Baru saja aku hendak melangkah, suara Abizar menghentikanku. Jantungku seperti ingin copot. Gugup bercampur malu, apalgi yang mau dia bicarakan denganku? Aku menghela napas sebelum berbalik menghadapnya.
Mata Abizar tajam menatapku, seolah sedang menimbang sesuatu. Dahinya sedikit berkerut, membuatku semakin tak nyaman. Aku tersenyum canggung, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
“Ada yang bisa kubantu?” tanyaku, mencoba terdengar santai.
Aku berharap wajah sembabku tak terlalu mencolok. Tatapan Abizar begitu menusuk, membuatku ingin berbalik saja. Namun, dia tetap diam. Ketenangannya justru semakin mengintimidasiku.
‘Apa sih? Kenapa malah diam? Bicara sesuatu, dong!’ batinku mulai frustrasi.
Kakiku mulai kesemutan, sementara Abizar masih terpaku menatapku tanpa sepatah kata pun. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya memberanikan diri bersuara.
“Maaf, ada apa ya? Ka-kalau tidak ada, aku mau ke kamar dulu.”
Abizar seperti tersadar dari lamunannya. Sekilas aku melihat dia menelan ludah sebelum buru-buru mengalihkan pandangannya.
“Tidak! Tidak jadi!” ujarnya cepat, lalu pergi begitu saja.
Aku melongo. Nah, lihat, kan? Betapa tidak jelasnya pemuda satu ini. Rasanya ingin melempar sandal ke punggungnya yang mulai menjauh.
“Apa-apaan sih? Tiba-tiba manggil, terus pergi gitu aja? Nggak ada penjelasan sedikit pun? Dasar nggak jelas!” aku menggerutu sepanjang jalan menuju kamar.
Padahal, ini bisa masuk rekor MURI, pertama kalinya Abizar memanggilku sejak insiden di sekolah beberapa hari lalu. Sayangnya, aku tak tahu apa yang ada di kepalanya.
‘Kenapa dia malah diam? Apa dia melihatku menangis di taman tadi?’
Astaga. Kalau benar, aku ingin menggali lubang dan mengubur diri sekarang juga!
“Semoga nggak... semoga nggak...” gumamku, mengubur wajah di bantal.
Sudahlah. Aku harus tidur. Besok ada Pelajaran Penjaskes di jam pertama, dan aku harus fit untuk mata pelajaran favoritku. Ku pejamkan mataku sampai tidak sadar terlelap dengan sendirinya.
.
.
.
Pagi-pagi sekali aku sudah siap berangkat sekolah. Setelah memastikan membawa baju Olahraga di tas, aku segera turun ke lantai bawah dengan langkah ringan. Hari ini, aku ingin berangkat lebih awal. Selain karena ada pelajaran Penjaskes di jam pertama, aku juga tak mau berlama-lama satu meja makan dengan Abizar.
Namun, rencanaku sepertinya harus kandas.
Saat aku tiba di ruang makan, Tante Sandra sudah duduk di sana, menyeruput teh hangatnya dengan anggun. Tatapannya langsung tertuju padaku.
“Kamu mau berangkat?” tanyanya tenang.
Aku sedikit tersentak, tetapi segera mengangguk. “Iya, Ma. Aku mau berangkat lebih awal.”
Tante Sandra menaruh cangkirnya, lalu menatapku lebih dalam. “Untuk sementara, kamu berangkat dengan Abizar saja.”
Aku mengerutkan kening. “Tapi, kenapa, Ma?”
“Mama butuh mobil untuk acara penting hari ini,” jawabnya singkat namun tegas.
Aku menghela napas pelan. Jadi, aku tetap harus satu mobil dengan Abizar?
Melihat ekspresiku yang kurang senang, Tante Sandra menambahkan, “Jangan khawatir, ini hanya sementara. Lagipula, kalian harus tetap berhati-hati di sekolah. Jangan sampai ada yang curiga dengan hubungan kalian.”
