"Kita pisah kamar?"
"Maunya sih gitu.""Alay banget. Serius.""Kok alay?!""Kayak drama. Ini dunia nyata, ngapain tidur pisah kamar. Mending nggak usah nikah.""Kok?!"Juna menaikkan kedua alisnya, menantang Namira untuk lanjut berbicara. Perempuan itu menatap Juna tajam, kemudian berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Dari belakang, Juna memperhatikan dalam diam. Tidak melepas pandangan hingga perempuan itu hilang di balik tangga. Kemudian ia ikut menyusul sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak habis fikir.Lantai atas punya dua kamar. Salah satu pintunya terbuka lebar, memperlihatkan Namira yang sibuk meratapi diri di depan kaca. Tampak frustasi. Mungkin dia menyesal dengan pernikahan ini. Tapi ya bodo amat. Rezal hanya mengedikkan bahunya, tidak mau peduli. Tidak ada gunanya menyesal. Salah dia sendiri, kenapa disaat Juna datang melamar, Namira menerimanya dengan senang hati. Kalau tidak mau ya tolak. Toh, Juna bisa menikah dengan perempuan lain.Namira langsung berdiri tegak saat pantulan di cermin bertambah satu. Juna berdiri di belakang Namira dengan postur tegap, menatap lurus cermin. Wajahnya datar. Tapi nampak rupawan. Tidak ditapik bahwa faktanya wajah Arjuna itu tampan luar biasa. Idaman yang sesungguhnya--jika saja Namira mencintai laki-laki itu. Tapi sayang sekali, Namira tidak tertarik dengan paras menawan Juna. Ia tidak bisa jatuh hati hanya karena melihat fisik seseorang."Ngapain lo ke sini?"Alis Juna terangkat sebelah. "Ini kan kamar, KITA." Sengaja, Juna menekan kata 'kita' yang ia ucapkan."Sejak kapan?""Sejak saat ini dan selamanya.""Selamanya?" Namira berbalik, menatap Juna seraya terkekeh geli. "Yakin selamanya?""Yakin."Namira yang tidak yakin. Pernikahan seperti ini biasanya tidak akan bertahan lama. Jelas saja, mereka tidak saling mencintai. Bagaimana bisa bertahan lama kalau kunci dari harmonis saja tidak mereka miliki? Lucu sekali."Kita nggak saling cinta, Arjuna. Gue nggak yakin kalau kita nggak bakal cerai di tahun kedua atau tahun ketiga," ujar Namira dengan begitu entengnya."Yaudah, kita harus belajar untuk saling mencintai. Harmonis itu akan terwujud jika saya dan kamu bekerja sama untuk menghadirkan kunci dari harmonis yaitu cinta. Intinya sama-sama berjuang.""Emangnya lo mau berjuang buat mencintai gue?""Mau.""Kalau guenya nggak mau?""Saya bikin mau."Namira berdecih pelan. "Omong kosong.""Ya, memang omong kosong," sahut Juna."Tuh kan. Laki-laki mah emang gitu, nggak ada yang ben--"Ucapan Namira terpotong karena Juna beranjak dari hadapannya. Ponsel laki-laki itu berdering dan Juna pergi untuk menjawab telfon yang entah dari siapa. Namira yang ditinggal dengan cara yang tidak epik mendengus kasar. Sempat memberikan kepalan tangan walau tak berguna karena tidak dilihat oleh Juna. Alhasil, ia memilih untuk tidak peduli. Namira memilih merapikan kamar dan baju-baju di koper. Meladeni Juna atau memikirkan laki-laki itu hanya akan membuat kepala sakit.***'Saya tiba-tiba ada pertemuan. Ini makan siangnya. Maaf karena saya nggak bisa nemenin kamu makan dan maaf juga karena makanannya baru disiapin sore.'Namira menatap kertas itu sekali lagi, sebelum akhirnya beralih menatap jamuan yang sudah terhidang di meja makan. Sangat misterius sekali. Tidak ada manusia lain di rumah ini selain dirinya. Lantas siapa yang menyiapkan makanan sebanyak ini? Tidak mungkin Juna meminta pihak catering untuk melakukan ini semua atau abang gofoodnya untuk menata makanan ini kan?"Eh, non Mira. Silahkan dimakan, non."Namira menoleh, menemukan seorang perempuan paruh baya berdiri di sebelahnya. Muncul tiba-tiba, tidak tau dari mana. "Maaf, ibu siapa ya?""Saya Bi Arum, asisten