Share

Tangisan Penat

Penulis: Blue Ice
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-12 23:56:51

Setelah kejadian tak mengenakan beberapa hari yang lalu, hubungan ku dan Abizar semakin senyap. Meski pemuda itu sudah mau bergabung bersama di meja makan, namun sikapnya masih acuh tak acuh padaku. 

 Yah..., terserahlah! Aku juga sudah muak kepadanya. Dapat ku rasakan beberapa kali pemuda itu menatapku saat kami bertemu di meja makan. Namun aku berusaha mengabaikannya lantaran jika balik ku tatap, Abizar akan mengalihkan pandangannya.

Menyebalkan bukan?! 

Untuk selanjutnya, aku ingin menjalani kehidupan sekolah ku dengan nyaman. Setelah lulus SMA, aku akan membicarakan masalah perceraian kami ke kedua orangtua Abizar. 

Ku hembuskan napas berat mengingat semua beban yang harus aku tanggung sekarang. Aku hanya menatap kosong pada kumpulan bunga pada taman di depan rumah Abizar. 

Meski di tengah gelapnya malam, bunga-bunga mawar yang berjejer itu terlihat indah dengan sedikit memantulkan cahaya lampu penerangan di taman. Angin malam yang lembur membawa aroma mawar yang memabukkan, tetapi keheningan taman itu terasa berat, seolah menyimpan rahasia gelap.

 

 Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ponsel ku yang berdering. Saat ku cek, ternyata ada panggilan video dari Ibu. Aku langsung sumringah. Sejak kedatanganku ke kota, baru kali ini Ibu menelpon ku.

 “Hallo, Assalamu alaikum Ibu!” sapaku tanpa menutupi rasa bahagia yang sudah membuncah.

 “Wa’alaikum salam! Apa kabar, Sayang? Maaf ya, Ibu baru punya data untuk menghubungi mu,” balas Ibu.

 Aku langsung menggeleng sambil mengatakan tidak apa-apa. Asalkan masih bisa menghubungi Ibu, kendatipun harus menunggu waktu lama karena tidak setiap hari Ibu punya data, aku pun tak masalah.

“Ibu apa kabar? Ibu tahu nggak... .”

 Karena terbawa suasana, percakapan kami mengalir begitu saja. Aku menceritakan kepada Ibu tentang teman-teman sekelasku yang menerimaku dengan baik sebagai murid baru. Lalu juga pengalaman menyenangkan lainnya dengan menutupi beberapa kejadian tak mengenakan tentu saja.

 Aku juga menutupi fakta bahwa diriku di bawa Ayah ke kota hanya untuk menggantikan Keyla menikah. Aku takut Ibu malah kepikiran di sana. Lebih baik ku rahasiakan saja sampai aku pernikahan ini selesai.

 “Keyla mana? Bisakah kamu panggil dia? Ibu merindukannya,” kata Ibu yang seketika membuat senyum ku luntur.

 Rasa bahagia yang baru saja memenuhi dadaku berubah menjadi perasaan was-was. Aku berkeringat dingin karena baru sadar saat ini aku tidak lagi satu atap dengan Keyla.

 “Ma-maaf Ibu, sepertinya Keyla ada sudah tidur. Soalnya jadwal Keyla sangat padat. Sepertinya dia kecapean!” kataku dengan sedikit terbata karena harus merangkai sebuah kebohongan untuk membuat Ibu percaya.

 Untungnya posisi ku saat ini berada di luar rumah, sehingga Ibu tidak akan menyadari bahwa aku bukan di rumah Ayah. Sebisa mungkin ku mengatur kameraku agar tidak menyorot rumah Abizar. 

 “Ahhh..., begitu ya?” lirih Ibu hampir tak terdengar di telepon.

 Dadaku rasanya seperti diremas saat melihat Ibu menunduk kecewa karena tidak bisa berbicara dengan Keyla. Ibu pasti sudah sangat merindukan Keyla karena sudah 10 tahun kami berpisah. Sewaktu datang ke kampung, Keyla tak mau turun dari mobil untuk bertemu sapa dengan Ibu. 

 ‘Maaf Ibu. Lain kali aku akan ke rumah ayah agar Ibu bisa saling bicara dengan Keyla,’ janji ku dalam hati.

 Ibu juga tidak ingin terdiam lama sehingga buru-buru mengubah ekspresi sedihnya dengan senyum tipis, namun matanya berkabut, seolah tengah menyembunyikan rasa kecewanya.

