Share

Bab 2

last update Last Updated: 2024-12-10 16:44:03

Malam itu, setelah perdebatan kecil dengan suaminya, Saira tidak lagi melihat Cakra. Pria itu pergi begitu saja, tanpa memedulikan perasaannya.

Pagi tiba, namun Cakra belum juga menampakkan dirinya. Bi Surti, yang sedang membantu di dapur, memberi tahu Saira bahwa suaminya baru pulang menjelang subuh.

“Subuh?” Saira mengulang dengan nada terkejut. Bi Surti mengangguk cepat.

“Kata sopir, Pak Cakra semalam ke bandara, nyetir sendiri, Bu,” ujar Bi Surti pelan.

Tangan Saira yang sedang menata piring terhenti. Ia tahu betul karakter suaminya. Cakra tidak akan repot-repot pergi ke bandara jika bukan untuk seseorang yang sangat penting baginya. Bahkan, perhatian seperti itu tak pernah diberikan kepada dirinya.

Lalu, siapa yang dijemput Cakra semalam? Pikiran itu membuat hatinya resah.

“Mungkin Sandrina? Kan dia libur semester bulan ini?” gumam Saira, mencoba berpikir logis. Sandrina adalah adik perempuan Cakra, yang kuliah di Bali dan hanya pulang ke Jogja sesekali.

Namun, Bi Surti menggeleng. Jawaban berikutnya semakin membuat Saira tidak tenang. “Mbak Sandrina sudah pulang dua hari lalu, Bu. Saya dan sopir yang jemput.”

Meski rasa penasaran menggerogoti, Saira memilih menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia mengalihkan pembicaraan dengan membahas persediaan dapur yang perlu dibeli. Setelah Bi Surti pamit pergi ke pasar, Saira melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Tidak lama kemudian, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Cakra muncul dengan setelan jas hitam yang rapi. Seperti biasa, wajahnya dingin dan datar.

Tanpa banyak kata, mereka sarapan bersama. Saira mempersiapkan makanannya sendiri, begitu juga dengan Cakra. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya keheningan yang terasa semakin berat.

Hingga tiba-tiba, bel rumah berbunyi tiga kali. Saira berdiri dan berjalan menuju pintu. Di sana berdiri seorang wanita bertubuh sintal dengan pakaian bermotif bunga berwarna merah muda. Di sampingnya, seorang anak kecil berseragam TK swasta yang terkenal mahal di Jogja.

“Maaf, Mbak, saya Indira. Saya mau ketemu Cakra,” ucap wanita itu tanpa basa-basi.

Saira mengamati wajah wanita asing itu dengan saksama. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya. “Ada keperluan apa dengan suami saya?” tanyanya, suaranya terdengar tenang meski hatinya gelisah.

Ekspresi Indira berubah. Senyumnya memudar saat mendengar Saira menyebut dirinya istri Cakra. Ia tampak menelan ludah sebelum menjawab dengan gugup. “Su… suami?”

“Ya, saya istrinya Cakra. Ada yang bisa saya bantu?” ulang Saira, lebih tegas.

Indira terlihat semakin kikuk. “Um, saya tinggal di rumah nomor 55. Kemarin Cakra membantu saya mencari rumah. Ini ada sedikit makanan sebagai ucapan terima kasih,” katanya sambil menyerahkan tote bag biru kepada Saira.

Saira menerima tas itu dengan sikap dingin. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah wanita ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi semalam?

“Terima kasih. Tapi seharusnya tidak perlu repot seperti ini,” ucap Saira singkat.

Indira mengangguk. “Pagi ini mobil saya masih di bengkel, jadi saya sekalian mau minta tolong Cakra untuk mengantar anak saya ke sekolah. Semalam dia bilang kantornya searah.”

Genggaman tangan Saira pada tali tas mengeras. Jika hanya hubungan biasa, Indira tidak mungkin berani meminta bantuan seperti ini, bukan? Terlebih, ia sudah mengatakan dirinya adalah istri Cakra.

“Maaf, Cakra sudah berangkat ke kantor,” jawab Saira dengan nada dingin, berharap itu cukup menutup percakapan.

Namun, Indira justru terlihat tidak menyerah. “Tapi, Cakra bilang dia berangkat agak siang hari ini,” balasnya.

“Mungkin Mbak bisa pakai taksi online?” Saira menawarkan alternatif, mencoba menahan emosi.

“Saya baru pindah ke Indonesia dan belum familiar dengan aplikasinya,” ujar Indira polos.

Saira mengepalkan tangan. Mengapa wanita ini begitu percaya diri meminta bantuan suaminya? Sebelum ia sempat merespons, suara berat memecah ketegangan.

“Ada apa, Saira?”

Saira menoleh. Cakra berdiri di sana, menatap keduanya dengan ekspresi datar. Senyum lega terbit di wajah Indira.

