Share

Suami Hilang, Dapat Jodoh Dadakan
Suami Hilang, Dapat Jodoh Dadakan
Penulis: Edka22

HINAAN DAN PERTENGKARAN

“Nada! Sini kamu!”

Dari dekat pagar rumah Nada ada seorang wanita berteriak memanggil namanya. Nada tahu siapa wanita itu, dia adalah orang yang sering menghina keluarganya.

Nada menyuruh Nazril masuk, Nada tahu apa yang akan terjadi dan dia tak ingin sampai Nazril mendengarnya. Nada mendekat ke arah tamu yang tak sopan bertarik di depan rumahnya itu.

“Assalamu’alaikum, Bu Nia. Ada ap....”

“Jangan banyak basa-basi!” ketus Nia menyela perkataan Nada.

“Astagfirullah, Bu. Saya tadi ucap salam, lo. Ibu Nia lupa atau gimana, hukum menjawab salamkan wajib. Jadi....”

Lagi-lagi perkataan Nada disela oleh Nia.

“Jangan ceramah! Sekarang bukan waktunya ceramah. Kalau mau ceramah sana di masjid!” ketus Nia dan Nada hanya beristighfar dan menggelengkan kepala merasa lucu sendiri dengan tingkah tetangganya ini.

“Saya bukan ceramah, saya hanya sekadar mengingatkan saja. Kalau menjawab....”

“Alah banyak omong, ya!”

Nada membuang napas kasar. Percuma, rasanya percuma berbicara baik-baik pada orang yang seperti tersulut emosi ini. Bahkan perkataan dirinya saja yang ingin mengingatkan malah dicaci.

“Baiklah Bu Nia, jadi, ini ada apa sebenarnya? Ibu teriak di cuaca panas seperti ini di depan rumah saya pula.”

Nada langsung saja bertanya pada intinya sebab musabab Nia mendatangi rumahnya lalu berteriak-teriak memanggil namanya.

“Hai janda gatel! Didik anakmu yang benar, ya. Kelakuannya seperti bukan seorang anak berusia enam tahun. Lihat! Apa yang sudah anak nakal kamu lakukan?” Nia memperlihatkan bekas cakar dan gigitan di tangan dan leher anaknya.

“Maaf, Bu. Anda tidak perlu mengingatkan saya bagaimana saya harus mendidik anak saya sendiri. Saya tahu bagaimana anak saya. Dia tidak akan pernah memulai terlebih dahulu jika dirinya tidak dipancing dan....”

“Dan apa?” sela Nia

“Jadi, kamu mau bilang jika anak saya yang memulai duluan? Begitu Nada!” sentak Nia hingga Nada memalingkan wajahnya sebab Nia menunjuk-nunjukkan jarinya tepat di wajah Nada.

“Saya tidak bilang seperti itu. Justru Anda sendiri yang mengatakannya,” ujar Nada seraya kembali meluruskan pandangannya ke arah Nia.

Nia terlihat murka, terlihat jelas dari wajahnya yang berubah merah. Serta kepalan telapak tangan yang keras hingga buku-buku jarinya memutih.

“Hai janda! Tetap saja anak kamu salah. Sukanya main fisik. Ini, nih, akibat kurang dididik, kurang kasih saya dari bapaknya, makanya nakal seperti ini.”

Nada sudah tak bisa lagi menahan amarahnya. Orang boleh menghina dirinya, orang boleh memaki-maki dirinya. Tapi, tidak dengan anak dan suaminya. Apalagi membawa nama suaminya dalam masalah yang terjadi di antara anak kecil ini.

Suami yang sangat dia hormati meski tak tahu rimbanya. Anak yang sangat dia ciantai dan sayangi, Nada tak rela jika orang mengusik apalagi sampai menghinanya.

“Bu Nia! Cukup, ya. Anda boleh menghina ataupun menjelekkan saya, tapi saya mohon jangan sekalipun Anda menghina dan menjelekkan suami dan anak saya. Saya tidak terima!”

“Apa kamu bilang? Suami? Haha, hello suami dari mana? Bukannya si Aziz udah lima tahun menghilang? Dan kamu masih menganggapnya suamimu, hah, menyedihkan!”

“Jelas saja, sebab tidak pernah sekalipun terucap dari mulutku maupun mulut Mas Aziz kata cerai terucap. Itu artinya saya masih istrinya.”

“Kau sudah gila! Suami pergi lima tahun tak kembali juga itu artinya dia mati! Kenapa kamu masih menganggapnya suami?”

“Jaga mulut Anda Bu Nia! Kenapa Anda malah ikut campur urusan pribadi saya? Bukankah Anda ke sini untuk mengeluhkan kelakuan anak saya yang sebenarnya tidak salah, dia hanya membela diri.”

“Hidup kamu memang perlu diurusin, biar sadar diri. Suami kabur masih saja dipertahankan, sama saja kamu menyengsarakan hidup kamu sendiri.”

“Cukup, Bu! Kenapa pembahasan ibu malah merembet ke mana-mana? Sebaiknya jika sudah tidak ada urusan lagi silakan pergi dari sini!”

