“Hai, Sophia cantik!” Cakra menyapa gadis kecil itu dengan senyuman lebar. Ia mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Sophia dan menggendongnya.
“Bagaimana tidur tadi malam? Kasur di sini nyaman seperti di rumahmu, kan?” tanyanya.
Anak kecil berkuncir dua itu mengangguk antusias. “Sophia mimpi indah, Papa!” jawabnya ceria.
Kepala Saira mendadak pening. Panggilan Sophia kepada Cakra itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap suaminya kepada gadis kecil itu.
Indira, wanita yang berdiri di dekat mereka, tetap terlihat tenang tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun.
“Sophia, turun, sayang,” pinta Indira lembut.
Namun, Cakra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Indira membiarkan Sophia tetap di gendongannya. “Biarkan saja,” ujarnya sambil tersenyum kepada Sophia. Tapi, ketika matanya beralih ke arah Saira, sorotnya berubah dingin. “Kenapa kamu tidak mempersilakan mereka masuk dan malah membuat keributan?”
“Cakra, ini cuma salah paham. Kami tidak berdebat kok. Saira tadi bilang kamu sudah berangkat kerja, tapi aku yang memaksa untuk bertemu,” ujar Indira cepat, seolah ingin meluruskan situasi.
“Benar begitu?” tanya Cakra dengan nada menuntut, lebih tepatnya ke arah istrinya.
Saira menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku kira mereka orang asing yang salah alamat. Tapi kalau sudah jelas, silakan saja.” Suaranya terdengar datar. Tanpa menunggu respons, ia berbalik menuju dapur.
Sesampainya di dapur, Saira meletakkan tote bag pemberian Indira di meja makan dengan sedikit hentakan. Tubuhnya terasa lemas, dadanya sesak. Ia mencoba mengatur napas, tetapi air mata sudah menggenang di sudut matanya.
Panggilan “Papa” dari Sophia terus terngiang di kepalanya. Mungkinkah anak itu adalah …?
Saira tidak sanggup melanjutkan pikirannya.
Namun, potongan-potongan memori mulai menguasai benaknya — malam-malam di mana ia harus minum obat yang terus diberikan Mama mertuanya, tatapan sinis keluarga Cakra, dan komentar pedas tentang dirinya yang belum bisa memberikan keturunan.
Suara langkah tegap terdengar mendekat. Cakra muncul di dapur, mengambil tas kerja dan kunci mobilnya. Sambil mempersiapkan diri, ia berkata datar, “Hari ini aku pulang telat.”
Saira tetap diam, tidak berniat menanggapi.
Kesal, Cakra mendesah panjang. “Apa kamu mendadak tuli?” sindirnya.
Saira memutar tubuh, menatap Cakra dengan sorot mata penuh emosi. “Aku mau bicara sebentar,” ujarnya.
“Aku buru-buru,” balas Cakra sambil melangkah pergi. Akan tetapi, Saira merentangkan tangan, menghalangi langkahnya.
“Siapa Indira?” tanyanya, tak peduli pada tatapan peringatan Cakra.
“Siapapun dia, itu bukan urusanmu!”
“Kamu menjemputnya dari bandara, mencarikan dia rumah di sini. Siapa wanita itu? Istri kedua kamu? Simpanan kamu?” desak Saira dengan suara bergetar.
“Jaga bicaramu!” Nada peringatan Cakra terdengar dingin, kedua matanya mengerling tajam ke arah Saira.
“Kalau begitu, jelaskan apa hubunganmu dengan dia. Jangan biarkan aku menyimpulkan sendiri!”
Cakra menghela napas berat. “Indira baru pulang dari California. Kalau saja kecelakaan waktu itu tidak terjadi, dia yang jadi istriku sekarang. Apa itu cukup jelas?”
Saira menatapnya dengan ekspresi hampa. Pikirannya berusaha mencernanya, tetapi dadanya terasa semakin sesak. “Lalu anak itu … alasan kamu tidak ingin punya anak selama ini?”
Cakra terdiam, tubuh tegapnya menegang. Ia mengerutkan dahi, menatap Saira dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”
“Seorang anak kecil memanggilmu Papa tidak mungkin tanpa alasan, kan? Kalau ini alasannya, kenapa kamu tidak bilang dari awal? Aku tidak perlu minum obat setiap bulan. Aku tidak perlu dihujat mandul oleh keluargamu!” suara Saira mulai meninggi, penuh kepedihan yang selama ini terpendam.
“Cukup, Saira! Pikiranmu ngawur!”
“Aku nggak ngawur! Nyatanya, kamu memperlakukan dia dan anaknya jauh lebih baik daripada memperlakukan istrimu sendiri!”
Cakra tidak membalas. Ia hanya melirik jam tangannya, lalu menghela napas panjang.
“Kalau sejak dulu dia yang kamu inginkan, kenapa kamu masih menikahiku? Kenapa kamu menyeretku ke dalam pernikahan ini?” tuntut Saira dengan suara yang mulai bergetar.
“Kamu tahu jelas alasannya!” Cakra melangkah mendekat, menatapnya tajam. “Kita berdua sama-sama nggak punya pilihan! Jika aku bisa memilih, aku pun juga nggak mau menikah denganmu!”
Setelah mengatakan itu, Cakra berlalu pergi. Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar menjauh.
Ketika semuanya hening, Saira membuang napas panjang. Sebuah senyum getir terbit di wajahnya, bersamaan dengan air mata yang mengalir perlahan. Ia menyadari satu hal: bagaimana mungkin seorang suami lebih memilih mengabaikan istrinya sendiri?
Tiba-tiba, alarm ponsel berbunyi. Saira menghapus air matanya, merapikan diri, dan bersiap berangkat kerja. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam. Pandangannya terpaku pada pemandangan di luar jendela, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mengapa wanita itu baru muncul sekarang?
Dan Sophia … benarkah anak itu darah daging Cakra?
Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende
Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak
Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula
Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika
Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d