Share

Salah Pengajian

Bagian 6

Salah Pengajian

Aku puas sekali tadi malam dengan pelayanan Bening. Tak kusangka dibalik jilbabnya yang lebar itu ternyata dia … ya begitulah. Kupikir dia akan diam seperti batu saja, dan aku yang menguasai permainan. Ternyata hmmm, dia mengesankan sekali.

Benar ternyata kata teman-temanku. Kalau perempuan berjilbab lebar itu justru lebih mahir untuk urusan domestik yang satu itu. Alasannya, karena sebenarnya mereka juga sudah lama ingin, tetapi ditahan karena tak ada lawannya.

Ya, tepatnya tidak ada yang mau dengan Bening, selain aku tentunya. Maka Ning sudah seharusnya berterima kasih padaku karena telah menaikkan statusnya jauh lebih terhormat, dari perawan tua menjadi seorang istri.

Tentu semua orang tahu bagaimana posisi istri, terutama di Indonesia. Negara yang amat sangat menjunjung patriarki. Istilah pepatahnya surgo manut, neroko katut. Suami masuk neraka istri ikut, ke surga pun begitu. Ya, jadi hidup seorang istri memang sangat bergantung pada suaminya.

Untungnya Bening mendapatkan suami seperti aku. Aku bukan orang miskin dan susah dalam nafkah lahir. Lihat saja istri diluaran sana yang diperas keringat dan tenaganya demi mencari uang, dan suaminya malah ongkang-ongkang kaki main game, judi, bahkan menyewa seorang lonte. Aku tidak seperti itu, aku bisa dikatakan sebagai lelaki baik yang selalu memuliakan istrinya.

“Astagfirullah, kok, hari udah hampir siang.” Ning tiba-tiba bangun dan membuatku terkejut. Ya memang akhir-akhir ini matahari jadi lebih cepat tinggi dari biasanya. Bayangkan saja sudah jam lima lewat sedikit sinarnya mulai naik.

“Apa, sih, Ning, santai aja, Mas nggak suruh kamu ngapa-ngapain, kok,” ucapku sambil bermain game di ponsel.

“Nanti terlambat subuhan, Mas.” Dia bangun dengan cepat dan lari ke kamar mandi dengan menggunakan selimut. Oh, iya, aku lupa sholat Shubuh tadi pagi. Ya mandi pagi saja belum, apa mau dikata lagi, air di hotelku ini sekalipun di musim panas, rasanya sangat dingin.

“Mas, tolong hambilkan anduk.” Ning mengganggu kesenanganku.

“Ambil sendiri kenapa, memang kamu nggak punya kaki?” Dia tidak tahu kalau gameku sedang di level tanggung.

Aku mengejar musuh perempuan yang berpakaian seksi. Lumayan kalau kalah di dalam game bisa dimanfaatkan kecantikan dan tubuhnya. Beginilah caraku melepas diri di kala sedang ingin. Kalau menyewa jasa perempuan di luar sana rentan terkena penyakit mematikan. Aneh, rasanya aku tak bisa berhenti dari game ini, padahal tadi malam aku sudah merasakan yang sebenarnya bersama Ning.

“Tolong, Mas, bentar lagi subuhnya habis.” Dia merengek lagi. Untung sama game ini bisa aku pause dan aku beranjak mengambil handuk untuknya.

“Manja banget jadi perempuan. Mandiri donk!” Aku mengatakan kata-kata itu di depan wajahnya. Andai itu Suci yang minta tolong, dengan senang hati akan aku lakukan, kalau perlu mandi bersama sekalian.

Bening keluar memakai handuk dan secepatnya dia memakai pakaian lengkap, sepertinya rasa canggung Ning padaku sudah hilang karena peristiwa tadi malam. Lalu dia sholat dua rakaat kalau aku hitung dan gerakannya agak cepat, mungkin mengejar waktu karena sebentar lagi matahari akan benar-benar tinggi.

Aku heran kenapa Ning harus mengambil pusing urusan itu, setahuku kalau terlambat bangun untuk sholat Shubuh boleh diganti di lain hari. Iya, aku pernah belajar dari guru ngajiku. Sebelum menikah aku belajar dari seorang ustadz, penampilannya luar biasa alim. Dari dia juga aku belajar bagaimana cara memperlakukan dan mendidik seorang istri.

Dari dia juga aku tahu kalau laki-laki menikah lagi diam-diam, sah-sah saja. Memang istri itu pemimpin di dalam rumah sampai kita harus apa-apa minta izin darinya? Istri itu yang ikut kata suami, bukan sebaliknya. Asal kita beri uang saja cukup tak cukup mereka harus menurut.