 “Kamu baik-baik di sana ya, Sayang. Ingat, jangan bertengkar dengan Kakakmu! Jangan buat marah Ayahmu juga! Karena Ibu tidak bisa membela mu jika Pria itu murka,” nasehat Ibu.

Aku terkekeh mendengar nasehat Ibu. Perihal pertengkaran, aku dan Keyla sudah tak satu atap. Jadi, mana mungkin akan bertengkar. 

Mengenai Ayah, aku tak tahu mengapa Ibu berulang kali memperingatiku untuk tak membuat marah Ayah. Padahal seingatku, Ayah hanya sedikit galak saja. Meski terkadang bisa memaksa juga.

 “Siap Bu! Aku dan Keyla tidak bertengkar, kok. Paling..., sesekali kami saling pukul, Hehehe. Aku juga akan berhati-hati supaya Ayah tidak marah. Ibu tenang saja!” Aku mengangkat ibu jariku dengan tersenyum lebar ke arah Ibu. 

 Aku lega saat melihat senyum Ibu sebelum panggilan video kami berakhir. Sesaat kemudian, aku merasa hampa. Kini aku kembali diselimuti dengan kesunyian malam. Setiap kebohongan yang ku sampaikan ke Ibu malam ini bagikan duri dalam hati.

 Tanpa sadar aku mulai terisak. Rasa bersalah membuat hatiku tak nyaman. Namun aku juga tidak ingin Ibu tahu kondisi ku di sini yang seperti sudah di ‘buang’ begitu saja oleh Ayah ke keluarga Bimantara. 

 Aku menenggelamkan wajahku ke lutut agar bisa meredam suara isakan yang tak mau berhenti. Biarlah aku menangis malam ini dengan sesekali merapal kata maaf untuk ibu ku. Aku ingin menumpahkan semuanya agar besok aku sudah tidak memikirkan beban yang berat ini. 

Detik demi detik berlalu hingga tanpa sadar sudah 30 menit ku habiskan hanya untuk menangis karena rasa bersalah itu. Setelah memastikan tak ada lagi isakan, aku segera memeriksa wajahku dengan kamera ponsel. 

Takutnya nanti saat aku akan masuk ke kamar aku bertemu dengan orang rumah dan mereka melihat penampilanku yang baru saja menangis ini.

 “Ck, kayaknya aku terlalu lebay malam ini!” gerutu ku saat melihat kedua mataku begitu sembab.

 Aku melihat lagi ke sekitar untuk memastikan tak ada yang melihat tangisanku. Sebelum masuk ke rumah, aku membasuh wajahku di taman yang ada perlengkapan keran airnya. Jika basah dengan air, maka bekas tangisanku tak akan terlalu terlihat.

Kemudian aku segera beranjak dari sana. Lebih baik aku segera masuk ke kamar sebelum Tante Sandra datang menegur apabila aku terlalu lama berada di luar saat malam. 

Ketika aku melangkah menuju pintu, tubuhku tiba-tiba terhenti. Ada sosok yang berdiri tepat di sampingnya—Abizar. Pemuda itu berdiri dengan tubuh tegap, kedua tangan terlipat di dada, dan matanya tertutup rapat seolah sedang mendengarkan sesuatu dengan earphone yang terpasang di telinga.

Aku terkejut. Sejak kapan dia ada di sini? Apa dia mendengar semuanya?

Jantungku berdetak kencang. Wajahku memerah, malu karena baru saja menangis di taman. Badanku membeku, seolah seperti maling yang ketahuan basah oleh tuan rumah. Aku hanya bisa berdiri di sana, berusaha menenangkan napasku.

Setelah beberapa detik yang terasa lama, Abizar akhirnya membuka matanya. Tatapannya yang tajam menembusku, seolah ingin menelusuri setiap perasaan yang baru saja kupendam. Namun, dia tetap diam—hanya berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu.

Aku menelan ludah. Berharap, entah, apakah dia mendengar tangisku atau tidak.

“Ada apa?” Suara Abizar mengiris keheningan. Tidak ada ekspresi, hanya nada datar yang membuat hati semakin gelisah.

Aku ingin menjawab, tetapi suaraku serasa terhenti di tenggorokan. Dalam sekejap, aku merasa seperti terjebak dalam ketegangan yang tidak bisa kupahami.