Peringatan itu membuatku sedikit tegang. Aku paham maksudnya, tapi rasanya tetap berat menjalani situasi ini. Tolonglah, aku masih tidak ingin bersitatap dengan Abizar karena rasa mau yang luar biasa karena kejadian semalam.
Belum sempat aku menjawab, suara langkah terdengar dari tangga. Abizar turun dengan gaya khasnya yang santai, tanpa ekspresi, dengan tas yang disampirkan di bahunya.
Dia melirikku sekilas sebelum duduk dan mulai sarapan. Aku menggigit bibir. Apakah Abizar sudi jika aku numpang di mobilnya?
“Abizar, kamu berangkat dengan Keyra, ya. Mama mau pakai mobil hari ini,” ujar Tante Sandra membuatku semakin gugup.
“Oke Ma!” balas Abizar terdengar santai.
Aku langsung menoleh dengan tak percaya. Wah, dia beneran mau berangkat denganku?
“Jadi, Keyra mau kan berangkat bersama Abizar?” tanya Tante Sandra padaku.
Aku sedikit gelagapan. Namun sepertinya aku tak punya alasan untuk menolak “Iya, Ma,” ujarku akhirnya.
Tante Sandra tersenyum puas. “Bagus. Sekarang, makan dulu sebelum berangkat.”
Kami melanjutkan sarapan dalam keheningan. Hingga tak terasa makanan di piringku sudah habis. Bersamaan dengan itu, Abizar juga berdiri dari kursi, bersiap untuk berangkat.
Aku ikut beranjak dan mengikutinya menuju mobilnya yang sudah dikeluarkan di halaman. Abizar masuk terlebih dahulu ke kursi kemudi.
Aku juga membuka pintu mobil dan tanpa pikir panjang langsung duduk di kursi belakang. Duduk di sini jauh lebih aman. Aku tidak perlu berbicara atau sekadar melirik ke arah Abizar.
Namun, baru saja aku hendak menarik napas lega, suara Abizar terdengar tajam.“Aku ini bukan sopirmu.”
Aku menegang. Dalam kaca spion, aku bisa melihat dia menatapku dengan tatapan tajam penuh protes.
“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Duduk depan!” sentak Abizar.
Aku ingin membantah, tapi melihat ekspresinya yang sudah jelas tidak mau kompromi, aku memilih untuk menyerah. Menghela napas, aku membuka pintu dan berpindah ke kursi depan dengan enggan.
Begitu aku duduk, Abizar langsung menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa. Mobil melaju dengan tenang, tapi suasana di dalamnya sama sekali tidak nyaman.
Aku menatap lurus ke depan, berusaha tidak memikirkan betapa canggungnya ini. Abizar tetap diam, fokus ke jalan dengan ekspresi datar.
Jantungku semakin berdebar saat kami semakin dekat dengan sekolah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ada teman-teman yang melihat kami datang bersama.
Saat gerbang sekolah mulai terlihat di kejauhan, aku segera bersuara. “Berhenti di sini,” pintaku.
Abizar tidak langsung merespons, tetapi aku bisa melihat alisnya berkerut. Jadi, aku meminta sekali lagi, “Hentikan mobilmu sekarang, Please!”
“Kenapa?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
“Aku nggak mau ada yang lihat kita datang bareng,” jelasku jujur.
Abizar menghela napas panjang. “Serius? Nggak bisa langsung turun di sekolah aja?”
Aku menggeleng cepat. “Nggak. Aku turun di sini aja,” jawabku. Soalnya mumpung jalanan menuju sekolah sedang tidak banyak kendaraan lalu lalang juga. Aku rasa itu tempat yang tepat untukku berhenti agar tak dilihat siswa lain.
Abizar tampak malas, tetapi setelah beberapa detik berpikir, dia akhirnya menginjak rem dan menghentikan mobil di pinggir jalan pertigaan.
“Terserah,” gumamnya, terdengar sedikit kesal.