Terbukti guru ngajiku itu lelaki sejati, istrinya selalu full kuotanya empat. Sesekali berkurang karena perceraian, atau ada juga yang ditinggal mati. Tapi tak lama, habis bercerai dia akan mencari pengganti dan tak pernah lama posisi yang keempat kosong.

Rata-rata murid lelakinya paling sedikit punya dua istri, dan murid perempuannya sudah siap dijadikan madu. Katanya lagi aku bisa memilih nanti kalau misalnya mau mencarikan teman untuk Ning. Nanti, bukan sekarang. Ada rencana tapi tidak secepatnya juga.

Hati ini masih terbelenggu oleh kecantikan Suci. Jujur saja menyentuh pinggang Ning tadi malam aku seperti menyentuh tubuh Suci. Anak itu aku yakin dia bisa menjaga diri dengan baik seperti kakaknya. Alfian aku yakin tak akan berani menyentuhnya.

Suci merupakan bunga mawar indah yang sangat harum. Kalau Ning, ya, anggap saja, bunga matahari, besar dan tak menarik. Untung punya biji-bijian yang bisa dijadikan panganan kuaci, kalau tidak maka bunga matahari tak akan ada gunanya. Begitulah sekilas perbandingan antara Bening dan Suci, dua kakak adik tapi tidak mirip sama sekali. Sejenak aku sempat berpikir kalau Bening adalah anak pungut.

“Mas, nggak sholat Subuh?” Lagi dia berani bertanya seperti itu padaku. Apa, sih, Ning ini. Kalau kata guru ngajiku, ibadah istri urusan suami, tapi ibadah suami bukan urusan istri.

“Bisa nggak kamu nggak usah nanya-nanya urusan itu, Ning. Dari kemarin kamu ingetin Mas itu aja terus. Nggak ada topik pembicaraan lain apa? Garing sekali kamu jadi orang. Pantas aja hampir jadi perawan tua!” Aku melempar ponselku ke atas kasur. Lalu aku meraih handuk dan mandi.

Hari sudah benar-benar siang dan aku ada urusan di luar sebentar. Tak aku pedulikan bagaimana reaksi Ning. Biarkan saja, istri harus selalu paham bagaimana keadaan suaminya. Sebab suami yang akan menyelamatkan istri dari api neraka. Jadi hutang budi istri pada suami sampai kapan pun tidak akan pernah bisa dibayar lunas, walau para istri bersujud di kaki suaminya. Begitu kata guru ngajiku.

Istri-istri guru ngajiku semua sangat menurut dengannya. Tak jarang janda kaya raya pun takluk saja di kakinya. Entah pesona macam apa yang guruku punya. Next time kalau andaikata dia punya mantra akan aku minta. Mungkin suatu hari aku bisa membuat Suci takluk di kakiku. Lalu Bening? Gampang, tinggal diceraikan saja kalau Suci mau denganku.

Aku mengguyur seluruh tubuhku dengan air dingin. Saat memejamkan mata terbayang lagi adegan indah tadi malam bersama Ning. Kemudian aku membuka mata dan mencuci wajah dengan sabun khusus muka. Dan saat memejam lagi yang terbayang pinggang Suci yang dibalut rok ketat. Ah, betapa surga dunia memang terletak pada setiap jengkal tubuh perempuan.

“Mas, kita sarapan?” Ning menawarkan makanan yang diberikan petugas hotel padaku. Aku lihat ada nasi goreng dan sate di sana. Aku bosan makan itu-itu saja.

“Kamu sudah makan?” tanyaku pada Ning, dia menggeleng. “Ya bagus kamu tahu diri, Ning. Berdosa istri kalau makan duluan tanpa izin suaminya. Kalau lapar tahan aja sebentar, kan, nggak mati kalau terlambat makan.” Aku mengeringkan rambut dengan handuk. Yang aku lihat Bening mengerutkan kening.

“Maaf, itu kata siapa, ya, Mas? Setahu Ning ajaran seperti itu tidak ada. Makan sama-sama baik, makan sendiri-sendiri juga nggak salah. Itu perkara mubah yang nggak harus diperbesar-besarkan.” Dia mulai lagi investigasi sebagai seorang ustazah. Hah, sok pintar. Mau mengalahkan guru ngajiku sepertinya.

“Kata guru ngaji Mas donk. Dia hebat sudah sampai ke tanah suci, kamu sudah belum?” Telak senjata yang aku lemparkan pada Ning. Dia harusnya mengerti, tak sembarang orang bisa pergi haji. Selain harus ada uang juga atas panggilan Allah. Ning belum pergi, artinya dia tidak mendapat perhatian dari Allah, berbeda dengan guruku.

“Nggak seperti itu, Mas. Kasihan donk kalau istrinya harus nungguin suami pulang larut malam, tapi dia sudah lapar dari sore.”

