Bagian 9 Menghayal Bener-bener si Bening ninggalin aku meskipun aku berat melepasnya. Sudah punya istri wajah pas-pasan, melawan pula. Apa bagusnya coba? Aku telpon dia setelah dua jam keluar dari kamar hotel. Yang jawab malah Suci. Ya nggak apa-apa, sih. Tapi kenapa dia malah jawab ketus, ya. Harusnya Suci bicara lemah lembut padaku. Katanya Bapak mereka sakit, malah sekarang sedang on the way menunggu taksi mau ke rumah sakit. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan, bisa aku yang ke sana cari muka. “Dek Suci, tunggu, ya. Mas sebentar lagi ke sana.” Aku langsung menutup panggilan. Ngebut aku membawa mobil. Asalkan cepat sampai ke rumah mertuaku. Anggap saja ini perjuangan untuk membawa nama baikku di depan adik ipar. Soal Bening, ah, terserah dia saja mau gimana. Hampir satu jam aku baru sampai di depan rumah mertuaku. Sialnya aku keduluan lagi sama Alfian. Ah, gara-gara Bening. Coba dia jujur kalau bapaknya butuh kendaraan ke rumah sakit. Aku pasti ulurkan bantuan. Dasar, istri p
Bagian 8 Skin Care “Ah, nanti saja bahas masalah itu, Rahma. Masih terlalu dini. Mas masih harus mengurus resepsi dua minggu lagi sama Bening. Jadi rasanya kayak mustahil gitu ngomongin nikah lagi sama dia.” Aku mengerti sekali maksud Rahma. Cuman, memang tabu sekali rasanya, bisa-bisa aku dibunuh sama mamaku. “Iya, Mas, nggak apa. Rahma bisa nungguin, kok, asal Rahma jangan dipecat aja. Cari kerja sekarang susah, mana bapaknya anak-anak nggak pernah kasih nafkah. Rahma beneran jadi single parent. Capek, pengen ada yang nafkahin.” Rahma curhat lagi, kasihan aku melihat wanita secantik dia harus menderita. Seharusnya, ya, Rahma diperlakukan sebagai ratu. Bening saja yang muka pas-pasan tidak akan aku izinkan kerja. Apa kata dunia nanti? “Yuk, Rahma.” Aku berdiri lalu membayar tagihan makan siang. Nggak apa-apa sesekali keluar biaya mahal demi mentreate seorang perempuan cantik. Jangankan sea food, isi lautan aku beli supaya Rahma bisa bahagia. “Mau ke mana lagi emangnya, Mas?” “L
Bagian 7Tiga Perempuan “Nggak apa-apa, Rahma, santai aja. Kayak sama orang lain aja kamu bicara.” Aku melanjutkan laju mobil agar kami lekas sampai ke tujuan. Kemudian kami berdua membisu dalam keheningan. Sesekali kulirik janda berkelas di sebelahku. Heran, padahal sudah sempurna dengan jilbab dililit leher dan cantik jelita, entah kenapa mamaku tak mau menerimanya sebagai menantu. Apakah Mama uderestimate dengan janda? Padahal beliau juga janda. “Mas,” panggil Rahma dengan suara manja. “Iya, kenapa? Gaji kurang?” Aku membelokkan mobil ke tempat tujuan kami. “Bukan itu?” Dia cemberut, lucu sekali. “Terus?”“Rahma perhatikan, Mbak Bening teduh ya wajahnya. Khas ustadzah gitu, Rahma jadi segan sama beliau.” Hah, gak salah kata Rahma. “Rahma, mata kamu rabun atau gimana?” Kemudian kami berdua keluar dari mobil sambil tetap berbincang-bincang. Aku masih menjalankan kebiasaan lamaku, memegang tangan Rahma. Ah, udahlah, hanya pegang tangan saja tanpa ada unsur apa pun. “Loh, mema
Bagian 6 Salah Pengajian Aku puas sekali tadi malam dengan pelayanan Bening. Tak kusangka dibalik jilbabnya yang lebar itu ternyata dia … ya begitulah. Kupikir dia akan diam seperti batu saja, dan aku yang menguasai permainan. Ternyata hmmm, dia mengesankan sekali. Benar ternyata kata teman-temanku. Kalau perempuan berjilbab lebar itu justru lebih mahir untuk urusan domestik yang satu itu. Alasannya, karena sebenarnya mereka juga sudah lama ingin, tetapi ditahan karena tak ada lawannya. Ya, tepatnya tidak ada yang mau dengan Bening, selain aku tentunya. Maka Ning sudah seharusnya berterima kasih padaku karena telah menaikkan statusnya jauh lebih terhormat, dari perawan tua menjadi seorang istri. Tentu semua orang tahu bagaimana posisi istri, terutama di Indonesia. Negara yang amat sangat menjunjung patriarki. Istilah pepatahnya surgo manut, neroko katut. Suami masuk neraka istri ikut, ke surga pun begitu. Ya, jadi hidup seorang istri memang sangat bergantung pada suaminya. Untun
Bagian 5 Pengaruh Pergaulan “Eh, iya, iya, maaf, Ning, maaf, Mas nggak bermaksud seperti itu.” Aku berusaha memperbaiki diri, sayang sekali kalau tidak jadi malam pertama. Sudahlah aku keluar mahar sekian gram emas. Masak anak gadis orang tidak jadi aku coba. Terserahlah, mau dia gadis, atau mungkin dulu pernah ehem ehem dengan siapa pun, yang penting malam ini rasa penasaranku terpuaskan. Ini yang paling penting.Aku melihat Ning hanya diam saja, seharusnya hati wanita alim sepertinya seluas samudra. Aku sering melihat kasus seperti ini. Seorang suami sudah selingkuh sampai hubungan badan berkali-kali tetapi masih dimaafkan oleh istrinya. Artinya, kalian para perempuan makluk yang mudah dimanipulasi, dibohongi dan dibodohi. Selingkuh itu cara sembuhnya cuma struk, mati, dan jatuh miskin. “Sayang, maafin, Mas, ya, Mas, memang salah bicara tadi. Ya, siapa tahu dulu kamu pernah nikah, Ning.” “Status saya di buku nikah anak gadis, Mas, bapak saya tahu menjaga saya, saya juga bukan p
POV FauziNing istriku. Aku tak peduli walau aku tak cinta dengannya. Walau ilmu agamanya lebih tinggi dariku. Dia tetap berada di bawah kendaliku. Aku yakin Ning tahu akan hal itu. Dia akan paham mengapa aku begini dan mengapa aku begitu. Semua karena dia sudah 100% menjadi hakku, mau aku jadikan keset kaki juga tak masalah. “Atur semua baju di dalam lemari,” ucapku padanya ketika sampai di kamar hotel. Setiap hotel yang aku bangun, selalu ada kamar khusus untukku. Memang hotelku bukan bintang 4 atau 5 tapi aku bisa pastikan fasilitas di sini juga sangat baik. Terlebih lagi hotelku memenangkan predikat sebagai hotel syariah. Tidak ada buku nikah atau copiannya, pasangan muda-mudi tidak boleh menginap di hotelku. Ini sudah menjadi bukti bahwa aku lelaki yang paham ilmu agama. Jelas sekali Ning berutung memilikiku dan aku yang sial menikah dengannya. “Tapi, Mas, nggak bawa baju, ke sini,” jawabnya. “Ya baju kamu, Ning, bukan baju saya. Urusan baju saya bisa diurus sama resepsionis