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status