Share

5# Jangan Tinggalkan Aku

Anyelira keluar dari mobilnya. Meninggalkan Ganesha yang masih terduduk bingung di dalam mobil. Entahlah, wanita itu bahkan tidak berpikiran jernih dan membawa suamiku tak normalnya ikut serta ke tempat kejadian perkara.

“Bagaimana kejadiannya?” tanyanya ketika sudah menemukan Bambang di depan pintu. Anyelira melangkahi garis pembatas polisi tanpa kesusahan. Wajahnya panik dengan air mata yang sudah menggenang.

Bagi Anyelira Jaksa Ketua nyaris menggantikan sosok ayahnya yang telah tiada. Lelaki tua itu merupakan sahabat dekat ayahnya—hingga membuat Jaksa Ketua menganggapnya selayaknya putrinya sendiri.

“Hei, tenanglah.” Bambang memeluk Anyelira. Berusaha menenangkan temannya. Anyelira memberontak. Saat ini dia tidak membutuhkan pelukan macam ini. dia hanya … perlu kejelasan.

Mengapa dan bagaimana lalu juga siapa. Semuanya. Anyelira harus tahu semuanya!

“Bagaimana bisa dia ditemukan meninggal? Om Hendrik tidak selemah itu hingga mudah dibunuh.”

Anyelira juga seorang jaksa. Sebagai seorang penegak hukum—yang kerap juga bersinggungan dengan penjahat, memiliki musuh jelas menjadi konsekuwensi mereka. terlebih seseorang berpangkat tinggi sebagai Jaksa Ketua—jelas resikonya lebih besar. Namun sekalipun begitu, selama ini Om Hendrik selalu bisa menyelamatkan diri dan membalas musuhnya.

Jadi, bagaimana semua bisa terjadi?

“Dugaan sementara karena racun,” jelas Bambang. “Sekarang jenazah sedang diautopsi di rumah sakit rujukan. Pemakaman akan dilakukan besok sore. Apa kau mau mengunjungi Tante Sekar?”

Anyelira menggeleng lemah. Sekalipun ia ingin, ia tidak bisa. Sebab dalam keluarga Om Hendrik semuanya tidak menyukainya selain Om Hendrik. Akan lebih baik ia melayat esok pagi. Karena kehadirannya sekarang hanya akan membawa amarah bagi keluarga mendiang.

“Oke kalau begitu kita pulang. Kau ke sini dengan apa?”

“Mobil.”

“Baiklah. Kemarikan kuncimu, aku akan mengantarmu.”

Anyelira hanya menuruti kemauan Bambang. Ia memberikan kuncinya tanpa kata lalu berjalan sesuai arahan Bambang. Hingga ketika mereka sudah berada di depan mobil Anyelira, wanita itu mengerjab terkejut. ia lupa jika ke sini dengan Ganesha.

Kini, suaminya tengah berjongkok di samping mobil. Meringkuk seperti anak hilang.

“Aku melupakannya.”

“Kasihan sekali anak ayam itu.”

Anyelira menoleh sebal pada Bambang. Namun ia tidak membalas apapun. Hanya terus melangkah menghampiri suaminya. Tangannya mengulur. Mengusap kepala Ganesha yang menunduk.

Mendengkak, Anyelira bisa melihat wajah Ganesha yang dipenuhi dengan air mata. Wajah sembab itu kian menambah rasa bersalah pada hati Anyelira. Genesha beranjak memeluk istrinya. Bisa dirasakan, tubub lelaki ini bergetar ketakutan.

“Anye, Jangan tinggalkan aku. Aku mohon,” bisiknya diiringi riak suara tangisannya.

Anyelira menepuk punggung Ganesha lemah. Saat ini keadannya sedang tidak baik-baik saja. sudah sedari tadi air matanya terus menetes. Kini Anyelira tidak bisa menahan diri lagi.

