Share

PRIA TAMPAN NAN MUDA

Kapal semakin menjauh dari pelabuhan. Itu tandanya semakin nyata pula jika Nada benar-benar harus meninggalkan ibunya sendiri, meninggalkan Kotabumi serta meninggalkan kenangan buruknya.

Mungkin apa yang dikatakan ibunya benar. Manfaatkan waktu untuk mencari suaminya. Dengan bekal informasi seadanya Nada akan memulai melakukan pencarian keberadaan suaminya. Dan berharap ia bisa mengetahui apa yang ingin ia ketahui.

Nada mengusap kepala Nazril yang saat ini tengah tertidur di pangkuannya. Sementara Nada menyenderkan kepalanya ke dinding kapal seraya tatapannya kosong jauh berkelana. Memikirkan ibunya serta suaminya yang sangat ia sayangi dan cintai. Nada tak menyangka hidupnya akan sekacau dan serumit ini. Satu ingin Nada untuk saat ini; menemukan suaminya lalu setelah itu pulang kembali ke Kotabumi, Lampung Utara. Simple.

Tak terasa air matanya menetes dan hal itu menarik perhatian seseorang yang sedari tadi menatap Nada. Orang itu lalu mendekat dan duduk bersebelahan, tetapi Nada sama sekali tidak menyadari sosok orang yang baru saja duduk di sampingnya.

“Nih, buat kamu.” Orang yang duduk di samping Nada memberikan tisu.

Tapi, Nada tetap diam. Sepertinya melamun menjadi sesuatu yang menarik bagi Nada. Merasa diabaikan orang yang tadi memberikan tisu, memukul dinding kapal yang terbuat dari kayu itu hingga membuat Nada terlonjak kaget.

“Astagfirullahaladzim,” pekik Nada seraya memegangi dadanya sebab jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Kaget.

Nada menoleh ke arah orang yang sudah tidak sopan menggangu dirinya dan membuat dia kaget bukan main.

Sesosok pria tampan nan muda tengah menatap ke arah Nada dengan memberikan senyum manisnya. Saat pandangan mereka bertemu segera mungkin Nada memalingkan pandangannya.

“Mohon maaf Anda siapa? Kenapa Anda memukul dinding kapal? Saya kaget.” Terang Nada jujur.

“Sorry. Abisnya Mbak dari tadi bengong, nangis pula. Lagi ada masalah, ya?” tanyanya penasaran dan tentunya so akrab.

Nada sama sekali tak punya niat untuk Meladeni orang yang ada di sampingnya itu. Dia orang asing dan tak sepatunya ia tahu. Apalagi tubuh serta pikirannya lelah. Namun sepertinya, pria muda yang diperkirakan berusia 20 tahunan itu tak menyerah. Terus saja mengganggu Nada. Mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak ingin ia jawab.

“Eh, Mbak itu matanya kenapa? bengkak gitu. Nangis semalaman, ya?” tanyanya penuh selidik.

Nada menggeleng seraya tersenyum. Jujur bukan waktu yang tepat untuk ia banyak bicara. Nada lalu memilih untuk memejamkan mata, ia ingin tidur. Tetapi, Lagi-lagi pria muda yang berada di dekatnya bertingkah so akrab dan so peduli.

“Mbak, Kok, enggak jawab? Hmmm, oke , deh, gak apa-apa gak dijawab juga.”

Pria muda berambut cepak itu pun diam. Namun, sejurus kemudian kembali bertanya dan menggangu Nada..

“Oh, iya, Mbak mau ke mana? Itu anaknya, ya? Suami Mbak mana?” serentetan pertanyaan pria muda itu seraya kepalanya ia edarkan ke setiap sisi kapal seperti sedang mencari seseorang.

Sungguh, Nada yang awalnya tak ingin menyauti berkata pria di sampainya ini terpaksa harus membuka suara agar pria muda yang ada di sampingnya berhenti ikut campur atau secara kasarnya stop jangan mengganggu.

“Maaf, Dik, saya sedang dalam mood tak bisa diganggu. Kepala saya sedang sakit.”

Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulut Nada. Kenyataan memang dia seperti itu, terlalu banyak beban kehidupan yang sedang ia pikul sendiri.

“Nah akhirnya, Mbak bersuara juga. Suaranya lembut banget, Mbak,” ujarnya seraya memperlihatkan senyum manisnya hingga menampakkan lesung pipinya.

