"Saya terima nikah dan kawinnya Syafnita Kinanti binti Idris Rahmad dengan mas kawin tersebut dibayar ... tuunaaii," aku berhasil mengucapkan kabul dalam satu tarikan nafas dengan sangat lancar.
"Bagaimana saksi?" tanya Pak Penghulu pada saksi yang telah ditunjuk."Sah ... sah!" ucap saksi hampir bersamaan. Seketika rasa gugup yang membelenggu dari semalam, lepas seketika. Lega sekali rasanya."Ya Allah, aku bahagia sekali!" batinku.Kutatap wajah cantik dengan kerudung putih tulang yang duduk di sampingku. Sesaat pandangan kami bertemu. Wajahnya berseri, ia tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya dariku.Aku pun tersenyum tertahan menyaksikan tingkahnya yang malu-malu seperti kucing. Sungguh ia cantik luar biasa menurutku."Saudara Alfa, boleh tanda tangan di sini!" Suara Pak Penghulu membuyarkan lamunanku dalam kekaguman, ia memintaku untuk menandatangani buku nikah kami. Meskipun aku menikahi seorang janda, namun pernikahan ini juga terdaftar secara negara.Penghulu sekaligus wali hakim yang menikahkan kami memang sudah tua, tapi ia sangat pasih. Berbagai nasehat tentang pernikahan disampaikannya, sebagai bekal kami untuk berumah tangga."Baik, Pak," ucapku.Aku mengambil pena, kami bergantian menandatangani buku kecil yang berbeda warna itu dan juga berkas lainnya. Semua tak luput dari kamera ponsel Nesya adikku.Aku anak sulung dari dua bersaudara, kami bukan dari kalangan berada. Untuk kebutuhan sehari-hari aku bekerja di bengkel milik Mang Ardhan di kampung sebelah, di bengkel itulah cintaku bersemi. Sedangkan ayah, ia jualan es krim keliling untuk membiayai adik perempuanku yang masih SMA.Sebenarnya ayah dan ibuku kurang setuju dengan pernikahan ini, karena statusku yang masih perjaka sedang Kinanti janda beranak dua. Meskipun usia kami terpaut lima tahun, tapi niatku sangat kuat untuk menikahi Kinanti, mau tidak mau mereka akhirnya merestui walau terpaksa.Sebelum menikah, ibu sudah memberitahuku, jika aku tetap menikahi Kinanti silahkan cari tempat tinggal lain, alasannya mereka tidak suka dengan anak-anak. Ancaman mereka tidak membuatku gentar. Hari ini aku resmi menikahi janda beranak dua itu.Kinanti menyalami kedua orangtuaku, yang kini menjadi mertuanya. Di depan para tamu, keduanya terlihat sangat menyambut baik kehadiran Kinanti, namun hanya aku yang tahu di dalam hati mereka."Ayah, Ibu," sapa Kinanti sambil bersimpuh menyalami mereka."Iya, Nak!" ucap ibu tersenyum palsu. Ayah pun melakukan hal yang sama.Acara dilanjutkan dengan menyantap hidangan sedarhana yang di sediakan kedua orang tuaku. Cukup banyak para tetangga yang hadir, mereka semua pasti penasaran seperti apa wajah janda kampung sebelah yang aku nikahi.Kinanti sendiri sudah menjanda semenjak empat tahun yang lalu. Suaminya seorang TKW dan memilih menikahi majikannya di negeri Jiran. Kinanti tinggal bersama kedua anaknya di rumah peninggalan sang mantan suami. Ia tidak punya sandaran di kampung tempat tinggalnya karena ia sendiri seorang perantau.Sehari-hari ia berkeliling, jualan ketoprak dan nasi goreng sambil mengantar anaknya sekolah. Aku selalu membeli dagangannya setiap pagi. Selain wajah yang cantik, kegigihannya juga sangat menyentuh hatiku. Cukup lama aku mendekati dan meyakinkan Kinanti, akhirnya ia menerima lamaranku."Ayah ...!" Kedua anak Kinanti mendatangiku, mereka menyalamiku setelah Kinanti menyalami kedua orangtuaku."Iya," jawabku singkat. Aku memberikan tanganku untuk mereka cium. Anak Kinanti yang kecil begitu lama memegang tanganku. Matanya berkedip beberapa kali, memperhatikan raut wajahku dengan seksama. Dari wajah polosnya aku menyimpulkan mungkin ia sedang menikmati menyentuh sosok ayah."Yura! Sudah! Gantian!" tegur Mixi, anak sulung Kinanti.Bocah delapan tahun ini terlihat lebih keras pada adiknya. Bentakannya