Akbar semakin gelisah, pasalnya Nada tidak kunjung pulang. Di luar pun tengah hujan lebat. Akbar menyesal karena tidak ikut nada. Harusnya meskipun Nada bersikukuh ingin mencari sendiri, ia punya harus bersikukuh juga. Nada masih asing dengan kota Jakarta.Akbar kembali menghubungi nomor, Nada. Kali ini justru tidak aktif. Akbar dibuat semakin gelisah."Om, bunda belum pulang, ya? Ini sudah sore." Tiba-tiba saja Nazril datang dan berkata seperti itu membuat Akbar terkejut. Handphone di tangannya pun hampir terjatuh."Astaghfirullah!" Keluh Akbar."Maaf," sesal Nazril. Ia peka karena dirinya Akbar terkejut.Akbar tersenyum, ia lalu berjongkok. "Jangan meminta maaf. Om nya saja tengah melamun.""Bunda belum pulang, ya, om?" Nazril kembali berbicara seperti itu.Akbar menggeleng dengan begitu lemahnya."Belum. Om khawatir sekali dengan Bunda mu. Handphone miliknya pun sekarang gak aktif. Diluar hujan lagi."Tak ada raut sedih sedikit pun diwajahnya Nazril. Ia terlihat tenang."Nazril ya
Ilham terus menatap kepergian Nada. Sebenarnya, sejak pertama bertemu Ilham sudah merasakan sesuatu yang berbeda pada Nada. Namun, semuanya tiba-tiba hancur saat tahu Nada sudah memiliki anak. Itu artinya ia sudah menikah dan memiliki keluarga. Tentunya harapan dirinya hilang bukan?Ilham membuang napas kasar. Ia tidak menyangka saat hatinya merasa menemukan seseorang yang begitu mirip dengan mendiang istrinya, kini harus kandas karena dipukul keadaan. Keadaa yang membuat ia tidak mungkin bisa memiliki Nada."Oh Tuhan! Kenapa ini bisa terjadi? Kau mempertemukan aku dengan orang yang salah." Gumam Ilham. Lalu ia kembali masuk menuju apartemennya.Di dalam apartemen, Ilham sudah disambut sang putri. Dengan pandangan Lidya seperti mencari sesuatu."Kamu cari apa, Nak?" Tanya Ilham pada Lidya."Tante tadi mana, Yah?" Tanya Lidya."Sudah pulang, Baru saja ayah anterin sampai depan." Jawab Ilham."Ayah kok gak kenalin ke Lidya? Padahal Lidya mau kenalan.""Tantenya buru-buru. Anaknya nunggu
Saat ini Nada berada di dalam kamar. Terlalu khusu bermain membuat Nazril tak menyadari kedatangan dirinya.Nada terus menatap ke arah Nazril. Hatinya nenceos sedih. Sepertinya janji dan harapan yang dulu pernah ia katakan tidak bisa ia tepati. Ia tidak bisa menemukan keberadaan suaminya. Tak terasa air mata Nada pun terjatuh. Sungguh rasanya itu terlalu sakit. Saking sakitnya tidak mampu ia ucapkan dengan kata-kata. Hanya air mata menjadi pertanda betapa ia ingin secepatnya keluar dari masa sulit sekali ini.Nazril yang asyik sendiri, kini ia mulai menyadari kehadiran seseorang. Ia yang membelakangi kini perlahan berbaliknya dan melihat Nada berdirinya dengan menangis.Tentunya bocah itu pun bertanya-tanya, kenapa dengan bundanya? Tanpa banyak pikiran, Nazril langsung berlari menghampiri Nada. Lalu ia langsung memeluk pinggang Nada. Sebab tinggi Nazril memanggil sebatas pinggang."Bunda kenapa menangis? Apa ada orang yang menyakitimu Bunda? Mana? Biar Nazril pukul!" Ujar Nazril.Nad
Sekitar pukul sepuluh pagi, Nada dan Nazril pergi ke sekolah yang diberikan oleh Akbar. Nada begitu terkejut saat tahu jika alamat sekolah yang ia tuju adalah sekolah elit. Rasanya Nada serasa jadi orang yang paling rendah saja. Nada menatap pada Nazril yang ternyata saat ini begitu berbinar melihat kemegahan gedung berlantai dua itu. Nada menarik napas pelan, ia takut. Jika Nazril sekolah di tempat elit seperti ini , ia justru akan jadi bahan rundungan.Di era sekarang, lagi menyebar luas virus perundungan. Meksipun Nad tahu mereka masih kecil. Tapi... Jika melihat pengalaman di Lampung. Bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi."Kamu suka kalau sekolah di sini?" Tanya Nada pada Nazril.Nazril mendongak dan tersenyum seolah senyuman itu mengisyaratkan, jika apa yang Nada tanyakan adalah benar. Dirinya senang jika bisa sekolah di tempat elit seperti itu."Suka Bunda. Sekolah nya besar. Berbeda dengan sekolah Nazril yang dulu. Nazril mau sekolah di sini, Bunda," Ujarnya dengan ber
