Share

BAB 5. MENIKAHI JANDA

"Saya terima nikah dan kawinnya Syafnita Kinanti binti Idris Rahmad dengan mas kawin tersebut dibayar ... tuunaaii," aku berhasil mengucapkan kabul dalam satu tarikan nafas dengan sangat lancar.

"Bagaimana saksi?" tanya Pak Penghulu pada saksi yang telah ditunjuk.

"Sah ... sah!" ucap saksi hampir bersamaan. Seketika rasa gugup yang membelenggu dari semalam, lepas seketika. Lega sekali rasanya.

"Ya Allah, aku bahagia sekali!" batinku.

Kutatap wajah cantik dengan kerudung putih tulang yang duduk di sampingku. Sesaat pandangan kami bertemu. Wajahnya berseri, ia tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya dariku.

Aku pun tersenyum tertahan menyaksikan tingkahnya yang malu-malu seperti kucing. Sungguh ia cantik luar biasa menurutku.

"Saudara Alfa, boleh tanda tangan di sini!" Suara Pak Penghulu membuyarkan lamunanku dalam kekaguman, ia memintaku untuk menandatangani buku nikah kami. Meskipun aku menikahi seorang janda, namun pernikahan ini juga terdaftar secara negara.

Penghulu sekaligus wali hakim yang menikahkan kami memang sudah tua, tapi ia sangat pasih. Berbagai nasehat tentang pernikahan disampaikannya, sebagai bekal kami untuk berumah tangga.

"Baik, Pak," ucapku.

Aku mengambil pena, kami bergantian menandatangani buku kecil yang berbeda warna itu dan juga berkas lainnya. Semua tak luput dari kamera ponsel Nesya adikku.

Aku anak sulung dari dua bersaudara, kami bukan dari kalangan berada. Untuk kebutuhan sehari-hari aku bekerja di bengkel milik Mang Ardhan di kampung sebelah, di bengkel itulah cintaku bersemi. Sedangkan ayah, ia jualan es krim keliling untuk membiayai adik perempuanku yang masih SMA.

Sebenarnya ayah dan ibuku kurang setuju dengan pernikahan ini, karena statusku yang masih perjaka sedang Kinanti janda beranak dua. Meskipun usia kami terpaut lima tahun, tapi niatku sangat kuat untuk menikahi Kinanti, mau tidak mau mereka akhirnya merestui walau terpaksa.

Sebelum menikah, ibu sudah memberitahuku, jika aku tetap menikahi Kinanti silahkan cari tempat tinggal lain, alasannya mereka tidak suka dengan anak-anak. Ancaman mereka tidak membuatku gentar. Hari ini aku resmi menikahi janda beranak dua itu.

Kinanti menyalami kedua orangtuaku, yang kini menjadi mertuanya. Di depan para tamu, keduanya terlihat sangat menyambut baik kehadiran Kinanti, namun hanya aku yang tahu di dalam hati mereka.

"Ayah, Ibu," sapa Kinanti sambil bersimpuh menyalami mereka.

"Iya, Nak!" ucap ibu tersenyum palsu. Ayah pun melakukan hal yang sama.

Acara dilanjutkan dengan menyantap hidangan sedarhana yang di sediakan kedua orang tuaku. Cukup banyak para tetangga yang hadir, mereka semua pasti penasaran seperti apa wajah janda kampung sebelah yang aku nikahi.

Kinanti sendiri sudah menjanda semenjak empat tahun yang lalu. Suaminya seorang TKW dan memilih menikahi majikannya di negeri Jiran. Kinanti tinggal bersama kedua anaknya di rumah peninggalan sang mantan suami. Ia tidak punya sandaran di kampung tempat tinggalnya karena ia sendiri seorang perantau.

Sehari-hari ia berkeliling, jualan ketoprak dan nasi goreng sambil mengantar anaknya sekolah. Aku selalu membeli dagangannya setiap pagi. Selain wajah yang cantik, kegigihannya juga sangat menyentuh hatiku. Cukup lama aku mendekati dan meyakinkan Kinanti, akhirnya ia menerima lamaranku.

"Ayah ...!" Kedua anak Kinanti mendatangiku, mereka menyalamiku setelah Kinanti menyalami kedua orangtuaku.

"Iya," jawabku singkat. Aku memberikan tanganku untuk mereka cium. Anak Kinanti yang kecil begitu lama memegang tanganku. Matanya berkedip beberapa kali, memperhatikan raut wajahku dengan seksama. Dari wajah polosnya aku menyimpulkan mungkin ia sedang menikmati menyentuh sosok ayah.

"Yura! Sudah! Gantian!" tegur Mixi, anak sulung Kinanti.

Bocah delapan tahun ini terlihat lebih keras pada adiknya. Bentakannya membuat Yura cemberut dan langsung melepas tanganku. Mixi menyalami dan mencium punggung tanganku, tapi ekspresinya sangat cuek sekali. Ia hanya mencium punggung tanganku sekilas.

