Share

Pengaruh Pergaulan

Bagian 5

Pengaruh Pergaulan

“Eh, iya, iya, maaf, Ning, maaf, Mas nggak bermaksud seperti itu.” Aku berusaha memperbaiki diri, sayang sekali kalau tidak jadi malam pertama.

Sudahlah aku keluar mahar sekian gram emas. Masak anak gadis orang tidak jadi aku coba. Terserahlah, mau dia gadis, atau mungkin dulu pernah ehem ehem dengan siapa pun, yang penting malam ini rasa penasaranku terpuaskan. Ini yang paling penting.

Aku melihat Ning hanya diam saja, seharusnya hati wanita alim sepertinya seluas samudra. Aku sering melihat kasus seperti ini. Seorang suami sudah selingkuh sampai hubungan badan berkali-kali tetapi masih dimaafkan oleh istrinya. Artinya, kalian para perempuan makluk yang mudah dimanipulasi, dibohongi dan dibodohi. Selingkuh itu cara sembuhnya cuma struk, mati, dan jatuh miskin.

“Sayang, maafin, Mas, ya, Mas, memang salah bicara tadi. Ya, siapa tahu dulu kamu pernah nikah, Ning.”

“Status saya di buku nikah anak gadis, Mas, bapak saya tahu menjaga saya, saya juga bukan perempuan murahan yang dibayar rayuan terus bisa buka kamar. Bertahun-tahun saya menahan diri supaya bisa menikmati semuanya di jalan halal, nggak taunya pertanyaan kamu menyakitkan sekali!” Dia masih marah, menyebutku bahkan menggunakan kata-kata kamu.

Apa Ning tidak takut marahnya barusan padaku dicatat sebagai dosa besar oleh malaikat. Apa dia tidak tahu kedudukan seorang istri di depan suami, tempatnya di mana, di mana. Apa harus aku yang ingatkan? Jangan-jangan dia belajar agama hanya bagian hak istri saja dan mengabaikan bagian kewajibannya.

Padahal kalau Ning tahu hak suami pada istri itu besar sekali, hak istri pada suami? Seujung kuku pun tidak akan ada. Kami, para laki-laki diciptakan dengan penuh kebebasan. Menikah lagi pun tak perlu izin istri. Karena laki-laki adalah pemimpin untuk seorang perempuan. Yang dipimpin harus patuh pada yang memimpin.

“Iya, kalau gitu, Mas, minta maaf sekali lagi, Ning. Mas salah bicara. Apa Mas perlu membelikan kamu emas lagi, supaya marahnya reda.” Rencanaku malam ini harus jadi.

Kalau tidak nanti Rahma bisa aku cari, dan Ning lagi yang akan menanggung dosa karena menolak suaminya. Ini semua akibat makanan serba sea food yang memacu adrenalinku. Darahku seperti cepat berjalan dan ingin segera sampai di puncak kepuasan.

“Saya bukan perempuan matre, Mas. Saya sudah biasa kerja keras dari kecil. Mas simpan saja uangnya daripada beli emas banyak-banyak, tapi dizakatkan saja tidak pernah.” Sial! Dia ceramah lagi, sepertinya aku harus terus mencoba.

Ingin rasanya aku katakan pada Ning, sadar dirilah kamu, Ning, suda ada saya yang mau sama kamu menyelamatkan diri kamu dari status perawan tua, ternyata kamu orangnya gampang ngambek. Kamu pikir kamu itu cantik, nggak? Saya cuma penasaran sama rasa kamu saja.

“Ning, kamu, kan, tahu, Mas begitu menghormati Ibu, dari kecil dia yang lebih banyak membesarkan dan membiayai hidup, Mas. Bapak sendiri, lebih sering malas-malasan dan kadang judi juga main perempuan. Ibu yang memilih kamu, Ning. Makanya Mas nurut, karena Mas ingin membahagiakan Ibu. Surga kita sebagai anak ada di kaki orang tua, Ning. Pahalanya besar sekali kalau membahagiakan mereka di sisa umurnya.” Akhirnya jurus andalanku keluar juga.

Kalau masih tidak mau juga, Ning akan aku paksa. Terserah, pokoknya harus mau. Terus dia mau melawan gitu? Memang bisa? Mau lapor polisi? Siapa? Alfian? Yang ada ditertawakan karena kasus suami memperkosa istri. Analisaku memang hebat sekali.

“Ning, kamu masih marah, sekali lagi Mas minta maaf.” Aku mengajak Ning duduk kembali di kasur.