“Oh, iya Mbak. Kenalin. Nama saya Akbar. Nama Mbak siapa?” tanyanya begitu antusias dan berharap Nada mau menjawab.

Nada memijat pangkal hidungnya untuk menetralisir rasa pusing yang saat ini ia rasakan. Nada pun menyadari kesalahannya, sebesar apa pun masalah yang sedang ia hadapi sebisa mungkin ia tak boleh menampakkan pada orang. Seperti halnya sekarang, dengan terus diam bukan tidak mungkin pria muda di sampingnya ini akan lebih ingin tahu, bahkan mungkin menyadari jika dirinya tengah ada masalah.

Tapi, meskipun ditutupi sepertinya orang tetap akan beranggapan bahwa ia ada dalam masalah. Sebab ada bekas mata panda dibawah matanya. Yang artinya jika dirinya memang habis menangis, tak henti.

Nada tersenyum, tak ada salahnya jika dia harus menimpali perkataan pria ini, toh, dia masih kecil belum tahu apa-apa, pikir Nada.

“Saya Nada,” jawabnya singkat disertai katupan tangan di atas dadanya.

“Eh.” Akbar salah tingkah merasa malu sebab ia mengulurkan tangannya minta untuk bersalaman, tapi Nada malah mengatupkan tangannya.

“Salam kenal Mbak Nada,” sapanya memecahkan kesalah tingkatannya.

Nada mengangguk pelan dan tersenyum simpul. Lalu Nada kembali memejamkan matanya dan menyenderkannya pada dinding kapal. Ia harap pria muda yang bernama Akbar itu berhenti mengganggunya. Namun, itu hanyalah harapan saja buktinya Akbar kembali mengajak Nada berbincang-bincang.

“Mbak panggil aku Akbar, ya, jangan Dik,” ucap Akbar tiba-tiba hingga membuat Nada membuka matanya dan bertanya apa alasannya.

“Kenapa?”

“Aku bukan anak kecil seperti putra Mbak,” terangnya disertai tawa canggung.

“Baiklah. Saya panggil kamu Akbar,” ujar Nada kemudian.

“Itu lebih baik, Mbak. Oh iya, Mbak mau ke mana? Atau habis dari mana?”

“Aku mau ke Jakarta,” jawab Nada seraya kembali memejamkan matanya.

“Aku juga mau ke Jakarta. Sebelah mananya, Mbak? Jakarta kan luas.”

Kepala Nada kembali berdenyut hebat, hingga dari mulutnya terdengar suara ringisan.

“Mbak sakit?” terka Akbar.

“Hanya sedikit pusing. Bukankah tadi saya sudah bilang?”

“Ah, iya. Aku melupakan itu. Kalau begitu tidurlah! Sepertinya kapal akan tertahan dan membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai ke pelabuhan merak.”

Nada mengangguk.

Nada heran, baru pertama kali melihat orang yang begitu so akrab padanya. Pria muda yang terlihat baik dan peduli pada sekitar. Itu membuat Nada teringat pada Aziz—suaminya. Dulu saat Nada masih gadis dia jatuh cinta pada Aziz karena keramahan dan ke so akrabannya.

Nada yang pendiam, jarang bergaul dengan orang lain terasa terenyuh oleh perhatian Aziz. Nada merasa ada orang yang peduli padanya hingga akhirnya saat Aziz mengutarakan niatnya untuk menikah dengan dirinya ia langsung setuju. Namun, kini kenangan manis itu harus sirna hilang bersama kepergian Aziz.

Nada teramat mencintai Aziz juga teramat merindukan Aziz. Nada berharap Allah selalu memberi kemudahan untuk mencari jejak sang suami. Meskipun kemungkinan besar akan gagal. Mencari orang yang sudah lima tahun hilang di kota yang begitu besar sangat mustahil. Ditambah informasi yang dimiliki Nada tidaklah relevan.

‘Mas aku rindu,’ lirih Nada dalam hati.

Tanpa terasa Nada malah meneteskan air mata lagi, secepatnya ia menyeka dengan begitu kasar. Sejurus kemudian dia melihat ke arah Nazril yang tak kalah merindukan sang Ayah. Rasanya sakit saat Nazril menyebutkan keberadaan ayahnya. Dia bingung sebab ia pun tak tahu keberadaan Aziz.

‘Kita akan cari sama-sama, Nak, keberadaan ayahmu,’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status