“Dua tahun menikah, belum bisa hamil juga?” Ambar Wiradana menggeram saat melihat satu garis tunggal pada alat uji kehamilan di tangannya. Sesaat kemudian, benda pipih berwarna putih biru itu dilempar ke meja, memantul sekali sebelum jatuh dengan bunyi ringan.
Saira menelan ludah, menundukkan kepala seperti anak kecil yang tertangkap basah.
“Jawab!”
“Mungkin belum waktunya, Ma,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
“Lalu kapan? Sampai kapan aku harus menunggu?”
Saira mendongak sedikit, berusaha menata suaranya agar tetap tenang. “Saira dan Cakra sudah berusaha yang terbaik.”
“Kalau memang sudah berusaha, setidaknya sudah membuahkan hasil!”
Suara Ambar kembali menggema di ruangan. Tatapan wanita paruh baya itu penuh amarah, membuat nyali Saira ciut.
Hasil pemeriksaan kesehatan Saira menunjukkan dirinya sehat dan subur, tapi bagaimana mungkin ada kehidupan tumbuh di rahimnya jika sang suami bahkan tak pernah menyentuhnya?
Saira ingin sekali berteriak, ingin membuka semua kenyataan pahit ini di hadapan mertuanya. Tapi untuk apa? Ambar takkan mau mendengar. Bagi wanita itu, menantu adalah sumber kesalahan.
“Aku berharap banyak sama kamu, Saira. Pendidikan tinggi, karir bagus, usia matang. Tapi apa gunanya semua itu kalau nggak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Wiradana?”
Saira meremas jemarinya yang gemetar. Setiap kata yang terlontar dari bibir sang mertua terasa seperti batu besar yang menghantam dadanya, berat dan menyesakkan. Namun, ia menolak membiarkan air mata mengalir di hadapan wanita yang selalu memandangnya rendah.
“Kalau tahu begini, Cakra nggak perlu memaksakan pernikahan ini!” keluh Ambar seraya memijat keningnya.
“Maaf, Ma,” bisik Saira pada akhirnya.
“Maaf nggak akan membuatku punya cucu!” Ambar kembali melayangkan tatapan tajam pada Saira. Ibu mertuanya itu bangkit berdiri seraya menyambar tas jinjingnya.
“Siang ini aku akan kirimkan obat herbal. Aku harap ada perubahan ke depannya. Tapi, kalau kamu tetap nggak bisa memberikan keturunan dalam waktu dekat, jangan salahkan aku kalau meminta Cakra mencari wanita yang lebih layak!”
Suara langkah kaki Ambar menggema hingga pintu tertutup keras. Saira hanya bisa memejamkan mata, menghela napas yang terasa berat di dada.
Setelah Ambar pergi, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.
Saira berjalan ke tepi kolam ikan, tempat yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia duduk di bangku kayu, memandangi riak-riak kecil di permukaan air.
Namun, semakin ia mencoba memahami keadaan, semakin berat beban yang menghimpit hatinya.
"Bu Saira, kopi hangatnya," suara Bi Surti mengganggu lamunannya.
"Terima kasih, Bi," sahut Saira, menerima cangkir itu. Namun, senyumnya hilang saat rasa linu di lutut kanannya kembali menyerang.
Kecelakaan dua tahun lalu itu tidak hanya merenggut nyawa neneknya, tetapi juga meninggalkan bekas di tubuh Saira. Kaki kanannya yang pernah patah kini sering terasa linu.
“Kaki Ibu sakit lagi?” tanya Bi Surti, khawatir. “Mau saya ambilkan balsem?”
Saira menggeleng cepat. “Nggak usah, Bi. Saya nggak apa-apa, kok. Nanti aja, saya mau kerjain ini dulu. Makasih ya.”
Bi Surti mengangguk sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Hingga malam menjelang, ia masih duduk di bangku kayu sambil menyusun ulang modul praktik untuk mahasiswa yang tadi sempat ia abaikan.
“Sebentar lagi sampai.”
Suara berat itu tiba-tiba mengejutkan Saira. Ia melirik sekilas, mendapati Cakra Wiradana, suaminya, berdiri tak jauh di belakangnya. Satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinga, sementara tangan lainnya membawa kantong kertas putih.