“Ya, tahan donk. Ning, kamu tahu, nggak, perempuan itu, kan, masuk surganya susah banget. Malahan kalian ini penghuni neraka paling banyak. Karena apa?”

“Karena apa, Mas? Ning pengen tahu apa yang diajarin sama guru ngaji Mas.” Eh, kok Ning malah menantang aku. Mana sikap penurutnya tadi malam. Berani sekali dia melawanku.

“Ya, karena berani melawan dan membantah, seperti kamu sekarang ini, Ning. Kamu sadar nggak sudah meninggikan suara di depan suami kamu. Mati kamu sekarang, masuk surga lewat mana kamu kalau belum sempat minta maaf sama Mas!” Aku benar-benar marah dengannya.

Jawaban ini pernah aku curi dengar saat guru ngajiku akan menceraikan istrinya yang keempat. Ya walau tetap juga jadi cerai. Aku yakin mantan istrinya itu berdosa besar sekali. Karena yang diajarkan oleh beliau, perempuan tidak akan mencium bau surga kalau sudah durhaka pada suaminya. Padahal bau surga itu sudah bisa dirasakan dari jauh sekali. Ya, kalau tidak salah seperti itu.

“Mas, boleh nggak kalau Ning sesekali ikut Mas ngaji.” Oh, kupikir dia akan marah, ternyata ha ha, semudah itu membuat Ning menurut padaku. Cukup ucapkan panas api neraka saja lalu dia akan tunduk. Ya, ancaman itu memang membuat nyali siapa saja ciut. Lalu aku bagaimana? Ah, Allah, kan, Maha Pemaaf. Aku sehat, aku kuat, dan aku yakin usiaku panjang untuk bertaubat nanti.

“Ooh, boleh, Ning, boleh. Nanti malam juga Mas rencananya ke sana.”

“Ning ikut, ya, Mas, Ning penasaran.” Dia tersenyum manis, tapi agak-agak kejam wajah Ning jadinya. Jangan-jangan dia psikopat lagi. Sudahlah jelek, sadis pula, untung saja layanan ranjangnya bintang lima. Membuatku ingin mengulangnya lagi, tapi nanti sekarang aku harus pergi dulu.

Ning aku lihat makan duluan, tanpa menawarkan padaku. Dasar, istri tak tahu diri. Baru saja tadi aku ceramah tentang api neraka, eh, dia lupa lagi. Ah, sudahlah, aku tak punya banyak waktu. Ada urusan penting. Seseorang sudah menungguku di bawah sana dengan penampilan yang sudah pasti cantik, menarik dan pasti wangi parfumnya menggoda sekali.

“Ning, Mas ada urusan hotel, sekalian mau ngurus resepsi kita ada yang kurang.” Aku pamitan pada Ning, kasihan nanti dia lama menungguku, atau bisa jadi meneleponku setiap sebentar. Mengganggu saja.

“Ning boleh ke rumah, Mas?”

“Nggak, tunggu, Mas di sini sampai nanti pulang. Kalau kamu lapar ambil aja di restaurant semua di sini sudah tahu kamu siapa.” Lalu aku keluar dari kamar hotel.

Aku baik sekali memberinya makanan apa pun yang dia mau. Menggugurkan kewajibanku memberi pangan yang baik untuknya. Soal baju biar dia nanti pilih sendiri saja, tinggal kasih uang dan terserah dia mau pakai gamis lebar, longgar dengan jilbab terbang tertiup angin. Yang jelas di balik baju besar itu ada rasa luar biasa yang disimpan Ning.

“Mas, dari tadi Rahma nungguin, kirain manten baru lupa keluar kamar.” Janda anak satu ini menyapaku dengan lipstik pink menggoda. Andai Ning mau berdandan seperti itu saat keluar rumah. Tentu aku tak akan tergoda dengan perempuan lain.

“Ya, nggak, Rahma, kita harus keluar hari ini, banyak urusan.” Aku mengajak karyawanku itu naik ke mobill.

“Gimana tadi malam, Mas? Puas nggak?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alis. Oh, ini sangat menggoda imanku.

“Ya, puas, donk, masak nggak.” Aku membalas senyuman Rahma. Tiba-tiba saja ada kucing melompat di dekat mobilku. Aku jadi menginjak rem mendadak. Tangan Rahma refleks memegang pahaku. Sepertinya dia juga kaget.

“Maaf, Mas nggak sengaja,” ucap Rahma sambil mengulum bibirnya. Duh, gawat ini. Kenapa Rahma jadi semakin terlihat menarik setelah aku menikah dengan Ning. Sepertinya aku harus bertemu guru ngajiku nanti malam. Tidak boleh tidak.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status