Biarkan saat ini ia menikmati dukanya. Di dalam rengkuhan orang yang ia sayangi. Ganesha tak perlu tahu alasan mengapa dirinya menangis. Anyelira hanya butuh dekapannya. Kehangatannya. Dan juga … hati yang sama-sama terluka.

***

“Nye, tadi itu bukannya rumah Om Hendrik ya?” tanya Ganesha.

Lelaki bertubuh tegap itu tengah mememluk bonekanya di atas tempat tidur mereka. anyelria baru keluar dari kamar mandi. Mereka tiba di rumah sekitar tiga puluh menit lalu. Di antarkan Bambang menggunakan mobil Anyelira.

Gerakan tangan Anyelira menyisir rambut berhenti sekejab. Dari cermin, Anyelira tahu—Ganesha tengah menatapnya menuntut penjelasan. Sekalipun pikiran Ganesha tidak normal seperti kebanyakan lelaki sepantarannya, bukan berarti Ganesha tidak ingat pernah mengunjungi rumah itu. terlebih bukan sekali dua kali Anyelira mengajak suaminya. Sekalipun selalu mendapar respon negative dari keluarga pamannya.

“Ya, itu rumah Om Hendrik,” jawab Anyelira sekenanya.

Jujur, ia belum belum berani membicarakan perihal Om Hendrik yang telah tiada kepada Ganesha. Ia bingung haru memulainya darimana. Walaupun Om Hendrik dan Ganesha tidak begitu dekat—mengingat sikap dingin pamannya kepada Ganesha saat awal pertemuan mereka—tetap saja, Anyelira tahu, Ganesha pasti sudah menganggap Om Hendrik sebagai keluarganya sendiri.

“Kenapa tadi aku nggak lihat Om Hendrik? Om lagi nggak mau ketemu sama aku ya?”

Anyelira menggeleng. “Bukan begitu,” ujarnya.

“Terus?”

Anyelira mendekat pada Ganesha. Perempuan itu mengenggam tangan suaminya dari boneka. Mengusapnya sejenak sebelum mengembangkan senyuman miris.

Ayolah, Anyelira. Percuma menghindar. Untuk apa? Cepat atau lambat Ganesha juga pasti akan tahu. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Membicarakan fakta adalah tugasnya. Sekalipun itu pahit untuk dirinya sendiri dan orang yang akan mendengarnya. Anyelira harap, Ganesha tidak terlalu terkejut.

Meskipun hubungan mendiang pamannya dan Ganesha tidak begitu bagus—Ganesha tetap menyayangi Om Hendrik.

“Om Hendrik meninggal, Nesha,” ungkap Anyelira. Satu detik … dua detik. Anyelira menatap Ganesha penasaran. Ia hanya mendapati raut kebingungan dari wajah suaminya.

“Meninggal artinya perpisahan selamanya, kan?” Anyelira mengangguk berat. “Kenapa Om Hendrik meninggal? Om Hendrik lagi marah ya sama aku?”

Anyelira menggeleng. Bisa dilihat mata Ganesha mulai berkaca-kaca. Pria itu hendak menangis. Anyelira memeluk suaminya. Mengusap-usap punggung Ganesha dengan perasaan berkecamuk.

“Om Hendrik nggak marah denganmu, Nesh. Om Hendrik hanya sudah menemukan jalannya. Dia … sudah menunaikan tugas dunianya dengan baik. dia … sudah ingin beristirahat.”

Kembali. air mata Anyelira menetes. Satu persatu. Semakin lama menjadi deras. Anyelira akui, perpisahan dengan orang yang disayangi begitu berat. Anyelira berandai—jika tadi ia memili mengunjungi pamannya dari pada main ke play station—mungkinkah hati Anyelira tidak akan menjadi seberat ini?

Sementara tanpa Anyelira ketahui, seseorang yang dikiranya juga tengah ikut menanngis bersamanya saat ini malah menampilkan senyum puas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status