Home / Rumah Tangga / Suami Janda Paling Setia / BAB 7. KEHEBOHAN DI PAGI HARI

Share

BAB 7. KEHEBOHAN DI PAGI HARI

Author: Viala La
last update Last Updated: 2023-08-02 12:02:26

Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul.

"Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.

Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku.

"Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti.

"Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap.

"Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya.

"Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.

Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera keluar kamar. Terlihat kedua anak itu sedang menangis sambil memegang telinga. Di samping mereka terlihat ibu sedang berkacak pinggang.

Aku pun melangkah, sementara Kinanti sudah berlari ke arah mereka. Ia langsung bertumpu pada lututnya menenangkan kedua anak itu.

"Kenapa mereka, Bu?" tanyaku dengan suara pelan.

Mixi dan Yura masih menangis, Kinanti memeluk dan sesekali mengusap air mata mereka.

"Kedua anak ini bandel sekali! Mereka mencuri ayam yang ibu goreng buat sarapan bapak!" jawab ibu yang masih berkacak pinggang.

Bapak dan Neysa belum keluar dari kamar, ibu memang biasa menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Sedangkan Mixi dan Yura aku bahkan tidak tahu kapan mereka ke luar dari kamar dan sudah berada di dapur mencuri ayam goreng. Aku memang tidak membenarkan apa yang kedua anak itu lakukan, tapi akan menanyakannya terlebih dahulu.

"Kalian kenapa mencuri ayam?" tanyaku selayaknya bicara pada anak-anak.

Kedua anak itu hanya menunduk, mungkin mereka juga merasa bersalah. "Kami suka ayam goreng," cicit Mixi.

"Maafkan Mixi dan Yura ya, Bu! Mereka memang suka sekali dengan ayam goreng!" papar Kinanti yang masih bertumpu dengan kedua lututnya.

"Emang dasarnya aja, nggak punya adab!" maki ibu, terdengar sangat tidak enak di telingaku. Walaupun yang di maki bukan anak kandungku, tapi hatiku sungguh terasa panas. Tidak pantas anak kecil dimaki seperti itu, mereka bisa dinasehati.

"Mereka masih anak-anak, Bu! Nanti aku nasehati," balasku, bukan maksud membela mereka, aku hanya mengeluarkan pendapatku saja.

Tak ingin memperpanjang masalah, aku segera menetralkan perasaanku. "Mixi, Yura! Minta maaf sama nenek ya!" bujukku lembut.

Mereka berdua serentak mengangguk, lalu berkata, "Maafkan kami, Nek!"

Ibu memalingkan wajahnya sangat enggan melihat isteriku dan kedua anak itu.

"Ya sudah, kalian cuci muka, kita cari ojek di depan!" Aku putuskan untuk segera memboyong mereka pergi secepatnya, walaupun masih setengah tujuh. Aku yakin menunggu sebentar, tukang ojek pasti sudah banyak di pangkalan depan nantinya.

"Yuk, Kinan." Aku mengulurkan tangan pada isteriku agar ia segera berdiri.

Kami berempat menuju kamar mandi yang letaknya di sebelah dapur, hanya ada satu kamar mandi di sini dan aku akan menemani mereka ke mana pun agar ibu tidak bisa lagi memarahi mereka.

Setelah selesai mencuci muka, kami berjalan seperti anak itik yang mengikuti induknya. Aku di depan lalu di belakangku ada Mixi, Yura dan Kinanti berjalan berbanjar. Aku jadi merasa lucu sendiri.

Tidak kuhiraukan lagi Ibu di dapur, aku tetap berjalan menuju kamarku. Terlihat ayah dan Neysa sudah duduk di meja makan.

"Abang, Kak Kinan! Ayo makan dulu!" ajak Neysa. Aku merasa lega ternyata adikku tidak mengikuti ibu dan ayah yang tidak menyukai Kinanti.

"Abang, langsung pulang aja dek. Nanti mau beberes juga di rumah sana." Rumah sana yang aku maksud adalah rumah yang saat ini di tempati Kinanti. Untuk sementara kami akan tinggal di sana dulu.