Namun, yang membuat Saira terkejut adalah reaksi anak kecil di samping Indira. Anak itu tiba-tiba berlari ke arah Cakra dan memeluknya erat.

“Papa!” seru anak itu dengan suara ceria.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 57

    “Sayang sekali, pantai seindah ini harus dinikmati sambil bekerja.”Anggara masih berdiri di samping Cakra. Kedua tangannya bersembunyi di saku celana. Pria yang seumuran dengannya itu mengenakan kemeja putih dan celana senada. Cakra menerbitkan senyum tipis untuk menanggapi, tetapi itu hanya sekilas. Selebihnya wajahnya kembali datar. “Mau saya kerja di mana atau ke mana, rasanya nggak perlu persetujuan Anda, bukan?”Anggara tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang terdengar ramah di telinga Cakra, melainkan seperti sindiran yang dibalut sopan santun. “Saya hanya mengamati, saja. Barusan saya lihat yang lain tertawa bersama, menikmati waktu liburan. Tapi Anda justru sibuk sendiri. Agak ganjil saja… melihat seorang suami mengacuhkan istrinya sendiri.”Tatapannya Cakra berubah menjadi lebih dingin. Harga dirinya terasa dijatuhkan seolah dia bukan suami yang baik. Ia memang tidak sempurna, tapi tidak perlu begitu juga, kan? Untuk apa pula Anggara memancing perdebatan dengannya? Anggar

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 56

    Lalu dengan tiba-tiba Cakra menarik tubuhnya dalam satu gerakan cepat Saira sudah terhimpit di dinding.“Ka—kamu mau apa?”"Menurutmu?"Saira terpaku. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya sudah kepalang kelu. Sementara tubuh Cakra semakin tak berjarak darinya. Matanya membulat, jantungnya seolah terhenti sesaat. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi tiba-tiba saja Cakra berbisik di telinganya, “Ada pasir di sini.” Pria itu mengusap pelipis Saira yang terkena pasir, membersihkannya dengan pelan. Sementara Saira cukup bisa bernapas lega karena Cakra tak melakukan hal-hal yang ia pikirkan. “Lain kali jangan begitu...” kata pria itu lagi. Saira lantas mendongak seolah bertanya apa maksudnya. Cakra lantas menatap ke bawah, menunjuk celana pendek yang masih dikenakan Saira dengan dagunya. “Jangan pakai celana sependek ini di depan pria lain!”Sepersekian detik Saira bisa merasakan hangat napas Cakra menyapu kulit. Ia merespon perintah suaminya dengan anggukan pelan.Detik setelahnya pr

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 55

    “Sayang?”Saira sontak menoleh ke arah suara berat yang sangat familiar. Begitu pula Anggara. Obrolan ringan mereka seputar rencana kegiatan kampus langsung terhenti.Dengan senyum tipis yang sulit dibaca, Cakra berdiri di belakang daybed. Angin malam mengibaskan ujung kemejanya, dan tatapannya langsung tertuju pada Saira.Mata Saira membulat. Ia berdiri tergesa, hingga sweater yang dipakaikan Anggara terjatuh ke pasir. Dadanya berdesir—tidak hanya karena kehadiran pria itu, tapi karena satu hal yang tak pernah ia dengar sebelumnya.Sayang?Ini pertama kali Cakra memanggilnya demikian—di depan orang lain pula.Tatapan Cakra bergeser pada Anggara, masih mempertahankan senyum yang terasa terlalu rapi.Lebih tepatnya terlalu dipaksakan.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, namun nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar sopan santun.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, meski nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.Anggara membalas

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 54

    Saira masih mencoba berpikir positif. Ia tak ingin menebak-nebak tanpa alasan yang jelas.Anggara mungkin hanya ingin bicara soal pekerjaan atau urusan kampus. Sesederhana itu—dan ia harusnya cukup waras untuk mempercayai hal tersebut.Setidaknya, satu hal sudah tuntas.Sampel rambut yang ia kumpulkan telah diterima dan kini tengah diproses oleh tim laboratorium. Ia hanya perlu menunggu satu minggu hingga hasilnya keluar.***Seperti yang telah diagendakan, Hari berikutnya Saira dan Cakra, juga beberapa dosen yang mendapat penghargaan kemarin melakukan perjalanan via udara dengan destinasi Bali. Meski pada awalnya berdebat dengan Saira soal pesawat terbang, tetapi untuk menghormati penyelenggara kampus, Cakra merendahkan egonya agar tetap bersama rombongan. Satu hal lagi yang membuat Saira lega. Walaupun pria itu sedikit kaku, tetapi berusaha cukup bersikap ramah pada semua rekan kerjanya. Yang lebih melegakan lagi, Anggara menyusul dengan penerbangan berikutnya, sehingga Saira cuk

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 53

    Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 52

    “Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status