Share

5. Pasutri Baru

Pagi menjelang terlalu cepat. Tak disangka, Juna tertidur pulas sembari memeluk Namira yang juga tidak menyadari posisi mereka. Nampak terlelap begitu nyenyak, membuat Juna yang sudah bangun duluan menjadi deg-degan. Posisi yang berbahaya, membuat darah berdesir dan jantung berdebar-debar. Wah, memang tidak sia-sia dia menikah dengan perempuan itu. Sebenarnya paras tak terlalu diperhitungkan, tapi jika dapat yang hampir sempurna, jelas Juna bersyukur.

"AAAAAAA!"

BUGH!

Namira terbangun tepat di saat mata Juna menatap dalam wajah perempuan itu. Namira memekik, mendorong Juna yang memeluknya hingga jatuh dari ranjang. Meringis sudah tulung punggung Juna karena terhantuk sudut nakas.

"Lo ngapain?!"

Juna mengerutkan dahi kesakitan. Memegangi pinggangnya yang berkedut. Kemudian tatapannya tertuju pada Namira yang melotot garang. "Kamu kenapa dorong saya?!"

"Situ ngapain meluk gue?!"

"Ya mana saya tau."

Namira menatap Juna kesal. Ingin ia bejek-bejek rasanya wajah tampan itu. Tapi Namira urungkan dan dia memilih turun dari kasur, berjalan meninggalkan kamar tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Juna yang melihat hanya bisa geleng-geleng kepala. Perempuan terlalu banyak gaya. Gengsi segede planet sagitarius diperlihara. Juna yakin, Namira senang saat tidur di pelukan Juna. Hanya saja dia terlalu malu untuk mengakui dan mengatakan pelukan Juna nyaman. Memang ya, berurusan dengan perempuan kerap membuat kepala berat sebelah.

"Saya mandi dulu. Jangan lupa bikin sarapan," ujar Juna seraya melangkah memasuki kamar mandi.

"Lo pikir gue pembantu?!"

"Kamu istri saya. Biasanya seorang istri membuatkan suaminya sarapan."

"Gue bukan--"

"Jangan membantah!"

***

Namira adalah perempuan yang sangat jarang berbaur dengan wajan dan kompor. Dia lebih suka makan makanan cepat saji atau masakan mama. Namira adalah perempuan yang cukup pemalas. Hobinya rebahan, makan, lalu main game dan memikirkan pekerjaan apa yang patut dia tekuni. Namira tamat S1 dengan jurusan yang cukup langka. Namun sulit untuk lulus interview karena Namira kurang percaya diri dalam menjawab pertanyaan dari HRD. Tampaknya dia memang diprofesikan sebagai ibu rumah tangga.

"Mau masak apa? Mie instan aja kali ya?" Namira bergumam seraya membuka lemari. Tidak ada apa-apa, hanya angin dan kehampaan. Namira berdecak, membanting pintu lemari kuat-kuat. "Mau makan apa nih gue?"

"Ngapain kamu banting-banting pintu lemari?" Juna datang dari arah belakang Namira. Tubuhnya hanya dibalut handuk berbentuk baju yang namanya masih juga belum tau. Juna lupa jika di apartemen ini tidak ada baju ganti. Tadi dia sudah memesan baju di online shop. Katanya akan segera sampai karena Juna memilih kurir kilat.

Namira berbalik, berhadapan dengan Juna. "Lo ngapain pakai baju handuk?"

"Saya nggak punya baju."

"Udah tau nggak punya baju ganti, masih aja mandi," ujar Namira.

Juna mengedikkan bahunya. "Badan saya gerah. Butuh mandi."

"Tapi ya sadar jugalah, di sini nggak ada baju ganti," omel Namira.

Juna tidak terlalu menanggapi ucapan perempuan itu. Ia melihat ke arah kompor, tidak ada yang dimasak. Kemudian melihat ke arah meja makan, tidak juga ada makanan. Mau makan apa dia? Juna lapar. Sangat lapar.

"Nggak ada yang bisa dimakan?"

"Nggak. Kosong semua lemarinya. Bahkan mie instan yang selalu ada dimana-mana, di sini nggak ada," jawab Namira. Bisa-bisanya tidak stok bahan makanan.

