Share

BAB 7. KEHEBOHAN DI PAGI HARI

Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul.

"Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.

Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku.

"Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti.

"Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap.

"Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya.

"Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.

Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera keluar kamar. Terlihat kedua anak itu sedang menangis sambil memegang telinga. Di samping mereka terlihat ibu sedang berkacak pinggang.

Aku pun melangkah, sementara Kinanti sudah berlari ke arah mereka. Ia langsung bertumpu pada lututnya menenangkan kedua anak itu.

"Kenapa mereka, Bu?" tanyaku dengan suara pelan.

Mixi dan Yura masih menangis, Kinanti memeluk dan sesekali mengusap air mata mereka.

"Kedua anak ini bandel sekali! Mereka mencuri ayam yang ibu goreng buat sarapan bapak!" jawab ibu yang masih berkacak pinggang.

Bapak dan Neysa belum keluar dari kamar, ibu memang biasa menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Sedangkan Mixi dan Yura aku bahkan tidak tahu kapan mereka ke luar dari kamar dan sudah berada di dapur mencuri ayam goreng. Aku memang tidak membenarkan apa yang kedua anak itu lakukan, tapi akan menanyakannya terlebih dahulu.

"Kalian kenapa mencuri ayam?" tanyaku selayaknya bicara pada anak-anak.

Kedua anak itu hanya menunduk, mungkin mereka juga merasa bersalah. "Kami suka ayam goreng," cicit Mixi.

"Maafkan Mixi dan Yura ya, Bu! Mereka memang suka sekali dengan ayam goreng!" papar Kinanti yang masih bertumpu dengan kedua lututnya.

"Emang dasarnya aja, nggak punya adab!" maki ibu, terdengar sangat tidak enak di telingaku. Walaupun yang di maki bukan anak kandungku, tapi hatiku sungguh terasa panas. Tidak pantas anak kecil dimaki seperti itu, mereka bisa dinasehati.

"Mereka masih anak-anak, Bu! Nanti aku nasehati," balasku, bukan maksud membela mereka, aku hanya mengeluarkan pendapatku saja.

Tak ingin memperpanjang masalah, aku segera menetralkan perasaanku. "Mixi, Yura! Minta maaf sama nenek ya!" bujukku lembut.

Mereka berdua serentak mengangguk, lalu berkata, "Maafkan kami, Nek!"

Ibu memalingkan wajahnya sangat enggan melihat isteriku dan kedua anak itu.

"Ya sudah, kalian cuci muka, kita cari ojek di depan!" Aku putuskan untuk segera memboyong mereka pergi secepatnya, walaupun masih setengah tujuh. Aku yakin menunggu sebentar, tukang ojek pasti sudah banyak di pangkalan depan nantinya.

"Yuk, Kinan." Aku mengulurkan tangan pada isteriku agar ia segera berdiri.

Kami berempat menuju kamar mandi yang letaknya di sebelah dapur, hanya ada satu kamar mandi di sini dan aku akan menemani mereka ke mana pun agar ibu tidak bisa lagi memarahi mereka.

Setelah selesai mencuci muka, kami berjalan seperti anak itik yang mengikuti induknya. Aku di depan lalu di belakangku ada Mixi, Yura dan Kinanti berjalan berbanjar. Aku jadi merasa lucu sendiri.

Tidak kuhiraukan lagi Ibu di dapur, aku tetap berjalan menuju kamarku. Terlihat ayah dan Neysa sudah duduk di meja makan.

"Abang, Kak Kinan! Ayo makan dulu!" ajak Neysa. Aku merasa lega ternyata adikku tidak mengikuti ibu dan ayah yang tidak menyukai Kinanti.

"Abang, langsung pulang aja dek. Nanti mau beberes juga di rumah sana." Rumah sana yang aku maksud adalah rumah yang saat ini di tempati Kinanti. Untuk sementara kami akan tinggal di sana dulu.