“Kamu tenang saja aku sudah urus semuanya,” kata Cakra dengan nada tenang di telepon.
Cakra masih berdiri di depan pintu, rambutnya tampak setengah basah, tersisir rapi ke samping. Pria itu sudah berganti pakaian kasual, tampak siap untuk pergi lagi, seperti biasanya.
Bukan hal aneh jika Cakra sibuk dan jarang di rumah. Namun, suara Cakra yang terdengar lebih lembut dari biasanya membuat Saira sedikit tertegun. Dengan siapa Cakra berbicara?
Saira tak bisa mendengar jelas percakapan suaminya. Ia menoleh kembali, berniat memastikan apakah pria itu pergi atau belum. Tetapi, tatapannya justru bertumbuk dengan pandangan dingin dari Cakra.
Langkah kaki tegasnya mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Saira.
Tanpa berkata banyak hal, ia langsung melempar kantong kertas ke meja. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu minta obat ini ke Mama?"
Saira menggeleng, kebingungan. "Aku nggak pernah minta apa-apa."
"Mama bilang kamu pakai test pack, hasilnya negatif."
"Test pack itu Mama bawa sendiri," jawabnya, mencoba tetap tenang. "Aku cuma dipaksa pakai."
Cakra mendengus. "Sudah tahu hasilnya negatif, kenapa masih dicoba?"
"Karena aku nggak punya pilihan!" balas Saira, suaranya datar.
“Nggak punya pilihan atau sengaja mau memanfaatkan keadaan?” Kalimat Cakra kembali mengiris hati Saira. “Segitunya biar bisa tidur sama aku?”
Jemari wanita itu mengepal kuat di atas meja. Membayangkan Cakra tersenyum padanya saja dia tidak pernah, apalagi keinginan yang begitu intim seperti itu.
Saira bahkan sadar diri bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena keinginan mereka berdua. Ia dinikahi hanya sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan Cakra di masa lalu.
“Aku nggak pernah memanfaatkan keadaan. Obat itu inisiatif Mama sendiri.” Saira membuang napas panjang sebelum kembali mendaratkan tubuhnya di kursi, “Wajar saja Mama curiga, kita sudah menikah dua tahun, tapi belum juga punya anak.”
“Kita sudah pernah bahas ini berkali-kali,” kata Cakra, mendekatkan wajahnya. Nada suaranya lebih rendah namun tetap tajam. “Kamu tau apa yang harus kamu lakukan, tapi masih saja pakai cara rendahan ini! Kamu ini nggak paham atau memang sengaja?”
“Cakra, demi Tuhan—”
“Jangan bawa-bawa Tuhan!” potong Cakra dengan suara dingin. Saira ingin berbicara, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara.
“Aku sudah memperingatkanmu dari awal, Saira. Urusan kita cuma sebatas hidup dalam satu rumah. Jangan pernah berharap lebih dengan pernikahan ini, apalagi soal anak!”
Setelah melontarkan kata-kata itu, Cakra berbalik tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan Saira yang kini hanya bisa memandang punggung suaminya dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende
Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak
Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula
Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika
Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d
Pertanyaan itu membuat sendok di tangan Saira berhenti seketika. Butuh waktu untuk menjawab, karena kata-kata itu menohok langsung ke bagian hatinya yang belum sembuh. Seputar Cakra adalah topik yang tidak ingin ia bahas dahulu. Jika dihadapannya sekarang adalah Sekar, Saira mungkin akan langsung mengatakan bahwa tak ingin membahas lelaki itu. “Pekerjaan suami saya sangat banyak,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. “Kami… jarang menemukan waktu yang pas.” Saira masih saja berbohong. Masih saja berusaha menutupi keburukan suaminya. "Saya tahu juga. Wiradana Group sangat aktif di dunia bisnis. Banyak cabang yang mereka bangun bahkan sudah mengusai pasar. Tapi, sesibuk-sibuknya suami, pasti juga bisa meluangkan sedikit waktu untuk istrinya." Anggara sadar betul tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Tapi ia juga tahu, meski tak semua rumah tangga dibangun dengan cinta, tapi jika itu terlalu menyakitkan, pernikahan semacam itu tak layak dipertahankan. Apalagi