Aku segera membuka pintu dan turun dengan cepat. Begitu pintu tertutup, Abizar langsung melajukan mobil tanpa basa-basi. Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya, aku berhasil menghindari risiko ketahuan.
Namun, di balik kelegaan itu, aku tidak bisa mengabaikan satu hal, kenapa jantungku masih berdetak tidak karuan setelah berada di mobil bersamanya? Apa karena ini pertama kalinya kami bisa semobil hanya berdua saja?
“Astaga Keyra! Stop memikirkan dia. Sekarang yang lebih penting cepat ke kelas saja!” monologku dengan menepuk pipiku sendiri cukup keras. Setelah itu, Aku melanjutkan langkahku menuju gerbang sekolah yang masih berjarak
Udara lembab dan gelap menyelimuti ruang bawah tanah yang pengap. Cahaya lampu redup hanya berasal dari bohlam kecil di langit-langit, menggantung dengan kabel terjalin. Di sudut ruangan, Kinara duduk di kursi kayu dengan tangan dan kaki terborgol. Rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat, tapi matanya menatap nyalang pada pria paruh baya yang baru datang 5 menit lalu.Dalam hati, Kinara mulai menerka maksud kedatangan Tuan Besar Sanjaya itu. Kinara tebak, itu berhubungan dengan proposal yang mereka minta sebelumnya. Kinara sengaja mengulur waktu lantaran dia tak ingin keluarga Sanjaya mengusik Tuan Hanafiah yang pernah menjadi Ayah angkatnya."Setelah melihat ini, apakah masih akan keras kepala Kinara?" Kakek Wijaya terkekeh. Salah satu pengawal yang datang bersamanya menyerahkan sebuah tablet hitam. Kakek Wijaya memutar menunjukan sebuah video kepada Kinara.Terlihat dari video rekaman CCTV yang memperlihatkan Wira menarik Keyra masuk ke ruang kerja. Mata Kinara melebar, refleks wan
Sepulang sekolah, Keyra dan Abizar tidak langsung menuju rumah Sanjaya. Mereka mengekori mobil Keyla. Namun di tengah perjalanan, Abizar lebih dulu memutar mobil ke arah lain, lalu memarkirkannya di sebuah minimarket kecil. Ia menghela napas dan mengambil ponselnya. “Aku harus menghubungi Mama dulu,” katanya, lirih tapi tegas. Keyra mengangguk pelan. “Baik..." Suasana hening beberapa saat, hanya suara nada sambung terdengar di antara mereka, sampai akhirnya tersambung. “Abizar? Kenapa telepon, Nak?” suara Tante Sandra terdengar lembut namun sedikit waspada. “Mama..., kami akan ke rumah keluarga Sanjaya. Katanya untuk peringatan tujuh hari untuk ibunya Keyra. Tapi rasanya bukan itu alasan utama mereka memanggil Keyra pulang,” jelas Abizar langsung. Sandra terdiam beberapa detik, lalu suara napasnya terdengar berat. “Kalian harus hati-hati, terutama kamu, Zar. Aku tidak percaya mereka akan mengadakan acara semata-mata demi belasungkawa. Jangan biarkan emosi menguasai kalian.