"Yaudah, kita makan di luar aja," usul Juna. Perut lapar tidak bisa didiamkan. Cacingnya akan terus bersuara jika asupannya tak terpenuhi.

Namira membelalakkan matanya. Arjuna ini bercanda atau bagaimana? Mau makan diluar pakai handuk begitu? Apa tidak malu?

"Lo nggak mungkin nyari makan handukan kayak gitu!" ujar Namira dengan nada tidak santai.

Juna mendengus. Mulut Namira tampaknya harus di sekolahkan. Bahasanya sangat tidak enak didengar. "Saya udah mesan baju. Palingan bentar lagi datang."

"Buat gue juga?"

"Ya enggaklah."

"Kok gitu?"

"Kamu kan nggak minta," jawab Juna. Untuk apa dia membelikan sesuatu yang tidak diminta Namira? Nanti kalau perempuan itu tidak menginginkan barang tersebut, ujung-ujungnya juga sia-sia.

Namira mendengus pelan. "Terserah."

Juna merasa bingung. Kalimat keramat itu keluar dari mulut Namira. Seharusnya dia tidak terlalu memusingkan kalimat itu tapi bagi sebagian lelaki itu adalah bahaya. Apakah Juna harus takut? Tapi untuk apa? Dia dan Namira tidak saling cinta. Jadi bukan masalah jika perempuan itu merajuk atau mendiaminya.

"Kamu mau baju juga?" tanya Juna pada akhirnya.

Namira melirik Juna sinis. "Kalau lo beneran suami gue, lo pasti bakal beliin tanpa harus nanya dulu."

"Nanti kalau langsung saya beli, takutnya kamu malah nggak mau."

"Terserah lo!"

Namira berjalan meninggalkan ruang makan. Terlanjur kesal dengan Juna. Baru juga hari pertama jadi suami, sudah menyebalkan sekali. Huh, Namira ingin segera pulang ke rumah rasanya. Menceritakan pada dinding kamar tentang betapa menyedihkannya nasib Namira.

Juna mengusap wajahnya, kemudian menyusul Namira. Masa iya di hari pertama mereka sudah saling diam mendiami. Sangat tidak menyenangkan. Padahal Juna punya tekad untuk membuat Namira jatuh cinta padanya.

"Namira!"

"Santai dong manggilnya," ketus Namira karena terkejut.

Juna tersenyum kecil. Dia mengambil tempat di sebelah Namira. "Kamu marah sama saya?"

"Dih, ngapain gue marah sama lo?" Tidak punya kerjaan sekali Namira sampai harus marah pada Juna.

"Saya pikir kamu marah karena nggak saya beliin baju," ujar Juna lagi.

Namira menggelengkan kepalanya tidak habis fikir. Kegeeran sekali Arjuna. "Nggak guna gue ngambek. Gue bisa beli baju sendiri. Duit gue banyak."

"Sombong," gumam Juna diiringi dengusan pelan.

Namira melebarkan matanya. Tentu tidak terima dikatakan sombong oleh Juna. Ia hanya menjawab, bukan mamerkan tentang dirinya yang punya duit banyak. "Nggak ada tuh gue sombong."

"Ada tuh barusan."

"Mau lo apasih? Jangan nyari perkara ya Arjuna," kesal Namira.

Laki-laki itu malah terkekeh tidak berdosa. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas panjang seakan punya banyak beban seraya melipat kedua tangan di depan dada. "Saya mau makan."

Bahkan Juna tidak sadar dengan pakaiannya yang masih tidak aman. Handuk itu bisa tersapu angin kapan saja. Untungnya disini tidak ada angin, jadi okelah.

"Ya makan. Ngapain bilang ke gue?" Namira justru menanggapi dengan nada sewot. Juna terlalu banyak tingkah, membuat Namira pusing sendiri.

Kepala Juna menggeleng-geleng. Decakan pelan keluar dari mulutnya. "Bahasa kamu bisa diganti tidak sih? Sadar nggak saya ini siapa?"

"Manusia."

"Saya ini suami kamu, Namira. Hargai dan hormati saya--"

"Lo pikir lo siapa? Bendera?"

