Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul.
"Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku."Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti."Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap."Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya."Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera keluar kamar. Terlihat kedua anak itu sedang menangis sambil memegang telinga. Di samping mereka terlihat ibu sedang berkacak pinggang.Aku pun melangkah, sementara Kinanti sudah berlari ke arah mereka. Ia langsung bertumpu pada lututnya menenangkan kedua anak itu."Kenapa mereka, Bu?" tanyaku dengan suara pelan.Mixi dan Yura masih menangis, Kinanti memeluk dan sesekali mengusap air mata mereka."Kedua anak ini bandel sekali! Mereka mencuri ayam yang ibu goreng buat sarapan bapak!" jawab ibu yang masih berkacak pinggang.Bapak dan Neysa belum keluar dari kamar, ibu memang biasa menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Sedangkan Mixi dan Yura aku bahkan tidak tahu kapan mereka ke luar dari kamar dan sudah berada di dapur mencuri ayam goreng. Aku memang tidak membenarkan apa yang kedua anak itu lakukan, tapi akan menanyakannya terlebih dahulu."Kalian kenapa mencuri ayam?" tanyaku selayaknya bicara pada anak-anak.Kedua anak itu hanya menunduk, mungkin mereka juga merasa bersalah. "Kami suka ayam goreng," cicit Mixi."Maafkan Mixi dan Yura ya, Bu! Mereka memang suka sekali dengan ayam goreng!" papar Kinanti yang masih bertumpu dengan kedua lututnya."Emang dasarnya aja, nggak punya adab!" maki ibu, terdengar sangat tidak enak di telingaku. Walaupun yang di maki bukan anak kandungku, tapi hatiku sungguh terasa panas. Tidak pantas anak kecil dimaki seperti itu, mereka bisa dinasehati."Mereka masih anak-anak, Bu! Nanti aku nasehati," balasku, bukan maksud membela mereka, aku hanya mengeluarkan pendapatku saja.Tak ingin memperpanjang masalah, aku segera menetralkan perasaanku. "Mixi, Yura! Minta maaf sama nenek ya!" bujukku lembut.Mereka berdua serentak mengangguk, lalu berkata, "Maafkan kami, Nek!"Ibu memalingkan wajahnya sangat enggan melihat isteriku dan kedua anak itu."Ya sudah, kalian cuci muka, kita cari ojek di depan!" Aku putuskan untuk segera memboyong mereka pergi secepatnya, walaupun masih setengah tujuh. Aku yakin menunggu sebentar, tukang ojek pasti sudah banyak di pangkalan depan nantinya."Yuk, Kinan." Aku mengulurkan tangan pada isteriku agar ia segera berdiri.Kami berempat menuju kamar mandi yang letaknya di sebelah dapur, hanya ada satu kamar mandi di sini dan aku akan menemani mereka ke mana pun agar ibu tidak bisa lagi memarahi mereka.Setelah selesai mencuci muka, kami berjalan seperti anak itik yang mengikuti induknya. Aku di depan lalu di belakangku ada Mixi, Yura dan Kinanti berjalan berbanjar. Aku jadi merasa lucu sendiri.Tidak kuhiraukan lagi Ibu di dapur, aku tetap berjalan menuju kamarku. Terlihat ayah dan Neysa sudah duduk di meja makan."Abang, Kak Kinan! Ayo makan dulu!" ajak Neysa. Aku merasa lega ternyata adikku tidak mengikuti ibu dan ayah yang tidak menyukai Kinanti."Abang, langsung pulang aja dek. Nanti mau beberes juga di rumah sana." Rumah sana yang aku maksud adalah rumah yang saat ini di tempati Kinanti. Untuk sementara kami akan tinggal di sana dulu.Saat aku mengenalkan Kinanti kemaren, Neysa memang tidak banyak berkomentar. Mungkin