Share

Bab 7

last update Last Updated: 2024-12-10 16:45:47

Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai.

Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.

Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya.

Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.

Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya?

Apakah tidak ada kemungkinan mereka saling mencintai, layaknya suami istri yang sesungguhnya? Mungkin itu hanyalah harapan yang harus ia pendam sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari kakeknya, Prawirya, muncul di layar. Saira menyeka air matanya yang membasahi wajah, lalu meraih ponselnya.

“Saira?” suara Prawirya terdengar khawatir. “Kamu di sana?”

“Iya, Kek?” Saira berdeham sejenak, berusaha menenangkan suara. “Saira di sini.”

“Ada apa dengan suara kamu?”

“Oh, ini … kayaknya cuma kurang minum saja. Akhir-akhir ini banyak kerjaan jadi lupa minum,” jawab Saira dengan ringan, meski suaranya masih terdengar serak.

“Kamu dan Cakra bertengkar?”

“Enggak kok, Cakra dan Saira baik-baik saja, kami bahkan habis makan malam bersama tadi.” Saira berusaha terdengar santai.

Prawirya menghela napas panjang. “Kakek harap kalian memang baik-baik saja.”

“Kakek nggak perlu khawatir. Saira dan Cakra baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, Saira pasti lapor ke Kakek!” Saira tertawa pelan, berusaha meyakinkan sang kakek.

“Baiklah. Saira, besok pagi biar Mbak Ning yang antar Kakek check-up. Kamu kerja saja, nggak perlu repot-repot urus Kakek.”

Beberapa jam sebelumnya, Saira memang mengirim pesan pada Prawirya untuk menemaninya check-up rutin, sebelum ia mengajar. Namun, seperti biasa, Prawirya menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan.

Padahal, Saira tak merasa terganggu. Justru ia merasa lebih tenang jika bisa mengawasi perkembangan kesehatan sang kakek.

“Saira mengajar setelah makan siang kok, Kek. Masih sempat untuk antar Kakek.”

“Nanti malah merepotkan kamu. Apa gunanya kamu bayar orang mahal-mahal untuk urus Kakek kalau ujung-ujungnya kamu juga yang turun tangan?”

“Tapi, sebagai cucu, apa salahnya berbakti ke Kakek? Lagipula nggak merepotkan sama sekali. Pokoknya besok pagi Saira jemput, ya?”

“Hm … Kamu memang seperti ibumu, keras kepala,” jawab Prawirya dengan nada khasnya.

Saira tersenyum kecil mendengar itu. “Ya sudah, sekarang Kakek istirahat ya, besok bangun pagi untuk check-up. Saira juga mau istirahat.”

Setelah itu, Prawirya menyetujuinya dan panggilan pun berakhir. Saira menghela napas lega. Meski air matanya masih terus mengalir, setidaknya Prawirya tidak curiga.

Di tengah semua kekacauan ini, satu-satunya kekuatan yang masih ia miliki hanyalah Prawirya. Selain cinta, hanya beliau yang menjadi alasannya bertahan dalam rumah tangga ini.

Saira menutup ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Lalu, ia berbaring di ranjang, meringkuk dengan air mata yang masih mengalir di wajahnya. Sambil memeluk guling, Saira bergumam pelan, “Kakek... Saira sudah berusaha mempertahankan semuanya. Tapi, bagaimana jika yang aku perjuangkan justru lebih peduli pada orang lain?”

Pertanyaan itu terdengar lirih, namun tanpa Saira sadari, ada yang mendengarnya dengan jelas.

Sosok itu berdiri mematung di depan pintu, tubuhnya membeku sejenak. Tangan kanannya yang sempat terangkat untuk mengetuk pintu kini tergantung di udara, lalu perlahan turun kembali ke samping tubuhnya, seolah urung untuk melanjutkan niatnya.

Cakra menarik napas pelan, lalu menjauh dari kamar itu. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Namun, saat ia berbalik, terdengar isakan tangis Saira.