Abizar melangkah mendekat. Gerakannya lambat, tapi setiap langkahnya seperti mengguncang udara di sekitarku.

“Jangan berlama-lama di luar,” katanya pelan, namun ada nada yang tak biasa dalam suaranya. “Mama mungkin akan mencarimu.”

Aku hanya mengangguk, berusaha mengendalikan perasaan yang semakin membingungkan. Setiap detik yang berlalu terasa menyesakkan. Dengan satu gerakan cepat, aku mengalihkan pandangan dan masuk ke dalam rumah, berusaha menghindari tatapan yang penuh makna dari Abizar.

“Tunggu!” Abizar kembali memanggilku. Tubuhku menegang langsung membeku di tempat. 

‘Apa ada hal lain yang ingin dia bicarakan denganku?’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Giveaway dari Kembaran Ku    Ending...

    Langit berwarna jingga keemasan, angin sepoi menyapu lembut pekarangan tempat keluarga besar berkumpul sore itu. Setelah semua kekacauan dan luka masa lalu, akhirnya hari ini adalah hari tenang pertama bagi keluarga Bimantara. Keyra berdiri di balkon lantai dua, menatap matahari yang perlahan turun, membawa damai setelah badai panjang dalam hidupnya. Tanpa ia sadari, Abizar datang dari belakang, memeluknya dari belakang, erat dan penuh rasa. “Kamu yakin... masih ingin bersamaku?” bisik Keyra pelan, suaranya bergetar. “Aku sudah menyetujui cerai... aku pikir kamu akan pergi.” Abizar menggeleng. “Kamu pikir hatiku bisa diubah seperti itu, Ra?” “Kamu pikir setelah semua luka yang kita lewati, aku bisa begitu saja membiarkanmu pergi?” Keyra mulai menangis pelan. Namun pelukan Abizar justru semakin erat. “Aku tetap memilihmu, meski dunia bilang aku bodoh. Hatiku terkunci untukmu, Keyra. Dari dulu, sekarang, sampai nanti. Kamu satu-satunya rumahku.” Abizar menarik wajah Keyr

  • Suami Giveaway dari Kembaran Ku    Keputusan

    Langit mendung, seolah mencerminkan hati Kinara yang belum tenang. Sejak kepulangannya, dia terus mencoba mendekati Keyla, menyampaikan penyesalan dan keinginannya untuk memperbaiki segalanya. Namun selama berhari-hari, Keyla tak banyak bicara. Dia mengurung diri di kamar tamu, menghindari siapa pun, bahkan Keyra dan Abizar. Hari ini, Kinara kembali berdiri di depan pintu kamar itu. Dengan tangan menggenggam secangkir teh hangat, dia mengetuk perlahan. “Keyla… boleh Ibu masuk?” Tak ada sahutan. Setelah lama menunggu, pintu akhirnya terbuka sedikit. Keyla menatap ibunya tanpa ekspresi. Kinara melangkah masuk. “Ibu hanya ingin bicara… bukan untuk memaksa.” Keyla duduk di tepi ranjang. “Kau sudah bilang itu tiga hari lalu, dua hari lalu, dan kemarin.” Kinara tersenyum pahit, lalu duduk di sisi ranjang. “Ibu tahu tak akan mudah… Tapi kamu harus tahu, Ibu pulang bukan hanya untuk membongkar kejahatan keluarga Sanjaya, tapi juga… untuk menebus kesalahan pada kamu Keyla menatap

  • Suami Giveaway dari Kembaran Ku    Menuju akhir

    Riuh rendah suasana sekolah hari itu berbeda dari biasanya. Bisik-bisik terdengar di lorong kelas, sebagian besar membicarakan satu hal yakni kejatuhan keluarga Sanjaya.Di balik berita viral itu, nama Keyla ikut terseret, bahkan menjadi sorotan utama. Wajahnya yang dulu selalu penuh percaya diri kini terlihat pucat dan penuh tekanan. Beberapa teman dekatnya mencoba bersikap netral, tapi lebih banyak yang mulai menjauh secara halus."Keyla, sabar ya. Pasti kamu juga nggak tahu mengenai kasus keluargamu, kan? Kamu tenang aja, kita masih ada dipihakmu, kok!" hibur salah satu teman Keyla. "Iya. Maaf ya, karena aku tidak tahu tentang kejahatan Papa dan Kakekku. Seandainya aku tahu, aku pasti mengehentikan mereka," balas Keyla dengan ekspresi sedih. Namun berbanding terbalik dengan batin Keyla yang mendumel kesal. 'Sialan! Banyak yang menertawakan ku karena sudah jatuh. Aku tak bisa begini terus. Citraku benar-benar rusak karena rencana Papa gagal! ARRGHHH!' Saat itu, rombongan Keyra le

  • Suami Giveaway dari Kembaran Ku    Senjata Makan Tuan!

