Malam itu, setelah perdebatan kecil dengan suaminya, Saira tidak lagi melihat Cakra. Pria itu pergi begitu saja, tanpa memedulikan perasaannya.
Pagi tiba, namun Cakra belum juga menampakkan dirinya. Bi Surti, yang sedang membantu di dapur, memberi tahu Saira bahwa suaminya baru pulang menjelang subuh.
“Subuh?” Saira mengulang dengan nada terkejut. Bi Surti mengangguk cepat.
“Kata sopir, Pak Cakra semalam ke bandara, nyetir sendiri, Bu,” ujar Bi Surti pelan.
Tangan Saira yang sedang menata piring terhenti. Ia tahu betul karakter suaminya. Cakra tidak akan repot-repot pergi ke bandara jika bukan untuk seseorang yang sangat penting baginya. Bahkan, perhatian seperti itu tak pernah diberikan kepada dirinya.
Lalu, siapa yang dijemput Cakra semalam? Pikiran itu membuat hatinya resah.
“Mungkin Sandrina? Kan dia libur semester bulan ini?” gumam Saira, mencoba berpikir logis. Sandrina adalah adik perempuan Cakra, yang kuliah di Bali dan hanya pulang ke Jogja sesekali.
Namun, Bi Surti menggeleng. Jawaban berikutnya semakin membuat Saira tidak tenang. “Mbak Sandrina sudah pulang dua hari lalu, Bu. Saya dan sopir yang jemput.”
Meski rasa penasaran menggerogoti, Saira memilih menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia mengalihkan pembicaraan dengan membahas persediaan dapur yang perlu dibeli. Setelah Bi Surti pamit pergi ke pasar, Saira melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Tidak lama kemudian, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Cakra muncul dengan setelan jas hitam yang rapi. Seperti biasa, wajahnya dingin dan datar.
Tanpa banyak kata, mereka sarapan bersama. Saira mempersiapkan makanannya sendiri, begitu juga dengan Cakra. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya keheningan yang terasa semakin berat.
Hingga tiba-tiba, bel rumah berbunyi tiga kali. Saira berdiri dan berjalan menuju pintu. Di sana berdiri seorang wanita bertubuh sintal dengan pakaian bermotif bunga berwarna merah muda. Di sampingnya, seorang anak kecil berseragam TK swasta yang terkenal mahal di Jogja.
“Maaf, Mbak, saya Indira. Saya mau ketemu Cakra,” ucap wanita itu tanpa basa-basi.
Saira mengamati wajah wanita asing itu dengan saksama. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya. “Ada keperluan apa dengan suami saya?” tanyanya, suaranya terdengar tenang meski hatinya gelisah.
Ekspresi Indira berubah. Senyumnya memudar saat mendengar Saira menyebut dirinya istri Cakra. Ia tampak menelan ludah sebelum menjawab dengan gugup. “Su… suami?”
“Ya, saya istrinya Cakra. Ada yang bisa saya bantu?” ulang Saira, lebih tegas.
Indira terlihat semakin kikuk. “Um, saya tinggal di rumah nomor 55. Kemarin Cakra membantu saya mencari rumah. Ini ada sedikit makanan sebagai ucapan terima kasih,” katanya sambil menyerahkan tote bag biru kepada Saira.
Saira menerima tas itu dengan sikap dingin. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah wanita ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi semalam?
“Terima kasih. Tapi seharusnya tidak perlu repot seperti ini,” ucap Saira singkat.
Indira mengangguk. “Pagi ini mobil saya masih di bengkel, jadi saya sekalian mau minta tolong Cakra untuk mengantar anak saya ke sekolah. Semalam dia bilang kantornya searah.”
Genggaman tangan Saira pada tali tas mengeras. Jika hanya hubungan biasa, Indira tidak mungkin berani meminta bantuan seperti ini, bukan? Terlebih, ia sudah mengatakan dirinya adalah istri Cakra.
“Maaf, Cakra sudah berangkat ke kantor,” jawab Saira dengan nada dingin, berharap itu cukup menutup percakapan.
Namun, Indira justru terlihat tidak menyerah. “Tapi, Cakra bilang dia berangkat agak siang hari ini,” balasnya.
“Mungkin Mbak bisa pakai taksi online?” Saira menawarkan alternatif, mencoba menahan emosi.
“Saya baru pindah ke Indonesia dan belum familiar dengan aplikasinya,” ujar Indira polos.
Saira mengepalkan tangan. Mengapa wanita ini begitu percaya diri meminta bantuan suaminya? Sebelum ia sempat merespons, suara berat memecah ketegangan.
“Ada apa, Saira?”
Saira menoleh. Cakra berdiri di sana, menatap keduanya dengan ekspresi datar. Senyum lega terbit di wajah Indira.
Namun, yang membuat Saira terkejut adalah reaksi anak kecil di samping Indira. Anak itu tiba-tiba berlari ke arah Cakra dan memeluknya erat.
“Papa!” seru anak itu dengan suara ceria.
Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende
Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak
Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula
Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika
Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d