Share

BAB 6. BERALASKAN LENGANKU

"Nggak! Abang tahu kau wanita yang mandiri," aku menjeda ucapanku. "Tapi untuk ke depannya kau jangan lupa sudah memiliki sandaran!"

Aku memperingatinya dengan serius, aku mau dia membutuhkan aku dalam setiap situasi. Bukan bermaksud menginginkannya menjadi wanita manja, aku hanya ingin lebih berguna sebagai suami.

"Iya, Bang! Kau sandaranku dan anak-anak sekarang," balasnya menatapku. Terlihat harapan yang besar di sana.

Setelah satu jam, kami berdua selesai membereskan barang yang berserakan di rumah. Mulai dari dapur, ruang tengah dan ruang tamu sampai ke teras. Semua sudah kami pel dengan bersih, perabot pun sudah kembali ketempat semula.

Baru saja aku mau mengantarkan alat pel ke belakang, tangis Yura terdengar.

"Ibu ... hiks! Ibu di mana?" rengeknya terdengar kencang dari dalam kamar. Semakin lama semakin kencang saja suaranya memanggil ibunya.

Kinanti segera berlari mengejar Yura hendak menenangkan bocah itu, tanpa peduli padaku. "Ibu di sini, Ra!" teriaknya.

Ia berlari secepat kilat, aku yang sudah memutar badan bahkan tidak melihat punggungnya lagi. Sudah hilang ditelan daun pintu. Aku menggelengkan kepala dan melanjutkan langkah mengantar alat pel ke belakang.

"Sudah selesai," gumamku sambil berlalu menuju kamarku kembali. Saat di ruang tengah aku berpapasan dengan ibu, wajahnya terlihat sangat tidak baik.

"Itu anak tirimu kenapa? Ganggu orang istirahat saja!" sarkasnya.

"Maaf ibu! Sekarang Yura sudah tidak menangis lagi, ibu bisa tidur kembali," bujukku pada wanita yang telah melahirkan aku itu.

Tangis Yura sudah tidak terdengar, pasti Kinanti sudah berhasil menenangkannya.

"Sudah hilang kantuk Ibu!" Suaranya terdengar marah. Ia berjalan menuju dapur, mungkin ingin membuat minuman, entahlah aku hanya menebak.

Aku menahan agar tidak berkata kasar pada ibu. Aku pun melanjutkan berjalan menuju kamarku, baru sampai di depan kamar aku berpapasan dengan Kinanti. Ia terlihat tergesa-gesa.

"Abang! Aku mau ambil minum, Yura haus katanya," jelas Kinanti sebelum aku bertanya.

Ia hendak melangkah, namun aku menghentikannya. "Biar Abang saja yang ambilkan."

Aku teringat keberadaan ibu di dapur, lebih baik aku yang mengambilkan air dari pada ibu bicara yang tidak-tidak pada isteriku. "Kau kembali ke kamar, ya!"

Kinanti mengangguk lalu kembali ke kamar, aku pun berbalik ke arah dapur. Sampai di dapur aku melihat ibu sedang duduk di meja makan dengan segelas teh di depannya. Aku mendekati rak gelas dan mengambil satu.

Ibu menyadari kehadiranku, ia menatapku sambil menyerngitkan dahi. "Punya isteri kok pemalas sekali! Tidak mau melayani suami!"

Aku merasa heran dengan ucapan ibu. Kinanti sudah membersihkan rumah sampai berkilat, kenapa masih di bilang pemalas. Aku membalas tatapan ibu dengan tatapan heran.

"Maksud, Ibu?" salakku, suaraku mulai meninggi. Dari tadi aku melihat wajah jutek ibu, hilang juga kesabaranku.

"Ya ... itu, mau minum saja kau harus ambil sendiri. Apa salahnya si Kinanti itu yang mengambilkan kau minum?" Ibu memonyongkan bibir ke arah gelas yang aku pegang.

Rupanya ibu mengira aku mengambil minum untuk diriku sendiri. Ia tidak tahu aku mau ambilkan minum untuk Yura, tapi ini lebih baik, dari pada ibu semakin banyak omong.

"Aku sudah di luar juga, Bu! Lagian ke dapur cuma beberapa langkah, aku tidak keberatan," jawabku mulai melunak. Berharap tidak ada lagi yang ibu permasalahkan.

Ibu berdiri lalu melangkah, ia menatapku serius. "Jangan sampai anak Kinanti mengganggu tidur Ibu lagi," ia memperingati ku.