Pernah aku baca di sebuah buku agama, kalau marah itu duduk, bukan berdiri, supaya hati tenang. Aku memang pintar urusan seperti ini. Dia yang aku lihat mulai menarik napas panjang. Aku yakin Ning hatinya sangat lapang seluas samudra.

“Iya, Ning, maafkan, Mas,” katanya begitu. Yes, aku bersorak dalam hati. Rencanaku malam ini pasti berhasil.

Baru aku ingin melancarkan aksiku, dan Ning mulai diam saja, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku mencebik kesal. Salahku juga tidak memasang peringatan jangan diganggu sampai pagi, demi privasi. Ya, sudah aku lihat saja siapa yang datang. Ternyata seorang room boy, dia bilang ada teman-temanku di bawah ingin bertemu.

Yang benar saja, sekarang? Padahal aku ada ritual penting dengan Ning. Permintaannya pula aku membawa serta istriku. Teman-teman yang berasal dari komunitas motor besar. Mereka semua ganteng dan berduit, sama seperti aku.

“Ning, kamu pakai baju, ada teman-teman Mas di bawah.” Aku terpaksa mengajaknya, aku suruh saja di dandan sedikit supaya cantik.

Ning menurut tanpa menjawab sama sekali, dan lagi-lagi dia memakai gamis longgar dan besar. Coba saja bajunya dikecilkan sedikit saja, pasti aku bisa membanggakannya di depan teman-temanku.

“Nggak pakai lipstik, Ning?” Polos sekali wajahnya, terlalu sederhana untuk istri sekelas pengusaha seperti aku.

“Nggak biasa, Mas, lagian ini udah malam, seharusnya kita istirahat, bukan terima tamu.” Oh, aku paham, ternyata dia juga sudah tidak sabaran ingin malam pertama denganku. Baiklah, nanti pertemuan singkat saja kalau begitu.

Terpaksa aku menggandeng tangannya, menjelang bertemu dengan teman-temanku. Ada sekitar sepuluh orang yang datang. Padahal mereka bisa hadir nanti pas resepsi, tapi begitulah kadang-kadang pikiran kami out of the box.

Beberapa di antara mereka ada yang sudah menikah dan punya anak. Ada juga yang punya selingkuhan dan istri muda simpanan. Katanya bosan rasa di rumah itu-itu saja. Selain makan daging ayam, katanya sesekali ikan asin itu perlu. Hanya aku yang masih berpikiran lurus.

“Ini istri kamu, Zi.” Salah satu temanku melirik penampilan Bening Sari.

“Wah, keren, dapat ukhti soleha, amalan apa yang kamu buat sampai dapat calon bidadari surga gini, bagi resep donk, lumayan ni buat nambahin temen istri gue di rumah.” Eh, aku pikir teman-temanku akan mencibir Ning, ternyata malah memuja. Apa mereka tidak salah lihat? Ning itu tidak ada cantiknya sama sekali.

“Mbak, kenalin, saya Anwar temennya Fauzi.” Aku melihat salah satu temanku mencuri start. Dia menyodorkan tangan ingin bersalaman, tapi Ning hanya balas menangkupkan dua tangan saja. Ya, ya, kata temanku calon bidadari surga, mungkin jijik bersentuhan sama yang lain.

“Oh, maaf, kirain mau salaman sama siapa aja.” Anwar langsung mundur. Heran aku apa yang dilihat oleh kedua matanya.

“Zi, yang kayak gini kamu jaga baik-baik. Cewek seksi, semok, body montok udah terlalu banyak yang pamer aurat. Yang gini ini, langka, Zi. Coba saya yang dapat duluan. Saya ceraikan semua simpanan saya.” Riki, temanku selain Anwar juga agak aneh. Apa coba istimewanya seorang Ning, yang, tubuhnya tidak semampai, tapi pinggang aduhai.

Aku sengaja mengalihkan obrolan, sebentar saja mereka datang tak sampai setengah jam. Mereka menyerahkan sebuah bingkisan pada kami. Aku sempat menanyakan ke mana mereka hari H nanti, kenapa harus repot-repot malam ini juga. Katanya akan ada touring Jawa Sumatra dan memakan waktu sangat lama. Kulirik Ning, dia sudah mulai mengantuk. Aku suruh saja dia membawa masuk bingkisan ini dan mengantar teman-temanku pulang.

