Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"
“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"
Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.
Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?
Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.
Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.
Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.
Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicara dengan Pak Tua itu! Cucunya jelas—”
“Mama tahu, keluarga kita tidak pernah melanggar janji,” potong Cakra dengan suara lebih tegas.
Ambar langsung terdiam. Namun, respons itu membuat Saira menoleh pada suaminya yang tetap dengan ekspresi datar.
Saira merasa bingung. Seharusnya ia senang mendengar Cakra tak ingin bercerai, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa Cakra melakukan itu hanya untuk memenuhi janjinya.
“Mama sebenarnya juga tidak ingin ada perceraian. Reputasi keluarga Wiradana harus tetap dijaga. Tapi, kalau pernikahan ini tidak membawa keuntungan, buat apa diteruskan?” Ambar bersandar di kursinya, memijat pelipisnya.
"Kalau Kak Cakra nggak bisa cerai karena janji, masih ada cara lain," timpal Sandrina, seolah tak takut dengan teguran yang diberikan Ambar sebelumnya.
Mata gadis berusia dua puluhan itu menyipit, bibirnya melengkung sedikit. "Kebetulan Kak Indira sudah kembali ke Jogja. Mungkin ini saat yang tepat kalau dia memang jodoh Kakak?"
Cakra hanya menghela napas panjang, tak berminat melanjutkan pembicaraan. Padahal Saira tahu, yang membuat Cakra terganggu hari ini adalah mantan kekasihnya itu. "Indira tidak ada hubungannya dengan ini."
"Tapi Kak," Sandrina terus mendesak, "kalau Mbak Saira nggak bisa punya anak, kenapa nggak menikah lagi dengan Kak Indira? Dia wanita baik, pasti bisa memberikan Kakak keturunan!"
Sandrina menatap Saira, penuh tantangan. "Mbak Saira, bagaimana kalau Kak Cakra menikah lagi dengan Kak Indira?"
Pertanyaan itu membuat darah Saira mendidih. Betapa lancangnya gadis itu merendahkan dirinya.
"Jawab, Mbak! Jangan cuma diam saja!" desak Sandrina.
Ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Saira.
Perlahan, Saira mengangkat kepala, meletakkan alat makannya, lalu menatap Sandrina dengan sorot mata tajam. Ia tersenyum tipis sejenak.
"Sandrina, kamu ini mahasiswa, tapi cara berpikirmu dangkal sekali, dan pertanyaanmu tadi benar-benar nggak sopan!" kata Saira dengan nada tegas, matanya tajam menatap adik iparnya.
Rahang Sandrina hampir jatuh mendengar keberanian Saira. Ambar, yang sejak tadi diam, melirik menantunya dengan pandangan tak percaya. Mereka tidak menyangka Saira yang biasanya pendiam, kali ini berani berbicara.
"Pertanyaanmu tadi nggak hanya merendahkan aku, tapi juga semua perempuan yang mungkin sedang menghadapi situasi serupa. Belum bisa punya anak bukan berarti hina dan bukan alasan agar suami menikah lagi!" tambah Saira.
Sandrina tersenyum sinis. “Tapi kenyataannya begitu, kan, Mbak? Setelah menikah, tugas seorang wanita itu jelas—melahirkan anak. Kalau kamu belum juga bisa, apa salah kalau keluarga kami mempertimbangkan Kak Cakra menikah lagi?”
“Kalau begitu, kamu juga siap jawab kalau keluarga suamimu meminta hal yang sama?”
Bibir Sandrina membulat. “Kamu—”
“Apa kamu nggak berpikir, kamu juga perempuan? Nggak menutup kemungkinan kamu akan mengalami hal yang sama suatu saat nanti, kan?”
“Saira!” tegur Cakra, memperingatkan istrinya. Ia melemparkan tatapan tajam pada Saira, mencoba mencegah masalah ini semakin besar.
Sayangnya, Saira yang dulu gentar dengan tatapan itu, kini membalasnya dengan sorot mata yang sama.
“Kenapa? Kamu juga keberatan istrimu yang mandul ini membela diri?” cemoohnya penuh emosi. Namun, Cakra tidak sempat menjawab.
Ambar, yang tidak mau kalah, langsung menyela, "Kamu sendiri sudah mengakuinya, apa salahnya membiarkan Cakra mencari kesempatan dengan orang lain? Lagipula hubungan Cakra dan Indira sudah ada jauh sebelum dia bertemu kamu."
"Baik," jawab Saira sambil menatap Ambar, "kalau memang keluarga ini merasa dia lebih pantas jadi istri Cakra, aku nggak akan menghalangi dia menikah lagi. Tapi biarkan Cakra yang memutuskan dan menjelaskan pada Kakekku!"
Kata-kata Saira menggema di ruangan itu. Semua terdiam. Saira berdiri perlahan, menatap semua orang dengan sorot tajam sebelum melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Setelah Saira pergi, Ambar dan Sandrina mendengus kesal.
“Kamu lihat itu, Cakra? Istrimu sudah berani bersikap tidak sopan! Bahkan berani sama Mama!” Ambar berkata marah.
Sandrina melipat tangannya dan mendengkus, “Dasar ipar nggak tahu diri!”
“Sandrina, cukup!” potong Cakra dengan tegas.
“Tapi dia keterlaluan, Kak—”
“Dia nggak akan begitu kalau kamu nggak sopan!”
Teguran Cakra membuat Sandrina menutup mulutnya. Gadis itu mengamati wajah kakaknya. Sepertinya ada yang berubah. Cakra tidak suka jika Saira direndahkan.
Cakra berdiri dan berkata sebelum pergi, “Aku ke atas dulu, kalau Mama dan Sandrina masih ingin melanjutkan makan malamnya, silakan.”
Makan malam itu berakhir buruk. Ambar dan Sandrina pulang dengan kecewa karena tak mendapat hasil yang diinginkan.
Ambar mungkin masih berharap masalah ini bisa dibicarakan lagi, namun tidak dengan Sandrina. Ia masih kesal karena Cakra sempat menegurnya.
Sepanjang perjalanan pulang, dadanya bergejolak menahan amarah. Ia tidak akan diam saja setelah ini.
“Aku akan cari cara supaya Kakak bisa dekat lagi dengan Kak Indira!”
Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende
Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak
Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula
Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika
Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d