adikku ini tidak masalah dengan status kakak iparnya. Ia terlihat tetap menghargai Kinanti. Saat pesta kemaren ia juga terlihat sangat antusias berfoto dan memuji kecantikan kakak iparnya."Yah ... padahal aku masih kangen." rajuknya. Selama ini ia memang manja padaku, apa-apa selalu minta padaku. Aku juga sangat memanjakan Neysa karena dia saudaraku satu-satunya.Ayah dan ibu tidak bicara apa-apa, dari awal mereka sudah menunjukkan ketidak sukaannya. Ya sudah biarkan saja, aku sudah menjadi kepala keluarga, sekarang sudah ada tanggung jawab besar di pundakku. Aku sudah harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk keluarga baruku. Aku akan menjauhi hal-hal yang akan merusak keutuhan rumah tanggaku, termasuk kedua orangtuaku.Aku menarik nafas dalam, lalu membujuk Neysa, "Nanti kau main ke rumah Abang ya!""Ok, Bang! Kalau nanti aku libur sekolah, aku akan nginap di sana juga," celotehnya dengan girang. "Bolehkan, Dek?""Boleh, Kakak Cantik!" jawab Yura dengan manisnya. Namun Mixi hanya mengangguk.Kinanti tersenyum kepada Neysa, kami lalu ke kamar, mengemas pakaian kemaren. Pakaian pengantin di bungkusnya dalam kantong kresek, nanti WO yang akan menjemput ke sini. Tak banyak beban yang akan kami bawa, beberes pun selesai.Setelahnya kami keluar hendak pamit pada orang di rumah ini.Aku berjalan terlebih dahulu, mereka bertiga masih di meja makan. "Ayah, Ibu, Ney! Kami pergi dulu."Aku mencium punggung tangan ayah dan ibu. Ternyata ibu masih punya perasaan sayang padaku. "Kau baik-baik di sana ya, Nak! Kalau ada apa-apa kau kembali saja kerumah ini. Kau boleh kapan pun kembali." Ibu menekankan kata kau, mungkin maksudnya aku sendiri tanpa keluarga baruku.Aku hanya membalas, "Baik, Bu!"Lalu aku menyalami bapak. "Pak, aku pergi dulu.""Kau memang sudah dewasa, sudah tidak membutuhkan kami lagi, sudah tidak mau mendengarkan kata-kata kami lagi." Suara ayah terdengar berat."Pesan macam apa ini, Ayah?" tanyaku."Semoga kau bahagia dengan pilihanmu!" sarkas ayah akhirnya. Aku tidak menjawab perkataan ayah lagi.Sekarang Kinanti juga menyalami ibu, "Ibu, aku pamit dulu.""Hmm ...," jawab ibu tanpa membuka mulutnya.Kinanti melanjutkan menyalami ayahku. "Ayah, aku pamit dulu.""Iya, sebaiknya begitu," jawaban ayah malah lebih tidak menyenangkan.Kinanti tertunduk, barangkali ia merasa benar-benar tidak dihargai. Mixi dan Yura memilih tidak menyalami mereka. Dengan riang Yura menyalami Neysa, cuma Neysa yang ia salami sedangkan Ayah dan Ibuku tidak."Kak Neysa, besok benaran ya ke rumah Yura. Kita main boneka, di rumah Yura ada Barbie," paparnya dengan polos.Yura yang baru enam tahun saja sudah bisa menilai sikap orang dewasa. Ia pintar sekali, aku juga tidak menyuruh Yura menyalami kedua orang tuaku, itu lebih baik dari pada jawaban mereka merusak mental nantinya.Neysa menyentuh gemas kepala anak itu. "Pasti! Besok kakak ke sana!"Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki."Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti."Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku. Sebelum