Juna mengulurkan tangan, mencubit pipi kanan Namira. "Kamu berdosa karena telah tidak sopan dengan suami sendiri."

"Terus urusannya sama situ apa?"

Juna menoleh, menatap Namira dengan kedua alis terangkat. "Mau banget ya saya sentil itu mulut, hm?"

"Apaansih?!"

"Sopan, Namira. SOPAN," ujar Juna. Heran, kasar sekali mulutnya.

Namira merotasikan bola matanya malas. Kapan ia akan lepas dari laki-laki menyebalkan ini?

"Kamu bisa lepas dari saya kalau saya talak kamu," sahut Juna.

Apalagi ini? Jangan katakan Juna bisa membaca pikiran? Namira mendengus kasar, pusing sudah kepalanya. "Juna.."

"Iya?"

"Mending lo nyari makan sana. Bisa mati pagi kita kalau nggak sarapan," titah Namira. Tujuannya berkata demikian adalah agar bisa lepas dari Juna. Setidaknya untuk waktu beberapa menit ke depan.

"Udah saya pesen lewat online." Juna beranjak bangkit kala terdengar bunyi bel kamar di tekan. Dengan style handukan keren, Juna membuka pintu. Ternyata yang datang kurir baju dan kurir makanan. Setelah membayar, Juna kembali ke dalam. Meletakkan makanan di atas meja, kemudian berlalu pergi begitu saja.

Namira menatap laki-laki itu dengan dahi berkerut. Kemudian pandangannya jatuh pada makanan di hadapannya. Cukup menggoda karena baunya wangi sekali. Namira menyibak sedikit plastik pembungkusnya. Ada bubur ayam dan sereal serta susu. Bubur ayamnya hanya satu porsi.

"Buat gue ada nggak?" Seru Namira.

"Nggak!"

Bibir Namira langsung menukik ke bawah, cemberut sekaligus sedih. Dia padahal juga lapar. "Lo jahat!"

"Beli sendiri! Kamu kan banyak duit!" Balas Juna dengan teriakan yang tak kalah kencang.

"Suami apaan begitu?"

"Istri apaan yang begitu?"

"ARJUNA!"

"NAMIRA!"

Namira menggertakkan giginya, kesal bukan main dengan Juna. Sedangkan pria itu, berusaha menahan tawa karena merasa lucu dengan bayangan wajah cemberut Namira yang berputar-putar di kepalanya.

"Awas lo! Gue laporin papa!"

"Palingan papa bela saya," sahut Juna yang sudah berada di ruangan yang sama dengan Namira. Datang dengan begitu tiba-tiba.

Namira melirik Juna sinis. "Terserah lo."

Juna tersenyum tidak peduli seraya mengedikkan kedua bahunya. Dia mengulurkan tangan, meraih kantong plastik berisi makanan. Tanpa berniat menawarkan Namira, Juna langsung membawa kantong itu ke dapur. Perutnya sudah lapar, butuh untuk segera diisi makanan.

"Lo beneran nggak ngasih gue makan, Jun?" Namira bertanya tak percaya. Beranjak bangkit, Namira menyusul Juna ke dapur.

Tampak di meja makan, Juna menikmati sereal dengan begitu nikmat dan khidmat. Namira seketika tergiur karena sesungguhnya dia juga lapar. "Juna..."

"Apa?" Juna menoleh, menatap wajah menyedihkan Namira. "Mau makan?"

"Iya."

"Bisa beli sendiri kan?"

Namira semakin cemberut. "Tega Lo kalau gue sakit karena nggak makan?"

"Kamu juga tega berkata tidak sopan pada saya. Kamu harus ingat kalau saya ini suami kamu," jelas Juna serius.

"Maaf.."

"Maaf kamu nggak ada gunanya. Paling nanti habis makan kurang ajar lagi."

"Juna.."

"Apa?"

"Laper.."

Juna mendengus kasar. "Tuh, makan bubur ayamnya."

"Serius?" Wajah Namira langsung girang.

Juna mendengus. Pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan. "Iya. Lagipula kalau kamu mati, siapa yang bakal saya cintai?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status