Aroma masakan menyambut kepulangan Juna. Baru di depan pintu utama, tapi aroma rempah yang tampaknya sedang berbaur dengan ayam goreng itu sudah berhasil menggugah selera. Ia segera berlari menuju dapur setelah melepas sepatu dan kaos kaki. Ia penasaran, apa yang tengah di masak Bi Arum di belakang sana."Masak apa bi?" tanya Juna ketika menginjakkan kaki di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia belum sepenuhnya melihat siapa yang sedang berkutat di depan kompor. Tapi agaknya memang Bi Arum. Mana mungkin Namira memakai daster. Dan tidak mungkin juga Namira memasak."Bi Arum sekarang kurusan ya?" tanya Juna diakhiri kekehan. Baru sadar dengan postur tubuh Bi Arum yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Akhir-akhir ini ia memang jarang memperhatikan Bi Arum. Perempuan itu berbalik, menatap Juna galak. Sutil yang digunakan untuk membolak balik ayam goreng di wajan kini sudah berada tepat di depan mata Juna. Satu dorongan lagi, mata Juna sukses kecolok."Bi, bi, bi, babi! Ini gue!
"Aku takut Regi bawa kamu kabur atau melakukan hal yang nggak pernah kita pikirkan sebelumnya," sambung Juna. "Aku takut, Mir."Namira tercengang mendengar ucapan Juna yang sebelumnya tak pernah Namira sangka akan keluar dari mulut suaminya. Ia juga sedikit terharu karena Juna mengakui takut kehilangan dirinya."Eh, jangan mikir gitu dong. Regi nggak mungkin ngelakuin hal jahat. Lagian di sana juga ada tim dari perusahaan yang lain. Tenang aja, Regi nggak bakal berbuat sejauh itu. Kalaupun dia suka aku, yaudah. Aku nggak bakal nanggepin biar dia nggak berharap lebih. Dan kalau beneran dia ngelakuin hal jahat, aku bakal langsung telvon kamu. Aku bakal lapor ke kamu tentang kegiatan aku nantinya. Setiap hari. Kayaknya nggak bakal lama. Paling cuma seminggu," jelas Namira panjang lebar.Meski sudah diberi penjelasan, rasa ragu Juna belum juga hilang. Melihat Juna yang demikian, Namira menghela nafas. Sebetulnya ia juga tidak akan memaksa untuk tetap ikut jika Juna tidak memberi izin. Unt
Pagi-pagi sekali rumah Arjuna sudah berisik. Suara keran menyala, langkah kaki yang berlari-lari dan suara benda jatuh yang berasal dari dapur. Namira memang sedikit sibuk. Hari ini ia akan melakukan perjalanan ke luar kota untuk melaksanakan tugas pertama bersama beberapa rekannya seperti yang telah disampaikan Regi kemarin. Dan untuk beberapa hari ke depan atau mungkin beberapa Minggu ke depan, Namira tidak akan berada di rumah. Bisa dikatakan, hari ini adalah hari terakhir ia menyiapkan sarapan untuk Juna. Hari terakhir bersama suami tercintanya.Subuh-subuh Namira usai membersihkan tubuhnya. Baju kantor juga sudah terpasang rapi, membalut badan. Barang-barang serta baju-baju yang akan dibawa juga sudah tersusun dengan baik di dalam koper. Tidak ada yang perlu Namira khawatirkan perihal perjalanannya. Yang ia khawatirkan adalah Juna yang hingga saat ini masih belum juga bangun. Semalam pria itu bermain game hingga jam tiga pagi. Makanya pagi ini sulit dibangunkan. Untuk ke sekian
"Tugas kamu tidak sulit. Buat Juna melakukan hal yang mengharuskan dia untuk bertanggung jawab. Entah apa itu, pikirkan saja olehmu." Gamandi menurunkan kakinya yang semula bertengger di atas meja. Tatapannya tertuju pada perempuan paruh baya yang berdiri di hadapannya. "Saya tidak ingin mendengar kabar baik. Bagaimanapun caranya, rumah tangga Juna harus hancur.""Ba--baik, Tuan.""Kalau bisa, Juna harus menjadikan anak berpenyakitan itu istri keduanya," sambung Gamandi.Perempuan itu mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ucapan itu menyakitkan, tapi dia tidak punya kekuatan untuk membalas ucapan itu selain menganggukkan kepala. "Baik, Tuan.""Oke, kamu boleh pergi."Kenapa dengan Gamandi? Jelas aneh bukan? Pria yang telah menjodohkan Juna dengan Namira malah menginginkan rumah tangga putranya hancur. Ayah yang jahat, mertua yang aneh. Alasan Gamandi menikahkan Juna dengan Namira memang tidak jelas. Bukan karena ingin menolong Basri yang kala itu sedang berada pada titik terendahnya, j