    Hari Minggu menjadi hari istirahat para remaja SMA yang baru menyelesaikan ujian sekolah. Keyra duduk di ruang tamu bersama Tante Sandra, tak sabar menantikan kepulangan Ibunya. Satu Minggu yang lalu, Kinara dengan kondisi belum stabil memaksa ikut ke tempat lelang. Katanya agar bisa memberi kejutan pada Keluarga Sanjaya.Sejak hari itu, Keyra hanya sesekali menghubungi ibunya karena kendala Ujian. Jika dia tidak salah, seharusnya hari ini acara lelang itu berakhir. Apakah rencana mereka berhasil?"Tenanglah..," ujar Tante Sandra dengan lembut."Keyra! Mama!" Abizar tiba-tiba berteriak heboh sambil berlari menuruni tangga."Ada apa?" tanya Keyra yang heran."Kita berhasil! Keluarga kita memenangkan lelangnya!" ungkap Abizar.Keyra ikut terperangah, "Benarkah? Aaah, syukurlah."Keyra ikut senang dengan kabar itu. Sangking senangnya dia melompat memeluk Abizar, meluapkan rasa lega. Abizar membalas dengan senang hati. Akhirnya, rasa lelah mereka saat menyelematkan Kinara terbayarkan.Tan

  • Suami Giveaway dari Kembaran Ku    Game Over?

    Lokasi Lelang Tambang Batu Bara - Aula Sementara Dekat Lokasi TambangDeretan kursi VIP tampak dipenuhi oleh para pengusaha tambang dari berbagai daerah. Di bagian depan, dua kubu besar menempati baris utama, perwakilan Sanjaya Corp dan perwakilan dari Bimantara Corp.Di sisi kanan, Wira Sanjaya duduk dengan senyum percaya diri. Di sebelahnya, Kakek Wijaya tampak tenang, meski sorot matanya menyiratkan keinginan menguasai penuh aset tambang tersebut. Mereka sangat percaya diri bisa memenangkan lelang dengan proposal bisnis buatan Kinara, serta bantuan surat wasiat palsu untuk membujuk Tuan Hanafiah.“Lelang ini formalitas saja,” bisik Wira pada Ayahnya. “Dengan surat wasiat ini, mereka tak punya celah untuk menang.”“Pastikan kamu tetap tenang. Setelah ini, tambang itu milik kita,” sahut Kakek Wijaya pelan.Sementara di sisi lain, Om Rudi dan Kak Rangga dari Bimantara Corp duduk dengan tenang. Mereka tampak menunggu dengan senyuman tipis. Dapat mereka lihat raut kesombongan dari sisi

  • Suami Giveaway dari Kembaran Ku    Detik-Detik...

    Lorong-lorong sekolah dipenuhi wajah-wajah lega para siswa yang baru saja melewati minggu berat. Suara tawa dan desahan napas lega terdengar di mana-mana. Keyra melangkah keluar dari kelasnya dengan wajah letih, tapi ada sedikit senyum di sana. Ujian itu seperti mimpi buruk yang akhirnya lewat juga.“Keyra!” panggil seseorang dari belakang.Keyra menoleh. Kevin sedang berlari kecil mendekatinya sambil membawa selembar kertas bekas cakaran. Dia meremat kertas itu menjadi bola kecil, lalu melemparnya ke dalam tong sampah. Menandakan akhir dari perjuangan di semester satu.“Eh, Kevin. Udah selesai?” tanya Keyra.“Udah. Gila sih, tadi nomor terakhir bikin nyaris nangis,” Kevin menyodorkan wajah dramatis. “Kamu sendiri gimana?”Keyra mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Lumayan. Kupikir bakal parah, soalnya ini ujian pertamaku di Nusa Bangsa. Tapi ternyata nggak seseram yang aku bayangin.”Kevin mengangguk kagum. “Kamu keren sih, Ra. Bisa ngimbangin materi yang telat dikejar dalam wakt

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status