Mungkin ibu lelah setelah seharian ada hajatan di rumah, setahuku ibu biasa tidur pukul sebelas dan sekarang baru pukul sembilan. Ayah dan adikku yang bernama Neysa juga sudah tidur, sepertinya mereka semua kelelahan mengurus hajatan pernikahanku seharian ini.

Semenjak bekerja di bengkel Mang Ardhan aku memang jarang pulang, aku sungguh tidak menyangka sejauh ini ibu berubah padaku. Mungkin ia merasa Kinanti saingannya sekarang. Padahal ia ibuku, tidak akan aku sandingkan posisinya dengan wanita mana pun di hatiku.

Aku menarik nafas dalam, belum apa-apa cobaan sudah menghampiri rumah tangga kami. Tapi aku tidak akan biarkan Kinanti menjadi pemeran utama di senetron ikan terbang. Sebisanya aku akan melindunginya dari siapa pun yang berniat menyakiti isteriku itu.

Aku kembali ke kamar, membawa segelas air untuk Yura. Aku memberikannya pada Kinanti bukan pada anak itu langsung. "Makasih ya, Bang!"

"Makasih ya, Ayah!" ucap Yura dengan senyum mengembang. setelah minum, anak itu kembali tertidur di pangkuan Kinanti.

"Iya!" jawabku singkat.

"Bagaimana sekarang, Bang? Apa kita langsung pulang?" tanya Kinanti sambil melihat jam di ponselnya.

Aku pun melihat jam di ponselku, baru menunjukkan pukul sembilan. Perjalanan ke kampung Kinanti bisa dua jam, untuk anak-anak angin malam tidak baik. Aku mutuskan mengubah rencana awal.

"Kita pulang besok pagi aja, kasihan kamu kalau harus kelelahan. Lagian kita hanya pulang dengan motor, pasti sempit banget nanti," jawabku setelah memikirkannya.

"Iya, Bang! Besok pagi aja," balasnya.

"Besok kita sewa ojek untuk anak-anak, biar tidak terlalu sempit. Kita beriringan di jalan," putusku setelah sejenak memikirkannya.

Kinanti ikut saja dengan perkataanku, sama sekali tidak ada bantahan dari wanitaku itu. Biarlah malam ini senjataku menganggur dulu. Aku bisa menahannya.

Sekarang aku juga ingin merebahkan badanku, tapi dimana? Kasur sudah dipenuhi oleh Mixi dan Yura, bahkan Kinanti saja hanya muat untuk duduk sambil membelai kepala Yura di pahanya. Di lantai tidak ada tikar, pasti dingin sekali. Aku pun berpikir apakah aku alas dengan selimut saja atau aku gelar tikar yang tadi kami bereskan? mana yang lebih hangat?

Ternyata Kinanti menyadari kegelisahan ku, ia pun bertanya, "Abang mau tidur? Biar aku pindahkan Mixi dan Yura ke bawah, Bang!" ucapnya sambil berbisik, mungkin ia tidak ingin Yura terbangun kembali.

"Abang cuma lagi mikirin tikar, tadi kita letakkan di mana ya?"

"Rasanya di gudang belakang, Bang!" jawabnya spontan.

Sebenarnya bukan letak tikar yang aku pikirkan, tapi ibu yang pagi nanti bisa ngomel karena tikarnya dipakai. Ia memang sudah dari awal tidak suka Kinanti dan anak-anak, rasanya aku tidak ingin memakai barang itu. Mungkin aku yang terlalu berperasangka buruk pada ibuku sendiri. Ya Allah maafkan hamba.

Aku memeriksa lemari, aku ingat masih ada seprei yang bisa aku gunakan sebagai alas. Dari pada memakai tikar ibu, lebih baik aku memakai barang pribadiku saja. Aku pun dengan santai membentangkannya di lantai.

"Abang, serius pakai seperei itu saja? Apa nggak dingin?"

"Kan ada kamu yang menghangatkan, sini tidur di bawah," ajakku pada bidadariku.

Aku tidak ingin dia tidur duduk seperti itu. Yura sudah terlelap lebih baik tidur di bawah berbantalkan lenganku saja.

Kinanti pun meletakkan kepala Yura dengan hati-hati, ia turun ke lantai dan tidur berbantalkan lenganku, sedangkan aku sendiri berbantalkan kain yang aku gulung.

"Nggak apa-apakan begini, Sayang?" bisikku dengan genit tepat di telinganya, "Kalau mau apa-apa besok ya!"

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
mertua oh mertua
goodnovel comment avatar
Roro Halus
aku gemes banget sumpah sama mulut bimer itu, kezelll
goodnovel comment avatar
Saraswati_5
ih nyebelin banget ibunya alfa.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status