Kami sampai di rumah, Kinanti menyiapkan piring untuk kami sarapan. Setelah sarapan, aku pamit mau ke bengkel Mang Ardhan untuk mengambil pakaianku. Selama ini aku tinggal di bengkel, aku dan Mang Ardhan selalu bekerja bersama."Yang, Abang ambil baju di bengkel ya," teriakku. Kinanti sudah berada di dapur setelah membereskan piring kami tadi. Mungkin ia mau bersih-bersih rumah dulu setelah ini, biarlah aku pergi sendiri, jaraknya juga tidak terlalu jauh."I-iya, Bang!" sahutnya yang juga berteriak.Aku mengendarai motor dengan pelan, di perjalanan aku ingin membeli rokok. Aku pun mengarahkan motor ke sebuah warung di pinggir jalan. Aku tadi tidak tahu di situ ada Bang Panji, andai aku tahu tak akan aku mampir di sini. Bang Panji terlihat sedang ngobrol dengan teman-temannya. Begitu aku turun dari motor, aku merasa mereka semua melihat sinis padaku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.Aku tidak ingin peduli dengan tatapan mereka, mungkin itu hanya perasaan aku saja. Ya sudah, aku
"Eh ... kalian sudah pulang? Ibu baru mau ke pasar beli ayam buat kalian!" sambut Kinanti dengan lembut. Sangat lembut ia bicara pada anak-anak, jiwa keibuannya begitu kental terlihat.Ia melirik ke arahku, aku mengalihkan pandangan. Kepalaku terasa berat saat sudah di ujung begini. Arghh ... ini bocah berdua menggangguku saja."Kalian tunggu di luar ya, Ibu membereskan ini dulu," sambung Kinanti sambil menunjuk kantong kresek yang tadi aku bawa. Ia meminta anaknya ke luar."Baik, Bu!" Mereka keluar begitu saja tanpa menyapaku, mungkin mereka dapat melihat wajahku yang sedang kesal."Jangan ganggu Ibu dulu ya!" teriaknya setelah Mixi dan Yura berlalu dari kamar.Kinanti melihatku kembali lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf ya, Bang! Biar aku kunci dulu pintunya."Ia pasti tahu hukumnya melayani suami. Hanya saja hasratku sudah hilang untuk saat ini. Aku menetralkan perasaanku, rasanya aku ingin marah pada dua bocah ajaib yang tiba-tiba datang mengganggu. Aku mulai kesal, tapi tetap aka
Lidahku kelu, aku tak kunjung menjawab. Pelayan muda itu kembali bicara padaku, "Silahkan lihat-lihat dulu, Mas!"Ada beberapa ibu-ibu, semua melihat ke arahku. Rasanya aku ingin mundur saja, tapi barang yang aku cari tersusun indah di patung bagian atas. Sedikit lagi aku akan mendapatkannya. Aku putuskan untuk menegakkan kepala berjalan santai mendekati patung, tidak aku hiraukan lagi tatapan aneh mereka."Mbak! Aku mau yang ungu sama merah!" putusku.Gadis itu pun langsung menurunkan patung dan melepasnya di depanku. Aku segera berbalik badan, seketika aku teringat dengan warna ungu. Entah mengapa warna ungu identik dengan status janda. Rasanya tidak pantas aku membelikan Kinanti warna ungu, nanti ia berpikiran lain."Mbak, yang ungu ganti warna lain aja," ucapku sambil terus berjalan ke kasir tanpa memastikan barang yang ia ganti.Aku menunggu beberapa saat pesanan ku selesai dibungkus."Berapa, Mbak?" Aku menerima kantong kresek dan mengeluarkan dompetku."Seratus enam puluh ribu,
Aku melotot, melihat Kinanti masih memakai pakaian yang tadi, sedangkan ia juga melotot dan langsung menyalakku, "Maksud Abang apa? Kenapa belinya warna ungu?"Aku spontan melihat ke tangannya, ia memegang dua buah pakaian dinas dengan warna ungu. Aku menepuk dahiku, merutuki kebodohan gadis yang membantuku di toko tadi. Tapi sudah terjadi, Kinanti sudah terlanjur melihatnya, aku harus membujuk wanitaku, jangan sampai malam ini gagal lagi.Aku segera berjalan ke arahnya. Kugenggam kedua tangan isteriku sambil duduk di lantai sedangkan ia duduk di atas ranjang. Aku pun coba meyakinnya, "Maaf, Sayang! Ini sebuah kesalahan! Tadi Abang pilih merah dan hitam."Ia masih melotot ke arahku, mungkin ia merasa aku sengaja membelikannya warna ungu, karena statusnya yang seorang janda. Padahal tadi aku sudah minta ganti sama penjualnya, eh ... malah di ganti jadi ungu semua. "Masih muda sudah budek," gerutuku dalam hati untuk gadis tadi."Yang merah dan hitam itu kreseknya, Bang! Nih lihat!" Ia m