Seharusnya itu bukan masalah. Namun, entah mengapa, tangisan itu membuat dadanya terasa sesak. Cakra bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa tangisan itu mampu membuat hatinya terasa nyeri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Luthfie Ina
wahh launcing novel baru ya ka
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 57

    “Sayang sekali, pantai seindah ini harus dinikmati sambil bekerja.”Anggara masih berdiri di samping Cakra. Kedua tangannya bersembunyi di saku celana. Pria yang seumuran dengannya itu mengenakan kemeja putih dan celana senada. Cakra menerbitkan senyum tipis untuk menanggapi, tetapi itu hanya sekilas. Selebihnya wajahnya kembali datar. “Mau saya kerja di mana atau ke mana, rasanya nggak perlu persetujuan Anda, bukan?”Anggara tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang terdengar ramah di telinga Cakra, melainkan seperti sindiran yang dibalut sopan santun. “Saya hanya mengamati, saja. Barusan saya lihat yang lain tertawa bersama, menikmati waktu liburan. Tapi Anda justru sibuk sendiri. Agak ganjil saja… melihat seorang suami mengacuhkan istrinya sendiri.”Tatapannya Cakra berubah menjadi lebih dingin. Harga dirinya terasa dijatuhkan seolah dia bukan suami yang baik. Ia memang tidak sempurna, tapi tidak perlu begitu juga, kan? Untuk apa pula Anggara memancing perdebatan dengannya? Anggar

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 56

    Lalu dengan tiba-tiba Cakra menarik tubuhnya dalam satu gerakan cepat Saira sudah terhimpit di dinding.“Ka—kamu mau apa?”"Menurutmu?"Saira terpaku. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya sudah kepalang kelu. Sementara tubuh Cakra semakin tak berjarak darinya. Matanya membulat, jantungnya seolah terhenti sesaat. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi tiba-tiba saja Cakra berbisik di telinganya, “Ada pasir di sini.” Pria itu mengusap pelipis Saira yang terkena pasir, membersihkannya dengan pelan. Sementara Saira cukup bisa bernapas lega karena Cakra tak melakukan hal-hal yang ia pikirkan. “Lain kali jangan begitu...” kata pria itu lagi. Saira lantas mendongak seolah bertanya apa maksudnya. Cakra lantas menatap ke bawah, menunjuk celana pendek yang masih dikenakan Saira dengan dagunya. “Jangan pakai celana sependek ini di depan pria lain!”Sepersekian detik Saira bisa merasakan hangat napas Cakra menyapu kulit. Ia merespon perintah suaminya dengan anggukan pelan.Detik setelahnya pr

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 55

    “Sayang?”Saira sontak menoleh ke arah suara berat yang sangat familiar. Begitu pula Anggara. Obrolan ringan mereka seputar rencana kegiatan kampus langsung terhenti.Dengan senyum tipis yang sulit dibaca, Cakra berdiri di belakang daybed. Angin malam mengibaskan ujung kemejanya, dan tatapannya langsung tertuju pada Saira.Mata Saira membulat. Ia berdiri tergesa, hingga sweater yang dipakaikan Anggara terjatuh ke pasir. Dadanya berdesir—tidak hanya karena kehadiran pria itu, tapi karena satu hal yang tak pernah ia dengar sebelumnya.Sayang?Ini pertama kali Cakra memanggilnya demikian—di depan orang lain pula.Tatapan Cakra bergeser pada Anggara, masih mempertahankan senyum yang terasa terlalu rapi.Lebih tepatnya terlalu dipaksakan.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, namun nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar sopan santun.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, meski nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.Anggara membalas

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 54

    Saira masih mencoba berpikir positif. Ia tak ingin menebak-nebak tanpa alasan yang jelas.Anggara mungkin hanya ingin bicara soal pekerjaan atau urusan kampus. Sesederhana itu—dan ia harusnya cukup waras untuk mempercayai hal tersebut.Setidaknya, satu hal sudah tuntas.Sampel rambut yang ia kumpulkan telah diterima dan kini tengah diproses oleh tim laboratorium. Ia hanya perlu menunggu satu minggu hingga hasilnya keluar.***Seperti yang telah diagendakan, Hari berikutnya Saira dan Cakra, juga beberapa dosen yang mendapat penghargaan kemarin melakukan perjalanan via udara dengan destinasi Bali. Meski pada awalnya berdebat dengan Saira soal pesawat terbang, tetapi untuk menghormati penyelenggara kampus, Cakra merendahkan egonya agar tetap bersama rombongan. Satu hal lagi yang membuat Saira lega. Walaupun pria itu sedikit kaku, tetapi berusaha cukup bersikap ramah pada semua rekan kerjanya. Yang lebih melegakan lagi, Anggara menyusul dengan penerbangan berikutnya, sehingga Saira cuk

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 53

    Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 52

    “Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status