Mobil Abizar perlahan berhenti di area parkir sekolah. Keyra mengusap wajahnya yang masih sedikit basah air mata, berusaha membuat tampilannya lebih baik sebelum keluar mobil. Saat itu masih pagi, sehingga masih belum banyak siswa yang datang. Karena alasan itu pula, Abizar tidak mau menurunkan Keyra di jalan seperti biasa."Terima kasih!" ujar Keyra pelan, membuka pintu dan segera turun."Hmnn!" balas Abizar dengan guman tak jelas. Abizar tak langsung keluar. Dia bersandar dan memejam mata. Berusaha menata kembalian perasaannya yang kacau. Tadi saat di mobil, dia terlalu impulsif. Keyra semakin canggung dengannya, membuat perjalanan mereka lebih banyak kesunyian.Abizar sendiri tidak menyangka dirinya akan tersulut emosi karena Kak Rangga. Tetapi dengan bertanya langsung, sekarang dia bisa merasa lebih lega.'Dia bilang tidak akan menerima Kak Rangga. Ku harap itu benar. Soal hubungan kita..., aku akan memulainya pelan-pelan, Ra!' Abizar tersenyum tipis. Kini rasa percaya dirinya
Keesokan harinya, suasana canggung langsung terasa saat ketiganya duduk bersama di meja makan. Keyra duduk di antara dua sumber tekanan: Kak Rangga di hadapannya, dan Abizar di sebelahnya. Bulu kuduk Keyra mendadak meremang.Tangannya gemetar saat menyendok bubur, bahkan napas pun terasa berat seolah ada hawa dingin yang mengurungnya. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena gugup biasa. Lebih seperti ketakutan yang tak bisa dijelaskan.Dia tak sanggup mengangkat kepala, apalagi menatap Kak Rangga. Pandangan pria itu terlalu menembus, dan kehadiran Abizar di sisi lain seperti tembok dingin yang membekukan udara. Tak ingin berlama-lama, Keyra buru-buru meneguk habis susu di gelasnya.“Aku selesai. Aku berangkat dulu!” ucapnya cepat, meletakkan gelas dengan suara yang sedikit berisik.Tante Sandra menoleh dengan dahi berkerut. “Loh, kenapa buru-buru, Nak? Ini masih pagi.”Keyra memaksakan senyum. “Aku piket hari ini, Ma. Jadi harus berangkat pagi,” jawabnya, lalu mencium tangan sang ibu
Keyra menutup mulutnya tak percaya. Apa yang barusan Kak Rangga katakan? Pada Keyra..., yang notabenenya adalah Istri adik Kak Rangga sendiri. Melihat wajah syok Keyra, Kak Rangga malah semakin mendekat. Diraihnya tangan Keyra dan digenggam dengan lembut. Tatapan Kak Rangga semakin serius. "Seharusnya..., yang menikah denganmu itu Kakak, bukan Abizar. Tapi Kakak telat menyadari bahwa keluarga Sanjaya telah menjemputmu untuk menggantikan Pernikahan itu. Seandainya Kakak tahu itu kamu, Ra...," ujar Kak Rangga dengan sorot mata sendu, meruntuki kebodohannya sendiri. Dia memilih kabur di hari pernikahannya karena mengira akan menikahi Keyla. Kak Rangga pikir, Abizar pasti dengan senang hati mengantikan karena yang setuju dengan pernikahan itu hanyalah dia. Alasannya agar bisa membawa Keyla keluar dari kekangan keluarga Sanjaya. Seandainya..., Kak Rangga berdecak pelan. Terlalu banyak penyesalan untuk dia katakan sekarang. Sementara itu, Keyra yang mendengar penjelasan itu, nyaris k