"Sudah! Cepat kalian berwudhu, ini handuknya." Kinanti datang memotong pertanyaan Yura dengan membawakan mereka handuk.Aku pergi ke kamar terlebih dahulu, ini lebih baik dari pada anak-anak itu bertanya lagi. Sampai di kamar aku menunggu isteriku untuk sholat berjamaah. Sekitar lima belas menit ia datang sudah lengkap dengan mukena."Ibu, kok subuh sudah mandi? Apa nggak dingin?" godaku menirukan suara Yura."Iya, Bang! Dingin banget! Makanya aku langsung pakai mukena, supaya anak-anak tidak bertanya," ia mengaku.Kami pun sholat berjamaah, setelah selesai aku teringat dengan perkataan Mang Ardhan kemaren tentang gajiku. Aku harus mendiskusikannya dengan Kinanti.Aku menariknya agar bersandar di bahuku, lalu ku genggam tangannya yang masih dalam mukena."Yang! Gimana, ya, pekerjaan Abang di bengkel? Gaji segitu ... cukup nggak buat kebutuhan kita? Atau Abang cari pekerjaan lain aja?" Aku serius meminta pendapatnya."Cukup, Bang! Kalau kita pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan
Enam bulan berlalu, sekarang usaha laundry kami semakin berkembang."Alhamdulillah, ya, Sayang! Ibu-ibu sudah semakin malas nyeterika baju." Aku terkekeh sambil menyelipkan sejumlah uang untuk ditabung ke bank besok hari."Sudah berapa sih tabungan kita, Bang?" Ia menarik lembut buku tabung yang ada di tanganku untuk melihat nominalnya."Alhamdulillah sudah banyak," jawabku. Jujur saja tabungan kami sudah cukup untuk membeli lima ekor sapi bujang.Semenjak kami membuka usaha laundry, Kinanti tidak pernah lagi berjualan. Ia di rumah mengurus usaha laundry bersama seorang karyawan yang bernama Kak Emi. Mereka yang mengerjakan semuanya, aku yang bertugas antar jemput orderan.Biasanya orderan cukup aku bawa dengan motor matic biasa, sekarang aku sudah merubah motorku menjadi becak motor karena orderan sudah semakin banyak.Uang hasil usaha laundry kami tabung seutuhnya, sedangkan kebutuhan dapur aku penuhi dengan bekerja di bengkel, rasanya masih enggan meninggalkan Mang Ardhan. Seperti
Aku langsung menyambutnya, beruntung aku masih muda dan gerak refleksku berfungsi dengan baik. Sedetik saja aku terlambat isteriku akan mendarat di lantai. Seandainya itu terjadi aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan calon anakku.Ini pengalaman pertamaku menjaga ibu hamil, aku harus siap siaga. Aku sering baca di artikel dan juga lihat di YouTube tentang kehamilan. Ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil, aku tidak mau kehamilan isteriku bermasalah."Hati-hati, Sayang! Berarti benar kita harus nambah karyawan," putusku. Kali ini tidak ada protes lagi dari isteriku."Ya sudah, nanti ku tanya Kak Emi, mungkin dia punya teman yang mau bekerja di laundry kita." Kinanti tidak jadi pergi membuatkan aku teh, dia duduk kembali di atas ranjang.Kak Emi adalah satu-satunya karyawan kami saat ini. Dia lebih tua dari Kinanti, makanya kami memanggilnya dengan kak.Keesokan harinya aku bekerja seperti biasa, saat baru sampai di bengkel pesan singkat dari Kinanti masuk. [Bang, kita