Karakter mereka terlihat sangat berbeda, namun kesan pertamaku mereka anak penurut dan patuh, setelah menyalamiku mereka juga menyalami kedua orang tuaku dan memanggil mereka dengan sebutan nenek dan kakek.

Aku sama sekali tidak membenci anak-anaknya Kinanti tapi juga sama sekali tidak menyayangi mereka. Bagaimana caranya aku bisa sayang, sedangkan di antara aku dan mereka tidak ada hubungan darah. Tapi ya sudahlah yang penting aku tidak melarang Kinanti merawat anak-anaknya kelak.

Sore pun telah datang, pesta sederhana telah selesai. Semua tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Aku sedang duduk di kamarku bersama Kinanti sedang kedua anaknya sudah tertidur di kasurku. Ini adalah kamar bujangku, kamar pengantinku mungkin ada di tempat tinggal Kinanti sekarang. Sebentar lagi aku akan memboyong mereka pergi dari rumah ini sesuai kehendak ibu dan bapakku.

"Kita tunggu anak-anak bangun dulu ya, Bang! Baru kita pulang."

Kinanti sudah tahu dengan rencana itu. Ia juga tau kalau orang tuaku tidak menerimanya, lebih tepatnya tidak menerima anak-anaknya.

"Iya, biarkan mereka beristirahat sejenak! Kau juga istirahatlah dulu," titahku. Kinanti juga pasti lelah menyalami tamu seharian ini.

"Baik, Bang!" Ia nurut dengan apa yang aku katakan. Besar sekali harapanku untuk melindungi janda muda ini.

Baru saja ia merebahkan badan, tiba-tiba suara ibu terdengar keras di dekat pintu kamarku.

"Kinan! Kinan! Bisa bantu ibu?" Teriak ibu dengan keras sambil menggedor pintu triplek kamarku itu.

"Biar Abang saja," ucapku. Aku berdiri lalu berjalan dan menyembulkan kepalaku di celah pintu.

"Ada apa, Bu?" tanyaku lembut.

"Mana Kinan? Habis pesta bukannya bantu beresin malah enak-enakkan tiduran," sarkas Ibu tanpa rasa bersalah.

Kinanti yang mendengar langsung menghampiri. "Kinan akan bantu, Bu!" ucapnya bergegas membuka daun pintu lebih lebar.

"Cepatan!" Ibu langsung berjalan dan Kinanti mengikuti ibu dari belakang.

Aku menduga pasti Kinanti di suruh Ibu mencuci piring. Biar cepat selesai dan kami bisa pergi dari sini aku pun menyusul dan membantu. Tidak akan aku biarkan isteriku merasakan pahitnya hidup, apalagi di depan mataku.

Sampai di dapur memang terlihat banyak sekali barang yang berserakan, sebenarnya sudah bersih karena tetangga sudah membantu mencucinya tadi. Ibu langsung pergi begitu tau aku menyusul.

"Abang bantu beresin ya!" ucapku.

Wanitaku tersenyum indah sekali. Aku sengaja menyuruhnya memanggilku Abang, walaupun usiaku lima tahun di bawahnya. Aku baru dua puluh lima dan dia sudah tiga puluh tahun. Fostur Kinanti yang mungil membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Jadi aku dan dia tetap terlihat serasi.

"Jangan angkat yang itu!" aku berteriak saat melihatnya hendak mengangkat kuali besi. "Biar Abang saja, kamu duduk diam aja di situ." tunjukku pada kursi dekat meja makan.

"Aku kuat kok, Bang! Bakul jualanku bahkan lebih berat," sahutnya. Ia pun mengangkat dan itu terlihat enteng.

Walaupun ukuran kuali tidak terlalu besar tapi karena bahannya dari besi tetap saja lebih berat. "Ternyata kau suka membantah!" ucapku sambil cemberut.

Kinanti melepaskan kuali besi yang baru diangkatnya. "Maaf, Abang!" Ia pun tertunduk.

Aku menahan senyum melihat wajahnya yang seketika jadi murung. Mungkin ia takut mengecewakan aku, padahal aku hanya bercanda mengatakan ia suka membantah.

Oh ... wanita kuatku, kau membuatku menjadi gemas! Aku menghampirinya, lalu memegang sebelah telinga kuali. "Kita angkat bersama ya?"

Ia langsung tersenyum dan memegang telinga kuali yang satunya lagi. "Abang tidak marah?" tanyanya polos.

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
percayalah tinggal sama mertua itu ngga enak
goodnovel comment avatar
Roro Halus
pleasee jangan serumah sama mertua, yok bangun keluarga bahagia kinan dan alfa
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
semoga j setelah ini alfa Sama kinan bahagia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status