Share

CARILAH KEBAHAGIAANMU

Setelah pertengkaran dirinya dengan Ningsih. Membuat Nada yakin untuk mencari Aziz. Ia pun sebenernya ingin tahu alasan Aziz meninggalkan ia dan anaknya bertahun-tahun tanpa sedikitpun memberikan kabar.

Yang membuat hatinya semakin ngilu, ketika ia mendapatkan dan melihat anaknya harus jadi bahan rundungan karena tidak memiliki seorang Ayah.

Bukan hanya itu saja, tak jarang dirinya selalu dimaki-maki orang. Dituduh sebagai wanita pembawa sial dan janda gatel suka menggoda suami orang.

Astaghfirullah.

Hanya satu kata itu yang sering ia ucapkan. Dia merasa tidak pernah menggoda suami orang. Yang ada justru dirinya yang selalu dan selalu saja diganggu.

Saat ini, Nada tengah duduk melamun di atas kasur. Seraya memegangi dan melihat sebuah foto usang. Foto di mana ada dirinya, Aziz dan Nazril--anaknya saat berusia satu tahun.

Setetes demi setetes air mata terjatuh, membasahi mata dan kedua pipinya.

"Mas, kenapa kamu tidak pulang-pulang? Apakah kamu tidak merindukan aku dan Nazril? Apakah kamu tidak sayang lagi sama aku dan Nazril? Mas, apa kamu tahu? Selama lima tahun ini aku menderita. Mungkin aku tidak masalah jika terus dihina orang. Tapi... Jika kamu Dan Nazril yang dihina, aku tidak rela, aku tidak ikhlas," rancaunya dengan berlinang air mata.

Nada menyeka air matanya, sudah cukup. Ini bukanlah waktunya untuk ia menangis. Ia akan membuktikan pada orang-orang jika suaminya masih hidup, jika suaminya masih tetap setia. Mungkin ada sesuatu hal yang menyebabkan suaminya tidak pulang juga tidak pernah memberi kabar. Dan ia harus tahu apa alasannya.

Tak sengaja, Ningsih melihat apa yang dilakukan Nada. Sebagai seorang ibu tentunya ia turut ikut merasakan sedih dengan apa yang terjadi pada Nada.

Marahnya, serta desakannya untuk melupakan suaminya bukan semata-mata karena ia tidak peduli dengan perasaan Nada. Justru Ningsih hanya ingin Nada keluar dari kesedihannya karena ditinggal pergi sang suami.

Dengan langkah pelan Ningsih berjalan mendekat ke arah Nada. Dengan pelan pula ia duduk di samping Nada dan memeluknya dengan begitu erat.

Nada tahu betul siapa orang yang memeluknya, pelukan yang selalu membuat Nada nyaman dan terlindungi.

"Maafkan ibu, Nak. Bukan maksud ibu menginginkan hal buruk terjadi pada suamimu. Ibu hanya ingin membuka pikiran kamu agar bisa berpikir rasional. Ibu juga ingin kamu bahagia tidak selalu ada di kubangan kesedihan karena meratapi suamimu."

Ningsih lalu melepaskan pelukannya. Ia membawa tubuh Nada hingga saling bersitatap dengan dirinya.

"Jika memang kebahagiaan kamu hanya ada pada suamimu. Pergilah! Cari suamimu, ibu merestui kamu." Ujar Ningsih kemudian.

Nada tidak bisa lagi untuk berkata-kata. Niatnya yang akan mencari keberadaan suami tercinta mendapatkan restu dari sang ibu. Ia terharu.

"Apa ibu serius?" Tanya Nada.

Ningsih mengangguk dengan menyunggingkan sebuah senyuman lebar. "Ibu serius, pergilah! Cari sumber kebahagiaan kamu."

***

Sekitar pukul sebelas malam, Nada, Nazril dan Ningsih sampai di pelabuhan. Awalnya Ningsih tak mau mengantar sampai ke pelabuhan. Namun, ia ingin memastikan jika anak dan cucunya sampai ke pelabuhan dan ingin melepas kepergian Nada dan Nazril.

Kapan lagi mereka akan bertemu. Ningsih yakin butuh waktu lama untuk mencari menantunya itu. Jakarta kota besar dan tidaklah mudah mencari orang di sana. Ibaratnya seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Tapi, tidak ada salahnya jika berusaha. Setidaknya rasa penasaran akan kabar suami dari anaknya itu bisa sedikit terobati. Meskipun hasilnya akan mengecewakan. Dan dengan itu Nada harus rela hati memendam, menyimpan rasa rindunya dalam hati.