membuat Yura cemberut dan langsung melepas tanganku. Mixi menyalami dan mencium punggung tanganku, tapi ekspresinya sangat cuek sekali. Ia hanya mencium punggung tanganku sekilas.Karakter mereka terlihat sangat berbeda, namun kesan pertamaku mereka anak penurut dan patuh, setelah menyalamiku mereka juga menyalami kedua orang tuaku dan memanggil mereka dengan sebutan nenek dan kakek.Aku sama sekali tidak membenci anak-anaknya Kinanti tapi juga sama sekali tidak menyayangi mereka. Bagaimana caranya aku bisa sayang, sedangkan di antara aku dan mereka tidak ada hubungan darah. Tapi ya sudahlah yang penting aku tidak melarang Kinanti merawat anak-anaknya kelak.Sore pun telah datang, pesta sederhana telah selesai. Semua tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Aku sedang duduk di kamarku bersama Kinanti sedang kedua anaknya sudah tertidur di kasurku. Ini adalah kamar bujangku, kamar pengantinku mungkin ada di tempat tinggal Kinanti sekarang. Sebentar lagi aku akan memboyong mereka pergi dari rumah ini sesuai kehendak ibu dan bapakku."Kita tunggu anak-anak bangun dulu ya, Bang! Baru kita pulang."Kinanti sudah tahu dengan rencana itu. Ia juga tau kalau orang tuaku tidak menerimanya, lebih tepatnya tidak menerima anak-anaknya."Iya, biarkan mereka beristirahat sejenak! Kau juga istirahatlah dulu," titahku. Kinanti juga pasti lelah menyalami tamu seharian ini."Baik, Bang!" Ia nurut dengan apa yang aku katakan. Besar sekali harapanku untuk melindungi janda muda ini.Baru saja ia merebahkan badan, tiba-tiba suara ibu terdengar keras di dekat pintu kamarku."Kinan! Kinan! Bisa bantu ibu?" Teriak ibu dengan keras sambil menggedor pintu triplek kamarku itu."Biar Abang saja," ucapku. Aku berdiri lalu berjalan dan menyembulkan kepalaku di celah pintu."Ada apa, Bu?" tanyaku lembut."Mana Kinan? Habis pesta bukannya bantu beresin malah enak-enakkan tiduran," sarkas Ibu tanpa rasa bersalah.Kinanti yang mendengar langsung menghampiri. "Kinan akan bantu, Bu!" ucapnya bergegas membuka daun pintu lebih lebar."Cepatan!" Ibu langsung berjalan dan Kinanti mengikuti ibu dari belakang.Aku menduga pasti Kinanti di suruh Ibu mencuci piring. Biar cepat selesai dan kami bisa pergi dari sini aku pun menyusul dan membantu. Tidak akan aku biarkan isteriku merasakan pahitnya hidup, apalagi di depan mataku.Sampai di dapur memang terlihat banyak sekali barang yang berserakan, sebenarnya sudah bersih karena tetangga sudah membantu mencucinya tadi. Ibu langsung pergi begitu tau aku menyusul."Abang bantu beresin ya!" ucapku.Wanitaku tersenyum indah sekali. Aku sengaja menyuruhnya memanggilku Abang, walaupun usiaku lima tahun di bawahnya. Aku baru dua puluh lima dan dia sudah tiga puluh tahun. Fostur Kinanti yang mungil membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Jadi aku dan dia tetap terlihat serasi."Jangan angkat yang itu!" aku berteriak saat melihatnya hendak mengangkat kuali besi. "Biar Abang saja, kamu duduk diam aja di situ." tunjukku pada kursi dekat meja makan."Aku kuat kok, Bang! Bakul jualanku bahkan lebih berat," sahutnya. Ia pun mengangkat dan itu terlihat enteng.Walaupun ukuran kuali tidak terlalu besar tapi karena bahannya dari besi tetap saja lebih berat. "Ternyata kau suka membantah!" ucapku sambil cemberut.Kinanti melepaskan kuali besi yang baru diangkatnya. "Maaf, Abang!" Ia pun tertunduk.Aku menahan senyum melihat wajahnya yang seketika jadi murung. Mungkin ia takut mengecewakan aku, padahal aku hanya bercanda mengatakan ia suka membantah.Oh ... wanita kuatku, kau membuatku menjadi gemas! Aku menghampirinya, lalu memegang sebelah telinga kuali. "Kita angkat bersama ya?"Ia langsung tersenyum dan memegang telinga kuali yang satunya lagi. "Abang tidak marah?" tanyanya polos.Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s