“Keluarga Sanjaya tidak mungkin menyakiti ibumu karena mereka masih membutuhkan ibumu. Namun kita juga harus segera menyelematkanya sebelum hal buruk terjadi. Maka dari itu, biarkan mereka menyetirmu sementara waktu, Keyra. Kita akan mencari celah untuk menjatuhkan mereka.”****Keyra masih terngiang-ngiang ucapan Ayah mertuanya. Dengan bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh keluarga Bimantara, dirinya yakin ibunya masih hidup. Akhirnya..., dia bisa sedikit bernapas lega.Tetapi sebelum ibunya diselamatkan, Keyra tak bisa hanya diam saja. Dia sudah sangat kecewa pada keluarga Sanjaya. Keyra berjanji tak akan pada jebakan mereka lagi.“Ya, aku akan menangkap kedok mereka! Sejak mereka menculik ibu, mereka bukan lagi keluargaku!” monolog Keyra dengan tangan terkepal di depan dada. Di sisi lain, Abizar sendari tadi hanya diam memperhatikan Keyra dari kejauhan. Mata gadis yang sedang duduk di ayunan itu nampak berapi-api. Secarik senyum tipis terbit di wajah kaku Abizar. Keyra yang sel
Di sebuah ruangan bawah tanah kediaman Sanjaya, dua pria dewasa berjalan di lorong gelap dengan bantuan senter. Mereka berhenti di salah satu ruangan dengan pintu besi. Saat kunci pintu telah dibuka, terdengar deritan berat dari besi yang berkarat.Di dalam sana, seorang wanita duduk menatap tajam kedua pria yang mengunjunginya. Kaki dan tangan wanita itu dirantai dengan bola besi. Hanya 1 lampu temaram yang menjadi penerangan di ruangan itu. Meski begitu, mata berkilat marah dari wanita itu tetap terlihat meski dalam kondisi gelap.“Kinara..., apa kabar?” Wira terkekeh melihat kondisi mantan istrinya.“Lepaskan aku! Apalagi maumu, Wira? Mengapa kamu mengurungku di sini- lagi?!” pekik Kinara seraya berdiri menunjuk marah wajah Wira.CTAKK! CTAKK!“Arghhhh!”Tangan Kinara dipukul dengan rongkat kayu. Wanita itu berteriak sakit karena pukulan itu tak main-main kerasnya. Bahkan dirinya sampai jatuh karena tak kuat menahan keseimbangan.“Diam Kinara! Jangan memberontak lagi. Kami hanya in
“ARRGGHH! KELUARR!”Ketika Abizar membuka pintu, Keyra sementara ganti baju. Pemuda itu mematung lantaran kaget dengan teriakan Keyra sekaligus bingung dan canggung.Sontak saja Keyra menutupi tubuhnya (yang sebenarnya masih memakai baju dalaman tipis). Lalu dia mendorong Abizar untuk keluar, sebelum kembali menutup pintu kamarnya. Tak peduli kondisi Abizar yang terjungkal di sana.“Sshhh..., sakit sekali! Haruskah sekasar itu?!” keluh Abizar lantaran bongkongnya mendarat begitu keras.Pemuda itu bangkit dengan bertumpuan tembok. Pinggulnya terasa nyeri karena berbenturan dengan lantai marmer yang keras. Aduh.., tulang ekornya terasa cenat cenut.“Ah, tunggu dulu! Bukankah kami sudah menikah? Seharusnya Hallal untukku melihat tubuhnya,” guman Abizar yang baru menyadari Keyra masih istrinya.‘Sudahlah..., tujuanku datang ke sini untuk membujuknya, bukan memarahinya. Lebih baik aku mengalah!’Abizar menarik napas dalam-dalam seraya mengelus dadanya untuk menebalkan kesabaran. Dia masih
Telinga Keyra terasa berdenging sesaat, tak percaya dengan ucapan Abizar. Pemuda itu hanya fokus ke arah jalan dengan wajah datar. Sesekali mulutnya mendumel tak jelas dengan berdecak kesal entah pada siapa.Harapan Keyra kembali tenggelam. Dia pikir Abizar berbicara dengannya. Ternyata dirinya lah yang berhalusinasi Abizar memberitahunya bahwa sudah ada informasi mengenai Ibunya.Anggap saja dia salah dengar!Keyra memilih untuk serong ke jendela dengan tangan menyilang di dada. Biarlah dia merajuk saat ini. Lagipula itu salah Abizar yang membuatnya berharap mengenai ibunya. Iya, kan?‘Pokoknya aku nggak mau bicara sama dia lagi!’ putus Keyra bulat.Abizar yang baru saja mengendalikan laju mobil karena hampir bertabrakan saat ingin berbelok mendadak bingung saat melirik Keyra lagi. Ada apa dengan gadis itu?Bukankah seharusnya dia senang jika diberitahu tentang Ibunya? Apa ini? Kenapa Keyra malah bersikap memusuhinya?“Keyra!” panggil Abizar.Keyra tak menjawab. Hanya lirikan sinis y