"Kamu liat, Mir. Baru juga ditinggal beberapa jam, udah luka aja suami kamu," omel Juna menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamar tersebut. Kemejanya yang kotor sudah ia lepas, menyisakan tubuh bagian atas yang kini tak ditutupi apapun.Teh yang mengenai dada Juna tidak terlalu panas, tapi tetap meninggalkan luka seperti luka bakar berwarna merah dan terasa sedikit pedih. Juna menyentuhnya, lalu meringis pelan. Luka tersebut terasa sakit jika ditekan. Kalau sudah begini, obatnya adalah sentuhan tangan Namira. Mengingat perempuan itu, Juna jadi ingin mengabari Namira perihal suaminya yang terluka.Lantas, Juna meraih ponselnya. Menekan beberapa angka yang mana adalah nomor Namira. Panggilan tersambung, tapi tak kunjung diangkat. Ia coba sekali lagi, tapi hasilnya tetap sama. Juna mengakhiri, mencoba berfikir positif. Mungkin Namira masih dalam perjalanan dan sedang tertidur. Jalan lain yang Juna pilih adalah dengan memfoto dirinya yang tak pakai baju, lalu mengirimkannya pad
Setibanya di hotel, Namira langsung beristirahat. Dikarenakan Namira sendiri yang perempuan, dia mendapat akses untuk tidur sendirian di satu kamar. Sedangkan enam rekan lainnya tidur di dua kamar, masing-masing berisi tiga dan dua orang. Awalnya Regi menawarkan dirinya untuk menemani Namira. Namun Namira menolak dengan alasan dia tidak apa-apa sendirian. Ya mana mungkin Namira tidur satu kamar dengan lelaki lain sedangkan dirinya sudah punya suami. Terlebih lagi Regi menaruh rasa pada dirinya, membuat Namira takut untuk terlalu dekat dengan laki-laki itu.Usai beberes dan membersihkan diri, Namira keluar dari kamar. Ada agenda makan siang bersama sebelum meeting dan akan diakhiri dengan kunjungan ke salah satu pabrik yang ada di kota tersebut. Mereka juga berencana mengunjungi rumah wali kota untuk membicarakan lahan kosong di pinggiran hutan. Katanya lagi, mereka tidak akan berlama-lama di kota ini. Hanya satu Minggu. Jelas itu berita baik. Dalam waktu dekat dia akan kembali bertemu
Ada dua pasien yang akan Juna tangani saat ini. Karena hal itu, Juna meminta Zahira untuk menunggu dirinya di dalam kamar yang terdapat di ruangannya. Gadis itu diminta untuk beristirahat di sana hingga Juna selesai menangani kedua pasiennya. Namun sayangnya, anak itu tidak mau menurut. Zahira malah kabur dan berakhir ngacir ke kantin, main di pos satpam, lalu entah kesurupan apa malah main lari-lari bersama seorang anak kecil di taman. Dari tempatnya Juna masih memperhatikan. Melihat bagaimana lepasnya tawa gadis malang yang katanya tak punya umur panjang itu. Tidak sepenuhnya dapat dipercaya, tapi penyakit gadis itu memang sudah sangat berbahaya."Anak nakal," gumam Juna seraya menggelengkan kepalanya. Nanti sakitnya kumat, Juna juga yang repot. Juna tidak masalah direpotkan, tapi kasian Zahira jika sakitnya semakin menjadi. Tiba-tiba benda di saku Juna bergetar. Laki-laki itu tersentak, sedikit kaget. Lalu meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelvon di siang bolong ini. Senyu
"Kamu ngapain manjat pohon? Nggak ada kerjaan banget," omel Juna yang tengah mengobati luka di lutut Zahira. Tidak parah, hanya saja lutut, siku dan betis gadis itu tergores.Zahira mencebikkan bibirnya. Lalu meringis kala Juna menempelkan kapas beralkohol di lukanya. "Aduh, pelan-pelan pak dokter. Sakit."Juna menghela nafasnya sembari menggelengkan kepalanya tak habis fikir. Benar kan dugaannya, anak bandel ini memang akan merepotkan Juna. "Kalau main tuh nggak usah pakai acara manjat pohon segala. Biar apa kamu begitu?""Ya tadi kan ada kupu-kupu. Cantik. Pengen ngambil, tapi malah kepleset," ujar Zahira dengan nada sedih. Mukanya juga tampak cemberut.Juna tertawa pelan. Setelah mengobati luka di lutut, siku dan betis gadis itu, Juna bangkit dari posisi berlututnya. Sudut bibirnya tertarik bersamaan dengan tangan yang bergerak mengusap surai legam Zahira. "Lain kali nggak usah ngelakuin hal aneh. Cukup duduk aja, nggak usah banyak tingkah."Zahira memajukan bibir bawahnya, kesal d