Saat aku mengenalkan Kinanti kemaren, Neysa memang tidak banyak berkomentar. Mungkin adikku ini tidak masalah dengan status kakak iparnya. Ia terlihat tetap menghargai Kinanti. Saat pesta kemaren ia juga terlihat sangat antusias berfoto dan memuji kecantikan kakak iparnya.

"Yah ... padahal aku masih kangen." rajuknya. Selama ini ia memang manja padaku, apa-apa selalu minta padaku. Aku juga sangat memanjakan Neysa karena dia saudaraku satu-satunya.

Ayah dan ibu tidak bicara apa-apa, dari awal mereka sudah menunjukkan ketidak sukaannya. Ya sudah biarkan saja, aku sudah menjadi kepala keluarga, sekarang sudah ada tanggung jawab besar di pundakku. Aku sudah harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk keluarga baruku. Aku akan menjauhi hal-hal yang akan merusak keutuhan rumah tanggaku, termasuk kedua orangtuaku.

Aku menarik nafas dalam, lalu membujuk Neysa, "Nanti kau main ke rumah Abang ya!"

"Ok, Bang! Kalau nanti aku libur sekolah, aku akan nginap di sana juga," celotehnya dengan girang. "Bolehkan, Dek?"

"Boleh, Kakak Cantik!" jawab Yura dengan manisnya. Namun Mixi hanya mengangguk.

Kinanti tersenyum kepada Neysa, kami lalu ke kamar, mengemas pakaian kemaren. Pakaian pengantin di bungkusnya dalam kantong kresek, nanti WO yang akan menjemput ke sini. Tak banyak beban yang akan kami bawa, beberes pun selesai.

Setelahnya kami keluar hendak pamit pada orang di rumah ini.

Aku berjalan terlebih dahulu, mereka bertiga masih di meja makan. "Ayah, Ibu, Ney! Kami pergi dulu."

Aku mencium punggung tangan ayah dan ibu. Ternyata ibu masih punya perasaan sayang padaku. "Kau baik-baik di sana ya, Nak! Kalau ada apa-apa kau kembali saja kerumah ini. Kau boleh kapan pun kembali." Ibu menekankan kata kau, mungkin maksudnya aku sendiri tanpa keluarga baruku.

Aku hanya membalas, "Baik, Bu!"

Lalu aku menyalami bapak. "Pak, aku pergi dulu."

"Kau memang sudah dewasa, sudah tidak membutuhkan kami lagi, sudah tidak mau mendengarkan kata-kata kami lagi." Suara ayah terdengar berat.

"Pesan macam apa ini, Ayah?" tanyaku.

"Semoga kau bahagia dengan pilihanmu!" sarkas ayah akhirnya. Aku tidak menjawab perkataan ayah lagi.

Sekarang Kinanti juga menyalami ibu, "Ibu, aku pamit dulu."

"Hmm ...," jawab ibu tanpa membuka mulutnya.

Kinanti melanjutkan menyalami ayahku. "Ayah, aku pamit dulu."

"Iya, sebaiknya begitu," jawaban ayah malah lebih tidak menyenangkan.

Kinanti tertunduk, barangkali ia merasa benar-benar tidak dihargai. Mixi dan Yura memilih tidak menyalami mereka. Dengan riang Yura menyalami Neysa, cuma Neysa yang ia salami sedangkan Ayah dan Ibuku tidak.

"Kak Neysa, besok benaran ya ke rumah Yura. Kita main boneka, di rumah Yura ada Barbie," paparnya dengan polos.

Yura yang baru enam tahun saja sudah bisa menilai sikap orang dewasa. Ia pintar sekali, aku juga tidak menyuruh Yura menyalami kedua orang tuaku, itu lebih baik dari pada jawaban mereka merusak mental nantinya.

Neysa menyentuh gemas kepala anak itu. "Pasti! Besok kakak ke sana!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (11)
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
Go Nesya. kasih paham buat mereka
goodnovel comment avatar
Roro Halus
kedua mertua jahaman... astagaaaa
goodnovel comment avatar
Baby Yangfa
jahat banget itu mertuanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 106. TAMAT

    Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 105. SEBUAH KEBENARAN

    Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 104. PERNIKAHAN MIXI

    "Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 103. TERTANGKAP BASAH

    Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 102. KARET PENGAMAN

    Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 101. LIMA TAHUN BERLALU

    Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status