Share

Bab 6

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:45:29

Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"

“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"

Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.

Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?

Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.

Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.

Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.

Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicara dengan Pak Tua itu! Cucunya jelas—”

“Mama tahu, keluarga kita tidak pernah melanggar janji,” potong Cakra dengan suara lebih tegas.

Ambar langsung terdiam. Namun, respons itu membuat Saira menoleh pada suaminya yang tetap dengan ekspresi datar.

Saira merasa bingung. Seharusnya ia senang mendengar Cakra tak ingin bercerai, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa Cakra melakukan itu hanya untuk memenuhi janjinya.

“Mama sebenarnya juga tidak ingin ada perceraian. Reputasi keluarga Wiradana harus tetap dijaga. Tapi, kalau pernikahan ini tidak membawa keuntungan, buat apa diteruskan?” Ambar bersandar di kursinya, memijat pelipisnya.

"Kalau Kak Cakra nggak bisa cerai karena janji, masih ada cara lain," timpal Sandrina, seolah tak takut dengan teguran yang diberikan Ambar sebelumnya. 

Mata gadis berusia dua puluhan itu menyipit, bibirnya melengkung sedikit. "Kebetulan Kak Indira sudah kembali ke Jogja. Mungkin ini saat yang tepat kalau dia memang jodoh Kakak?"

Cakra hanya menghela napas panjang, tak berminat melanjutkan pembicaraan. Padahal Saira tahu, yang membuat Cakra terganggu hari ini adalah mantan kekasihnya itu. "Indira tidak ada hubungannya dengan ini."

"Tapi Kak," Sandrina terus mendesak, "kalau Mbak Saira nggak bisa punya anak, kenapa nggak menikah lagi dengan Kak Indira? Dia wanita baik, pasti bisa memberikan Kakak keturunan!"

Sandrina menatap Saira, penuh tantangan. "Mbak Saira, bagaimana kalau Kak Cakra menikah lagi dengan Kak Indira?"

Pertanyaan itu membuat darah Saira mendidih. Betapa lancangnya gadis itu merendahkan dirinya.

"Jawab, Mbak! Jangan cuma diam saja!" desak Sandrina.

Ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Saira.

Perlahan, Saira mengangkat kepala, meletakkan alat makannya, lalu menatap Sandrina dengan sorot mata tajam. Ia tersenyum tipis sejenak.

"Sandrina, kamu ini mahasiswa, tapi cara berpikirmu dangkal sekali, dan pertanyaanmu tadi benar-benar nggak sopan!" kata Saira dengan nada tegas, matanya tajam menatap adik iparnya.

Rahang Sandrina hampir jatuh mendengar keberanian Saira. Ambar, yang sejak tadi diam, melirik menantunya dengan pandangan tak percaya. Mereka tidak menyangka Saira yang biasanya pendiam, kali ini berani berbicara.

"Pertanyaanmu tadi nggak hanya merendahkan aku, tapi juga semua perempuan yang mungkin sedang menghadapi situasi serupa. Belum bisa punya anak bukan berarti hina dan bukan alasan agar suami menikah lagi!" tambah Saira.

Sandrina tersenyum sinis. “Tapi kenyataannya begitu, kan, Mbak? Setelah menikah, tugas seorang wanita itu jelas—melahirkan anak. Kalau kamu belum juga bisa, apa salah kalau keluarga kami mempertimbangkan Kak Cakra menikah lagi?”

“Kalau begitu, kamu juga siap jawab kalau keluarga suamimu meminta hal yang sama?”

Bibir Sandrina membulat. “Kamu—”

“Apa kamu nggak berpikir, kamu juga perempuan? Nggak menutup kemungkinan kamu akan mengalami hal yang sama suatu saat nanti, kan?”

“Saira!” tegur Cakra, memperingatkan istrinya. Ia melemparkan tatapan tajam pada Saira, mencoba mencegah masalah ini semakin besar.

Sayangnya, Saira yang dulu gentar dengan tatapan itu, kini membalasnya dengan sorot mata yang sama.

“Kenapa? Kamu juga keberatan istrimu yang mandul ini membela diri?” cemoohnya penuh emosi. Namun, Cakra tidak sempat menjawab.

Ambar, yang tidak mau kalah, langsung menyela, "Kamu sendiri sudah mengakuinya, apa salahnya membiarkan Cakra mencari kesempatan dengan orang lain? Lagipula hubungan Cakra dan Indira sudah ada jauh sebelum dia bertemu kamu."

"Baik," jawab Saira sambil menatap Ambar, "kalau memang keluarga ini merasa dia lebih pantas jadi istri Cakra, aku nggak akan menghalangi dia menikah lagi. Tapi biarkan Cakra yang memutuskan dan menjelaskan pada Kakekku!"

Kata-kata Saira menggema di ruangan itu. Semua terdiam. Saira berdiri perlahan, menatap semua orang dengan sorot tajam sebelum melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi.

Setelah Saira pergi, Ambar dan Sandrina mendengus kesal.

“Kamu lihat itu, Cakra? Istrimu sudah berani bersikap tidak sopan! Bahkan berani sama Mama!” Ambar berkata marah.

Sandrina melipat tangannya dan mendengkus, “Dasar ipar nggak tahu diri!”

“Sandrina, cukup!” potong Cakra dengan tegas.

“Tapi dia keterlaluan, Kak—”

“Dia nggak akan begitu kalau kamu nggak sopan!”