“Lo kalau misalnya udah bosan sama istri lo, kasih gue aja, ya.” Anwar sepertinya masih penasaran dengan Ning.

“Enak aja, lo pikir istri gue barang!” Aneh, kenapa aku harus marah ketika Ning dilecehkan. Anehnya lagi kenapa orang sejelek dia sampai bisa dilecehkan?

“Bukan gitu, gue mah modelan kayak ukhti soleha gini, gue sayang-sayang jadikan ratu di rumah, kalau model ladies club, ya, cuma buat senang-senang aja. Lu tahu, kan, kalau istrinya baik anak kita lahir nanti bisa jadi baik, sebejad dan sejahat apa pun bapaknya. Nah, gue walaupun suka mabok, juga harus dapat istri soleha. Masalah wajah gampang Zi, kasi duit segepok, belikan skin care, kasih out fit mahal, batu juga bisa berubah jadi cantik.” Dengan pedenya dia ingin dapat istri saleha. Mimpi. Kalau mau istri baik harus diri sendiri dulu yang baik, minimal belajar agama dulu yang bener, seperti aku ini.

Kemudian, aku mengusir teman-temanku. Semakin lama mereka di sini semakin lama juga ritual malam pertamaku. Segera aku melangkah, tapi aku sempatkan mencari Rahma sebentar, dan dia sudah pulang. Shift kerjanya sudah habis.

Aku masuk ke kamar, dan Ning sudah tertidur pulas dengan baju serta jilbab lebarnya. Aku perhatikan wajah Bening sekilas. Dari mana istimewanya sampai ditawar oleh Anwar tadi. Apa mata temanku itu sudah rabun. Seribu wanita cantik lainnya bisa dia dapatkan dengan beberapa lembar uang, kenapa harus melirik istriku yang biasa-biasa saja, ya kalau tidak mau dikatakan jelek.

Ada satu kelebihan Ning yang aku suka, yaitu pemaaf dan menerima apa pun pemberianku. Saking lamanya aku memandang wajah Ning, aku lupa kalau ada agenda yang harus selesai malam ini juga. Segera saja aku buka bajuku dan berbaring di sebelah Ning. Aku mulai melepas jilbab lebarnya, dia terkesiap bangun, sepertinya terkejut, dan menatapku seperti orang ketakutan. Kenapa? Aku, kan, suaminya, tubuhnya milikku, tubuhku tidak serta merta menjadi milik Ning sepenuhnya.

“Kamu nggak lupa, kan, sama kewajiban kamu sebagai istri.” Aku menatapnya begitu dalam sampai dia paham akan kewajibannya. Tidak boleh ada bantahan, ini pernikahan yang sah di mata agama dan hukum. Mau cari perlindungan ke mana Ning? Kedudukan kamu itu sudah jelas di dalam rumah tangga seperti apa.

Akhirnya dia mengangguk saja. Ah, banyak sekali drama yang harus aku lewati demi mendapatkan malam pertama yang begitu legenda di mata teman-temanku. Aku tidak seperti mereka. Teman-teman satu komunitasku kebanyakan melepas masa lajang dengan kupu-kupu malam, bahasa halus dari lonte. Aku tidak, aku menjaga keperjakaanku. Ning beruntung mendapatkanku.

Malam yang penuh keberuntungan. Aku mendapatkan yang katanya orang-orang adalah surga dunia. Dan benar rasanya memang tidak akan pernah aku lupakan. Kenapa bisa begitu? Karena aku membayangkan wajah Suci ketika aku mengambil apa yang memang menjadi hakku. Akhirnya, lepas juga predikat perjakaku. Aku tersenyum puas, ketika mendapatkan segalanya.

Sempat aku lirik sprei, tidak ada bercak darah sama sekali. Ah, ya sudahlah, anggap saja Ning memang gadis baik-baik. Lagi pula aku tak tahu apa bedanya orang yang sudah pernah berkali-kali dan belum sama sekali. Lalu dari mana aku belajar semuanya? Kalau aku belum pernah mencoba dengan barang murahan di luar sana?

Aku rajin menonton film semi plus plus. Sebagai ilmu, itu wajar, dan boleh-boleh saja. Sampai di sini aku maklum kenapa para pemerannya bisa ketagihan mencoba berkali-kali. Terbayarkan sudah rasa penasaranku. Ning akan ada terus di sisiku, terserah aku akan memakainya kapan saja, dan semoga saja dia tidak mendengar tadi kalau aku sempat menyebutkan nama Suci, kelepasan, tidak sengaja.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status