Kapal sudah mulai menepi. Itu tandanya mereka akan segera berpisah dengan rentan waktu yang tak pasti. Sekelebat bayangan lima tahun lalu terputar di memori Nada. Bagaimana ia harus berpisah dengan suaminya di sini, di pelabuhan ini.

Nada ingat betul. Dulu sang suami berjanji akan kembali dan membawa dirinya, rupanya, sampai lima tahun lamanya ia tak kunjung kembali.

‘Mas, aku masih ingat. Dulu di tempat ini kita berpisah. Samudra menjadi saksi perpisahan kita. Dan saat ini samudra akan menjadi saksi kepergianku untuk mencari dirimu di Jakarta'

“Mas pergi, ya. Jaga dirimu baik-baik. Dan juga tolong jaga buah hati kita. Di Jakarta aku pasti akan merindukan kamu.”

“Aku pun begitu, Mas. Aku enggak bisa jauh-jauh sama kamu dan mulai hari ini aku harus terbiasa tanpamu.”

“Nada.”

Tepukan Ningsih di pundak Nada menyadarkan ia dari angan. Sekelebat bayangan itu membuat hatinya terasa sakit. Ia tak percaya jika nasib rumah tangganya berujung miris. Nada yang menangis segera menyekanya.

“Iya, Bu,” ucap Nada pada Ningsih.

“Ibu tidak bisa ngasih apa-apa. Tapi bawalah ini jika mendesak juallah.” Ningsih meraih tangan Nada lalu meletakkan kotak hitam ke tangan Nada.

Nada yang tak mengerti hanya bisa menatap sang ibu penuh tanda tanya.

“Ini apa, Bu?” tanyanya pada Ningsih.

“Ini perhiasan ibu. Ini mas kawin dari bapakmu, Nak.”

“Nada enggak mau ambil. Enggak usah, Bu. Jangan dijual. Itukan dari bapak,” Nada menyerahkan kembali kotak hitam itu.

“Enggak! Ini buat kamu. Ambillah, Nak, siapa tahu nanti kamu butuh.”

“Tapi, Bu....”

“Enggak pakai tapi, Nak.”

Dengan berat hati Nada mengambil kotak perhiasan milik ibunya itu. Tapi, dalam hati Nada berjanji sebisa mungkin tidak akan menjual perhiasan itu.

Ningsih lalu berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan Nazril yang saat ini terlihat mengantuk. Nazril tengah menyenderkan kepalanya di tubuh sang bunda.

“Nazril, di Jakarta nanti kamu jangan nyusahin bunda, ya. Kamu harus jadi anak baik.”

Nazril yang sedari tadi menahan kantuk langsung membuka matanya lebar-lebar.

“Iya, Nek, Nazril janji akan jadi anak baik,” jawab Nazril seraya mengacungkan jari telunjuknya sebagai tanda perjanjian.

“Bagus! Cucu nenek memang yang terbaik.” Ningsih memeluk Nazril lalu menciumnya

Tak lama suara kapal terdengar, itu tandanya para penumpang harus segera naik ke kapal. Nada merasa berat bahkan saking tak mau meninggalkan Ningsih Nada memeluknya dengan erat dan menangis dalam pelukan Ningsih. Tanpa terasa Ningsih pun ikut menangis. Dia harus mengikhlaskan kepergian Nada demi cintanya, demi mengobati rasa rindunya pada sang suami.

Ningsih berharap, Nada bisa menemukan keberadaan Aziz. Baik dia masih hidup ataupun sudah menjadi mayat. Hanya itu yang bisa Ningsih lakukan, doa. Ia juga ingin melihat anak satu-satunya mendapatkan kebahagiaannya setelah lima tahun ini hilang entah ke mana.

“Sudah, Nak. Cepat naiklah nanti kamu ketinggalan,” titah Ningsih lalu mengurai pelukannya.

Nada benar-benar terisak pilu. “Setelah Nada tahu kabar Mas Aziz, Nada akan secepatnya pulang.”

Ningsih mengangguk seraya tersenyum lebar. “Iya, ibu akan selalu menunggumu.”

Nada pun pergi dengan menggandeng tangan Nazril dan tangan satunya memegang tas berisi pakaiannya. Air mata Nada sedari tadi tak mau berhenti, rasanya berat, berat sekali.

‘Ya Allah, tolong lindungi ibu,’ batin Nada.

‘Ya Allah, semoga apa yang diinginkan Nada bisa terwujud,’ batin Ningsih.

Nada dan Ningsih mereka sama-sama membatin, mendoakan yang terbaik untuk keduanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status