Saat aku mengenalkan Kinanti kemaren, Neysa memang tidak banyak berkomentar. Mungkin adikku ini tidak masalah dengan status kakak iparnya. Ia terlihat tetap menghargai Kinanti. Saat pesta kemaren ia juga terlihat sangat antusias berfoto dan memuji kecantikan kakak iparnya.

"Yah ... padahal aku masih kangen." rajuknya. Selama ini ia memang manja padaku, apa-apa selalu minta padaku. Aku juga sangat memanjakan Neysa karena dia saudaraku satu-satunya.

Ayah dan ibu tidak bicara apa-apa, dari awal mereka sudah menunjukkan ketidak sukaannya. Ya sudah biarkan saja, aku sudah menjadi kepala keluarga, sekarang sudah ada tanggung jawab besar di pundakku. Aku sudah harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk keluarga baruku. Aku akan menjauhi hal-hal yang akan merusak keutuhan rumah tanggaku, termasuk kedua orangtuaku.

Aku menarik nafas dalam, lalu membujuk Neysa, "Nanti kau main ke rumah Abang ya!"

"Ok, Bang! Kalau nanti aku libur sekolah, aku akan nginap di sana juga," celotehnya dengan girang. "Bolehkan, Dek?"

"Boleh, Kakak Cantik!" jawab Yura dengan manisnya. Namun Mixi hanya mengangguk.

Kinanti tersenyum kepada Neysa, kami lalu ke kamar, mengemas pakaian kemaren. Pakaian pengantin di bungkusnya dalam kantong kresek, nanti WO yang akan menjemput ke sini. Tak banyak beban yang akan kami bawa, beberes pun selesai.

Setelahnya kami keluar hendak pamit pada orang di rumah ini.

Aku berjalan terlebih dahulu, mereka bertiga masih di meja makan. "Ayah, Ibu, Ney! Kami pergi dulu."

Aku mencium punggung tangan ayah dan ibu. Ternyata ibu masih punya perasaan sayang padaku. "Kau baik-baik di sana ya, Nak! Kalau ada apa-apa kau kembali saja kerumah ini. Kau boleh kapan pun kembali." Ibu menekankan kata kau, mungkin maksudnya aku sendiri tanpa keluarga baruku.

Aku hanya membalas, "Baik, Bu!"

Lalu aku menyalami bapak. "Pak, aku pergi dulu."

"Kau memang sudah dewasa, sudah tidak membutuhkan kami lagi, sudah tidak mau mendengarkan kata-kata kami lagi." Suara ayah terdengar berat.

"Pesan macam apa ini, Ayah?" tanyaku.

"Semoga kau bahagia dengan pilihanmu!" sarkas ayah akhirnya. Aku tidak menjawab perkataan ayah lagi.

Sekarang Kinanti juga menyalami ibu, "Ibu, aku pamit dulu."

"Hmm ...," jawab ibu tanpa membuka mulutnya.

Kinanti melanjutkan menyalami ayahku. "Ayah, aku pamit dulu."

"Iya, sebaiknya begitu," jawaban ayah malah lebih tidak menyenangkan.

Kinanti tertunduk, barangkali ia merasa benar-benar tidak dihargai. Mixi dan Yura memilih tidak menyalami mereka. Dengan riang Yura menyalami Neysa, cuma Neysa yang ia salami sedangkan Ayah dan Ibuku tidak.

"Kak Neysa, besok benaran ya ke rumah Yura. Kita main boneka, di rumah Yura ada Barbie," paparnya dengan polos.

Yura yang baru enam tahun saja sudah bisa menilai sikap orang dewasa. Ia pintar sekali, aku juga tidak menyuruh Yura menyalami kedua orang tuaku, itu lebih baik dari pada jawaban mereka merusak mental nantinya.

Neysa menyentuh gemas kepala anak itu. "Pasti! Besok kakak ke sana!"

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
Go Nesya. kasih paham buat mereka
goodnovel comment avatar
Roro Halus
kedua mertua jahaman... astagaaaa
goodnovel comment avatar
Baby Yangfa
jahat banget itu mertuanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status