Teguran Cakra membuat Sandrina menutup mulutnya. Gadis itu mengamati wajah kakaknya. Sepertinya ada yang berubah. Cakra tidak suka jika Saira direndahkan.

Cakra berdiri dan berkata sebelum pergi, “Aku ke atas dulu, kalau Mama dan Sandrina masih ingin melanjutkan makan malamnya, silakan.”

Makan malam itu berakhir buruk. Ambar dan Sandrina pulang dengan kecewa karena tak mendapat hasil yang diinginkan.

Ambar mungkin masih berharap masalah ini bisa dibicarakan lagi, namun tidak dengan Sandrina. Ia masih kesal karena Cakra sempat menegurnya.

Sepanjang perjalanan pulang, dadanya bergejolak menahan amarah. Ia tidak akan diam saja setelah ini.

“Aku akan cari cara supaya Kakak bisa dekat lagi dengan Kak Indira!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 57

    “Sayang sekali, pantai seindah ini harus dinikmati sambil bekerja.”Anggara masih berdiri di samping Cakra. Kedua tangannya bersembunyi di saku celana. Pria yang seumuran dengannya itu mengenakan kemeja putih dan celana senada. Cakra menerbitkan senyum tipis untuk menanggapi, tetapi itu hanya sekilas. Selebihnya wajahnya kembali datar. “Mau saya kerja di mana atau ke mana, rasanya nggak perlu persetujuan Anda, bukan?”Anggara tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang terdengar ramah di telinga Cakra, melainkan seperti sindiran yang dibalut sopan santun. “Saya hanya mengamati, saja. Barusan saya lihat yang lain tertawa bersama, menikmati waktu liburan. Tapi Anda justru sibuk sendiri. Agak ganjil saja… melihat seorang suami mengacuhkan istrinya sendiri.”Tatapannya Cakra berubah menjadi lebih dingin. Harga dirinya terasa dijatuhkan seolah dia bukan suami yang baik. Ia memang tidak sempurna, tapi tidak perlu begitu juga, kan? Untuk apa pula Anggara memancing perdebatan dengannya? Anggar

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 56

    Lalu dengan tiba-tiba Cakra menarik tubuhnya dalam satu gerakan cepat Saira sudah terhimpit di dinding.“Ka—kamu mau apa?”"Menurutmu?"Saira terpaku. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya sudah kepalang kelu. Sementara tubuh Cakra semakin tak berjarak darinya. Matanya membulat, jantungnya seolah terhenti sesaat. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi tiba-tiba saja Cakra berbisik di telinganya, “Ada pasir di sini.” Pria itu mengusap pelipis Saira yang terkena pasir, membersihkannya dengan pelan. Sementara Saira cukup bisa bernapas lega karena Cakra tak melakukan hal-hal yang ia pikirkan. “Lain kali jangan begitu...” kata pria itu lagi. Saira lantas mendongak seolah bertanya apa maksudnya. Cakra lantas menatap ke bawah, menunjuk celana pendek yang masih dikenakan Saira dengan dagunya. “Jangan pakai celana sependek ini di depan pria lain!”Sepersekian detik Saira bisa merasakan hangat napas Cakra menyapu kulit. Ia merespon perintah suaminya dengan anggukan pelan.Detik setelahnya pr

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 55

    “Sayang?”Saira sontak menoleh ke arah suara berat yang sangat familiar. Begitu pula Anggara. Obrolan ringan mereka seputar rencana kegiatan kampus langsung terhenti.Dengan senyum tipis yang sulit dibaca, Cakra berdiri di belakang daybed. Angin malam mengibaskan ujung kemejanya, dan tatapannya langsung tertuju pada Saira.Mata Saira membulat. Ia berdiri tergesa, hingga sweater yang dipakaikan Anggara terjatuh ke pasir. Dadanya berdesir—tidak hanya karena kehadiran pria itu, tapi karena satu hal yang tak pernah ia dengar sebelumnya.Sayang?Ini pertama kali Cakra memanggilnya demikian—di depan orang lain pula.Tatapan Cakra bergeser pada Anggara, masih mempertahankan senyum yang terasa terlalu rapi.Lebih tepatnya terlalu dipaksakan.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, namun nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar sopan santun.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, meski nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.Anggara membalas

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 54

    Saira masih mencoba berpikir positif. Ia tak ingin menebak-nebak tanpa alasan yang jelas.Anggara mungkin hanya ingin bicara soal pekerjaan atau urusan kampus. Sesederhana itu—dan ia harusnya cukup waras untuk mempercayai hal tersebut.Setidaknya, satu hal sudah tuntas.Sampel rambut yang ia kumpulkan telah diterima dan kini tengah diproses oleh tim laboratorium. Ia hanya perlu menunggu satu minggu hingga hasilnya keluar.***Seperti yang telah diagendakan, Hari berikutnya Saira dan Cakra, juga beberapa dosen yang mendapat penghargaan kemarin melakukan perjalanan via udara dengan destinasi Bali. Meski pada awalnya berdebat dengan Saira soal pesawat terbang, tetapi untuk menghormati penyelenggara kampus, Cakra merendahkan egonya agar tetap bersama rombongan. Satu hal lagi yang membuat Saira lega. Walaupun pria itu sedikit kaku, tetapi berusaha cukup bersikap ramah pada semua rekan kerjanya. Yang lebih melegakan lagi, Anggara menyusul dengan penerbangan berikutnya, sehingga Saira cuk

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 53

    Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 52

    “Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status