Aku mengerjapkan mataku berulang saat kudengar suara serine di luar sana.Rupanya, hari telah berganti malam, entah berapa lama aku ketiduran, bahkan keadaan kamar kini begitu gelap.Gegas aku turun dari ranjang dan meraba-raba saklar lampu, setelah ketemu segera kutekan hingga ruangan kini berubah terang.Otakku terus menebak-nebak kiranya siapa yang sedang berurusan dengan polisi di luar sana.Namun, refleks aku hampir saja menjerit saat kusadar bahwa kini aku tak memakai pakaian barang sehelaipun.Suara tawa tiba-tiba saja terdengar dari arah kamar mandi, gegas aku berlari menuju tempat tidur dan meraih selimut untuk menutupi tubuh.Arsen muncul dari balik pintu dengan seringai yang menakutkan, sebuah ponsel yang tak lain adalah milikku sedang ia mainkan dengan sebelah tangannya."Tetap disini dan jadilah wanita penurut, jika kamu tak mau mempermalukan dirimu sendiri!" ucapnya seraya mendekat.Kutepis tangannya yang tiba-tiba saja memegang daguku, sebuah senyum sinis ia sunggingkan
"Arggh! Ibu ini kenapa sih?" protes Arsen seraya melonggarkan kungkungannya."Kita harus segera pergi dari sini sebelum lebih banyak lagi orang yang ikut campur. Ingat itu!" sentak Bu Hanum dengan raut kesal di wajahnya."Iya, iya, iya!" Arsen bangkit dan menghampiri Bu Hanum, sedangkan wanita itu sendiri malah memalingkan wajahnya dan terlihat geli pada Arsen yang melenggang dengan santai tanpa sehelai benang."Tunggu setengah jam saja!" bisik Arsen seraya tersenyum kemudian menutup pintu dan menguncinya."Dasar keras kepala!" umpat Bu Hanum disusul langkahnya yang terdengar kian menjauh."Apa kamu mau merasakan surga dunia, Ze?" tanya Arsen seraya kembali mengunci pintu.Aku menggeleng cepat seraya mempererat pelukan tanganku pada kedua lutut. Saat ini duduk seraya memeluk lutut adalah satu satunya hal yang bisa kulakukan untuk menutupi diri ini.Malu, marah, sedih dan kesal juga takut kini bercampur dalam hatiku. Aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi
Perjalanan yang kami lalu terasa amat membosankan karena tak ada satupun yang bersuara diantara kami bertiga.Malam pun semakin larut hingga aku tak lagi mampu menahan kantuk.Entah berapa lama aku terlelap, hingga kurasakan sebuah tepukan pelan dipipiku, akupun mengerjapkan mata dan menguap beberapa kali karena rasa kantuk yang belum terobati. Rasanya baru saja mata ini terpejam namun aku sudah dibangunkan. Apa mungkin ini sudah sampai? Apa mungkin malam ini juga aku akan dijual? Batinku terus bertanya."Ayo cepat turun!" sentak Arsen seraya menarik tanganku."Arsen, kumohon ... jangan jual aku. Apapun syaratnya aku bersedia lakukan asal kamu mau melepaskan ku," ucapku mengiba."Cih! Kamu pikir aku sudi mempertahankan wanita kampung kaya kamu? Kalau laku, ya lebih baik kujual 'kan?" decihnya kemudian tersenyum miring."Arsen, apapun alasannya, apapun tujuannya, intinya kamu sudah menikahiku secara sah meski kita hanya menikah siri. Tapi, itu tandanya kamu sudah berjanji dihadapan
Malam begitu cepat berlalu.Dengan susah payah aku bangun dan bergegas untuk membersihkan diri. Seluruh tubuhku rasanya sakit semua."Apa ini karena ulah Arsen tadi malam?""Tapi, jika itu penyebabnya, mengapa sebelumnya aku tak pernah merasakan hal yang sama? Bukankah tadi malam itu bukan yang pertama?"Tak hentinya aku bertanya meski kutau jawabannya harus kupikirkan sendiri hingga membuat kepalaku berdenyut nyeri.Tak hanya itu saja, sensasi mual seperti tempo hari kini kembali terasa.Aku segera menyudahi aktifitas ku saat rasa mual itu semakin menjadi.Pikirku, mungkin aku masuk angin karena kemarin terlalu lama tanpa busana dan setelahnya langsung melakukan perjalanan yang kurasa cukup jauh.Setelah selesai berpakaian, aku bergegas menuju dapur. Mungkin segelas air hangat bisa membuat rasa mualku sedikit berkurang."Apa?! Vitamin dan obat pereda nyeri?"Ku hentikan langkahku saat kudengar suara Bu Hanum yang tengah berdiri beberapa langkah di depanku. Sepertinya ia sedang berbic
Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggilku, seiring dengan terciumnya aroma minyak kayu putih.Perlahan aku membuka mata, samar kulihat seorang pria sedang duduk di sampingku."Arsen?" gumamku saat semuanya sudah terlihat jelas."Nah, sadar juga akhirnya! Ibu pikir kamu akan bernasib sama kaya bangkai tadi," celetuk Bu Hanum yang ternyata juga ada di ruangan ini."Kamu itu ternyata keras kepala, ya! Gak bisa diperingatkan dengan cara halus!" ketus Bu Hanum dengan tatapan marah."Pokoknya, mulai malam ini kamu akan dikurung di kamar ini!" sambungnya kemudian berlalu.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, ternyata ini memang bukanlah kamar yang tadi. Sontak aku membulatkan mata saat aku sadar ternyata aku ada di ruangan dengan pintu dobel itu."Arsen, aku cuma ingin cari udara segar dan tak ada niatan kabur sama sekali. Jadi tolong, jangan kurung aku disini," ucapku seraya memegang pergelangan tangannya."Kamu harap aku percaya?" tanyanya seraya mengangkat sebelah alisnya.Aku
Tak ubahnya seperti hewan yang menunggu datangnya majikan dan berharap diberi makanan. Entah berapa lama aku duduk seraya bersandar pada jeruji besi ini. Sesekali aku juga menoleh ke arah ruang tamu, berharap Arsen ataupun Bu Hanum segera datang dan sadar bahwa aku dari tadi belum makan.Namun, sampai kakiku terasa kesemutan, tak ada satupun dari mereka yang muncul.Tubuhku rasanya makin lemas saja, hingga kuputuskan untuk kembali meringkuk di tempat tidur.Namun, saat mata ini hampir terpejam, kudengar suara gembok yang dibuka.Dengan perasaan senang, akupun segera menoleh dan terlihat Arsen masuk lalu segera mengulurkan tangannya.Untuk beberapa saat aku hanya terdiam memandang tangan yang terulur tersebut, hingga setelah kutatap wajahnya yang kini terlihat lebih bersahabat, akupun langsung menerima uluran tangannya.Tanpa bicara, Arsen menuntunku ke dapur."Kamu, masak?" tanyaku seraya menutup mulut.Mengingat perutku yang sangat lapar, makanya aku begitu senang saat melihat banyak
"Enggak! Ngapain juga aku nguping?" kilahnya seraya meraih kunci mobil dari tanganku."Arsen, tunggu!" ucapku seraya menahan langkahnya."Apalagi? Aku lagi buru-buru," sahutnya."Em, aku boleh minta tolong ambilkan ponselku yang dibawa polisi, gak?" tanyaku penuh harap."Kamu mau hubungin siapa lagi? Mau minta tolong buat kabur lagi, hah?" Arsen malah balik bertanya.Aku menggeleng dengan cepat."Enggak, kok! Aku bukan mau kabur," sahutku."Sebenarnya, aku mau ponsel itu karena di dalamnya ada foto kedua orangtuaku. Aku gak mau sampai kehilangan foto itu. Karena cuma itu satu-satunya kenangan yang kupunya. Soalnya-"Ucapanku terjeda kala air mataku menetes tak tertahan. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku mudah sekali menangis. Apalagi kalau teringat pada ibu dan bapakku."Soalnya, apa?" tanya Arsen seraya mengangkat daguku."Soalnya, album foto kebersamaan kami hilang bersama tas yang dijambret kemarin," jelasku.Untuk sejenak Arsen hanya diam, ia tampak sedang memikirkan sesuatu."Ple
"Kamu gak papa?" tanyaku seraya menepuk-nepuk punggungnya.Arsen mengangkat sebelah tangannya seraya menggeleng pelan."Aku ke toilet dulu!" ucapnya kemudian berlalu.Akupun turut beranjak dari kursi untuk menaruh foto kedua orangtuaku ke dalam kamar. Setelah itu menyusul Arsen ke dapur dan mengajaknya makan malam bersama.Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, kurasa sikap Arsen saat tak ada Bu Hanum sedikit berbeda. Ia sedikit lembut dan juga tidak irit bicara.****Satu Minggu berlalu.Aku tak pernah mendengar kabar tentang Bu Hanum. Saat kutanya Arsen, ia hanya menjawab ibu sedang ada urusan. Ia tak pernah mau menceritakan urusan apa dan dimana. Padahal, aku benar-benar mengkhawatirkannya.Meski aku merasa hubunganku dengan Arsen sudah semakin dekat, namun tetap saja Arsen seolah memberi batasan diantara kami. Ia tak mau terbuka soal masalah pekerjaannya ataupun masa lalunya yang sampai sekarang belum ku ketahui dengan pasti.Sama halnya seperti hari ini, kulihat seh