Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai.
Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.
Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya.
Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.
Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya?
Apakah tidak ada kemungkinan mereka saling mencintai, layaknya suami istri yang sesungguhnya? Mungkin itu hanyalah harapan yang harus ia pendam sendiri.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari kakeknya, Prawirya, muncul di layar. Saira menyeka air matanya yang membasahi wajah, lalu meraih ponselnya.
“Saira?” suara Prawirya terdengar khawatir. “Kamu di sana?”
“Iya, Kek?” Saira berdeham sejenak, berusaha menenangkan suara. “Saira di sini.”
“Ada apa dengan suara kamu?”
“Oh, ini … kayaknya cuma kurang minum saja. Akhir-akhir ini banyak kerjaan jadi lupa minum,” jawab Saira dengan ringan, meski suaranya masih terdengar serak.
“Kamu dan Cakra bertengkar?”
“Enggak kok, Cakra dan Saira baik-baik saja, kami bahkan habis makan malam bersama tadi.” Saira berusaha terdengar santai.
Prawirya menghela napas panjang. “Kakek harap kalian memang baik-baik saja.”
“Kakek nggak perlu khawatir. Saira dan Cakra baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, Saira pasti lapor ke Kakek!” Saira tertawa pelan, berusaha meyakinkan sang kakek.
“Baiklah. Saira, besok pagi biar Mbak Ning yang antar Kakek check-up. Kamu kerja saja, nggak perlu repot-repot urus Kakek.”
Beberapa jam sebelumnya, Saira memang mengirim pesan pada Prawirya untuk menemaninya check-up rutin, sebelum ia mengajar. Namun, seperti biasa, Prawirya menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan.
Padahal, Saira tak merasa terganggu. Justru ia merasa lebih tenang jika bisa mengawasi perkembangan kesehatan sang kakek.
“Saira mengajar setelah makan siang kok, Kek. Masih sempat untuk antar Kakek.”
“Nanti malah merepotkan kamu. Apa gunanya kamu bayar orang mahal-mahal untuk urus Kakek kalau ujung-ujungnya kamu juga yang turun tangan?”
“Tapi, sebagai cucu, apa salahnya berbakti ke Kakek? Lagipula nggak merepotkan sama sekali. Pokoknya besok pagi Saira jemput, ya?”
“Hm … Kamu memang seperti ibumu, keras kepala,” jawab Prawirya dengan nada khasnya.
Saira tersenyum kecil mendengar itu. “Ya sudah, sekarang Kakek istirahat ya, besok bangun pagi untuk check-up. Saira juga mau istirahat.”
Setelah itu, Prawirya menyetujuinya dan panggilan pun berakhir. Saira menghela napas lega. Meski air matanya masih terus mengalir, setidaknya Prawirya tidak curiga.
Di tengah semua kekacauan ini, satu-satunya kekuatan yang masih ia miliki hanyalah Prawirya. Selain cinta, hanya beliau yang menjadi alasannya bertahan dalam rumah tangga ini.
Saira menutup ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Lalu, ia berbaring di ranjang, meringkuk dengan air mata yang masih mengalir di wajahnya. Sambil memeluk guling, Saira bergumam pelan, “Kakek... Saira sudah berusaha mempertahankan semuanya. Tapi, bagaimana jika yang aku perjuangkan justru lebih peduli pada orang lain?”
Pertanyaan itu terdengar lirih, namun tanpa Saira sadari, ada yang mendengarnya dengan jelas.
Sosok itu berdiri mematung di depan pintu, tubuhnya membeku sejenak. Tangan kanannya yang sempat terangkat untuk mengetuk pintu kini tergantung di udara, lalu perlahan turun kembali ke samping tubuhnya, seolah urung untuk melanjutkan niatnya.
Cakra menarik napas pelan, lalu menjauh dari kamar itu. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Namun, saat ia berbalik, terdengar isakan tangis Saira.
Seharusnya itu bukan masalah. Namun, entah mengapa, tangisan itu membuat dadanya terasa sesak. Cakra bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa tangisan itu mampu membuat hatinya terasa nyeri?
Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende
Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak
Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula
Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika
Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d