“Kamu mengusir saya?”

“Iya, karena Anda sudah menggangu kenyamanan saya dan menggangu privasi saya.”

“Sombong! Awas saja urusan kita belum selesai, urusan anak-anak juga belum usai."

Dengan mulut yang terus komat-kamit tanpa rem. Nia terus menggerutu menghumpat mengeluarkan kata-kata yang teramat menyakiti hati. Bagi Nada itu sudah hal biasa, bahkan bisa dibilang sudah makanan sehari-hari untuknya.

Dalam hatinya, dia selalu memanggil sang suami. Kadang Nada ingin menyerah saja menghadapi cobaan yang begitu besar ini. Mungkin dari luar, iya Nada terlihat kuat, tegardan tangguh. Namun, bagaimana dengan hatinya? Hatinya terluka sudah lama, sejak lima tahun lalu. Dan sekarang luka itu belum sembuh yang ada luka hatinya semakin dalam dan besar.

‘Mas aku membutuhkan kamu,’ rintih Nada membatin.

Tak lama, Ningsih baru saja tiba dari pasar. Ia melihat Nada tengah terdiam dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia tahu apa yang telah terjadi. Dan hal seperti ini sudah tak aneh lagi bagi Ningsih.

"Kamu kenapa, Nak?" Tanya tiba-tiba Ningsih hingga membuat Nada terperanjat kaget.

Menyadari kehadiran ibunya membuat Nada berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Namun, Ningsih tidak bisa untuk ia bohongi dengan begitu saja.

"Nada enggak Kenapa-napa, Bu," bohong Nada dengan menyunggingkan sebuah senyuman palsu.

"Jangan bohong, Nak. Aku ini ibumu, ibu tidak akan mudah untuk kamu bohongi. Sekarang Katakan siapa lagi yang datang ke sini dan marah-marah enggak jelas padamu? Ini salahmu juga kenapa masih saja menunggu suamimu. Andai, kamu mau mendengarkan saran ibu untuk membuka hati untuk pria lain. Mungkin kamu tidak akan terus kena hinaan orang lain," ujar Ningsih dengan sedikit emosi.

“Nada masih sah istrinya Mas Aziz, Bu. Mana boleh Nada menikah lagi,” tolak Nada seraya beranjak masuk.

Ningsih mengikuti langkah Nada, ia pun kembali mencoba untuk menasihati Nada.

“Secara tidak langsung kamu sudah bercerai dengan suamimu, Nak. Kamu saja tidak tahu kabar dia, masih hidup atau sudah mati!”

“Cukup, Bu. Sampai kapan pun Mas Aziz tetaplah suami Nada. Nada tidak akan menikah lagi sebelum Nada tahu kabar Mas Aziz,” ucapan Nada mulai meninggi, bahkan telunjuknya sampai terangkat.

“Kamu berani mengeraskan suara pada ibumu? Kenapa kamu terus saja membela Aziz yang tidak tahu kabarnya itu? Bilang mau merantau mau memperbaiki perekonomian, ini apa? Sudah lima tahun, Nak, lima tahun. Apa pantas dia di sebut suami?”

Nada terdiam, dia tahu dirinya salah. Tapi, salahkan jika dirinya berharap? Salahkan dirinya jika mempertahankan rumah tangganya? Meski secara tidak langsung status pernikahan mereka patut dipertanyakan. Pergi lima tahun tanpa memberikan nafkah lahir maupun batin.

Nada selalu berpikir positif, dia selalu berhusnuzan mungkin jika tidak sekarang, minggu depan, bulan depan atau tahun depan Aziz—suaminya tiba-tiba saja hadir di depan matanya, ia itulah harapan Nada.

“Maaf, Bu jika Nada sudah lancang sama Ibu. Sungguh, selagi Nada belum tahu kabar Mas Aziz selama itu pula Nada tidak akan menikah lagi. Jika dia masih hidup Nada akan kembali bersama Mas aziz. Membangun rumah tangga kami dari awal lagi. Jika pun dia sudah meninggal, maka Nada ingin tahu di mana makamnya.”

“Terserah kamu saja, Nak. Ibu bicara seperti ini sebab ibu pernah ada di posisi kamu. Hidup tanpa suami membesarkan anak sendiri , kerja banting tulang. Ibu enggak mau kamu seperti itu, cukup Ibu, Nak, cukup Ibu.”

Ningsih nelangsa, matanya sudah mengembun siap menjatuhkan cair bening dari kedua netranya. Ningsih pun seorang single parent. Dia jelas, sebab suaminya ayah—Nada meninggal dunia saat Nada berusia empat tahun.

Ningsih pergi meninggalkan Nada, sementara Nada hanya bisa menatap kepergian ibunya dengan perasaan bersalah . Bersalah karena sudah membentaknya.

"Maafkan Nada, Bu. Nada akan buktikan jika mas Aziz adalah pria baik dan Nada akan menyusulnya ke Jakarta," gumam Nada dengan lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status