"Maaf, aku masih mampu membiayai sekolah Nazril. Aku tidak mau jika Anda memberikan beasiswa itu hanya karena rasa belas kasihan. Meskipun aku tahu aku memang tidak memiliki apapun. Tapi aku menolak tawarannya. Satu alasan pula jika aku menerima beasiswa itu bukan tidak mungkin aku malah berleha-leha. Setidaknya jika aku biayai sendiri, aku memiliki semangat untuk terus bekerja karena ada anakku yang harus aku nafkahi." Nada menolak tawaran Ilham, Ilham pun tidak memiliki alasan untuk memaksakan Nada. Ia sadar diri, dirinya hanyalah orang lain yang baru saja Nada kenali."Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Maaf jika perkataan ku membuat kamu tersinggung." Ujar Ilham yang merasa tidak enak hati."Aku tahu maksud Anda baik. Tapi maaf aku bisa mengatasi sendiri."Di dalam pikirannya, Nada terus berdebat sendiri. Untuk sekarang dirinya tidak memiliki uang, tapi di dalam dompetnya ada black card milik Akbar.Akbar memintanya untuk menggunakan kartu tersebut. Namun, ia berpikir ulang untuk t
Nada berhenti tertawa, ia teringat akan tujuannya menemui Akbar. Bukan untuk menangis di depan Akbar melainkan untuk mengembalikan black card milik Akbar. Yang tidak ia pakai sama sekali, ia tidak ingin merepotkan."Mbak hampir lupa," tutur Nada. Ia menjeda perkataannya lalu terlihat seperti sedang mengambil sesuatu dari tasnya."Ini," Nada menyerahkan black card pada Akbar.Akbar mengerut kan keningnya. Kenapa Nada malah memberikan padanya? Bukankah dirinya sudah bilang untuk Nada pakai. Untuk memenuhi kebutuhan sekolah Nazril.Karena tak kunjung diambil, Nada pun meletakkan black card tersebut di atas meja. Di samping laptopnya." Kenapa di kembalikan? Akbar kan sudah bilang. Agar Mbak pakai kartu ini untuk memenuhi kebutuhan Nazril. Terutama kebutuhan sekolah " tutur Akbar.Nada menghela napas, lalu ia mulai berbicara. "Mbak tidak mau menyusahkan kamu Akbar. Lagi pula setelah Mbak pikir kita samasekali tidak memiliki hubungan apapun. Kamu bukan adikku, atau saudara atau apa pun. Ki
Akbar merasa lega saat ia berhasil menceritakan apa yang ia alami pada Ilham. Sungguh, ia merasa dirinya begitu bodoh dan kekanak-kanakan dalam urusan percintaan.Ilham tertawa melihat tingkah adiknya ini, ia begitu penasaran siapa sebenarnya wanita yang berhasil membuat sang adik terlihat begitu bodoh."Siapa wanitanya? Coba bawa menghadap kakak," ujar Ilham kemudian Akbar pun menatap sang kakak. "Justru itu masalahnya kak. Aku memang menyukainya. Tapi dia... Sepertinya menutup hatinya untuk pria lain," terang Akbar begitu lemahnya."Kamu belum mencobanya. Jangan dulu menyerah. Apakah wanita yang kamu maksud ini sama dengan wanita yang tempo hari kamu ceritain? Wanita yang mana suaminya dulu kerja diproyek pembangunan kita?" Terka Ilham. Sebab jika didengar dari cerita Akbar. Sama persis dengan apa yang Akbar sudah ceritakan beberapa waktu ke belakang."Iya, dia memang orangnya. mustahil kan kak untuk mendapatkan dirinya. Akbar merasa dia begitu sangat sulit untuk didapatkan. Dia ..
Pagi-pagi sekitar pukul setengah tujuh, Nada sudah berpakaian rapi. Baju gamis warna hitam dipadu padankan dengan jilbab warna dusty. Setiap orang yang melihat Nada pasti tidak akan menyangka jika Nada sebenarnya sudah berusia tiga puluh tahun. Sungguh, Nada justru terlihat seperti seorang gadis yang masih menginjak usia dua puluh tahunan.Berhubung ini adalah hari pertama Nazril sekolah sekaligus hari pertama dirinya kerja. Ya, Nada kini sudah memiliki pekerjaan. Ia bersyukur pekerjaan dirinya ini tidak harus menggunakan ijazah. Cukup memiliki pengalaman mengurus anak. Dia bukan lagi sudah berpengalaman, sebab Nada memang sedang berada di posisi sekarang ini. Memiliki anak dan merawatnya. Pekerjaan baru Nada ini adalah menjadi baby sitter. Pekerjaan cukup mudah bagi Nada. Ditambah jam kerja hanya sampai sore sampai orang tua anak yang ia asuh pulang. Akbar keheranan saat melihat Nada terlihat rapi, sepagi ini. Namun, saat melihat Nazril berpakaian sekolah membuat kebingungan dirin