di rumah ini, non. Ditugaskan untuk menjaga non selama mas Juna nggak di rumah," jelas Bi Arum dengan nada sopan."Oo, saya pikir si Juna tinggal sendirian di sini," balas Namira."Sebetulnya memang sendirian, non. Saya sebelumnya kerja di rumah yang satunya tapi karena non ada di sini, saya ditugaskan di sini."Namira menganggukkan kepalanya paham. Ada untungnya juga Bi Arum di hadirkan di rumah ini. Namira tidak sendirian dan tidak kesepian. Setidaknya ia punya teman. "Makasih ya Bu.""Iya. Makasih juga karena udah mau jadi istrinya mas Juna," balas Bi Arum tersenyum manis.Namira hanya bisa mengusung senyum manis. Dalam hati membantin, siapa juga yang mau jadi istri Juna? Ini terjadi karena perjodohan sialan itu. "Hehe. Ayo, Bu. Kita makan sama-sama.""Non aja yang makan. Bibi mah udah makan barusan," balas Bi Arum.Namira menghela pelan. "Yah, sendirian dong akunya makan?""Nggak kok, non. Bentar lagi mas Juna pulang. Katanya mau makan siang di rumah sama Non Namira," ujar Bi Arum sembari tersenyum menggoda.Namira tersenyum tipis. "Bisa aja si ibu." Pura-pura malu saja dulu walau nyatanya ingin muntah mendengar kata Juna ingin makan siang bersamanya."Hehe. Kalau gitu bibi ke belakang dulu ya. Selamat makan siang pengantin baru." Kemudian Bi Arum berlalu meninggalkan Namira."Sekali lagi makasih ya Bu!"Sepeninggal Bi Arum, Namira duduk menghadap jejeran makanan di meja. Ia ingin makan duluan, tapi entah kenapa malah menunggu Juna yang tak kunjung datang. Hari ini ia ingin menjadi manusia yang baik. Kalau sekiranya Juna ingin makan berdua dengannya, akan Namira turuti. Mumpung moodnya sedang baik.Menghabiskan beberapa menit untuk menunggu, akhirnya sang bintang yang suka datang terlambat muncul juga. Juna langsung menarik kursi dan duduk di sana. Di samping Namira. Ia menoleh, melempar senyum manis kepada Namira yang hanya dibalas dengan wajah datar oleh perempuan itu."Kemana dulu sih? Lama banget lo," dumel Namira. Kesal karena laparnya harus ditunda. Salah dirinya juga sih, nekat menunggu Juna. Tapi, ah sudahlah."Maaf, ada sedikit masalah di jalan," balas Juna. Tadi ban mobilnya bocor dan mengharuskan Juna untuk mengganti bannya agar bisa pulang dengan selamat.Namira merotasikan bola matanya malas. Jelas tidak peduli dengan masalah yang Juna hadapi. "Yaudah, silahkan makan."Juna meraih piring, mengisi dengan nasi dan lauk. Kemudian memberikannya pada Namira yang hendak meraih piring. Namira tidak meminta, tapi Juna sendiri yang ingin melakukannya.Namira terpaku. Hendak protes, tapi tak jadi. Juna meraih piring kedua, mengisi dengan porsi yang sama. Lalu tanpa berkata apapun, ia menikmati makanannya. Tidak mempedulikan Namira yang masih bengong."Kenapa lo ngambilin makanan buat gue?" Namira tak senang kalau tak bertanya. Padahal tinggal dinikmati saja makanannya."Karena kamu istri saya.""Cih! Pasti ada maunya kan?" Tuduh Namira. Begitulah perempuan, suka melempar batu di air yang tenang."Iya, saya ada maunya," balas Juna.Namira sudah menduga. Mana mungkin laki-laki kanebo seperti Juna mendadak perhatian kalau sedang tidak ada maunya. Huh, dasar laki-laki!"Udah gue duga. Mau apa Lo? Gue cintai, gue sayangi, gue baik-baikin, gue jadiin raja, atau gue berubah jadi perempuan yang baik? Mau apa, ha--""Mau punya anak."Namira langsung terbatuk. Matanya melebar, menatap Juna yang hanya memasang wajah datar. Alis laki-laki itu naik sebelah, seakan bertanya kenapa. Menyesal Namira karena nekat menantang Juna."Mimpi aja lo!" Balas Namira.Juna tersenyum miring. "Bagus juga ya bahasa kamu. Sama suami sendiri kasar, nggak ada lemah lembutnya.""Siapa lo yang perlu dilemah lembutin?""Kualat baru tau rasa. Saya suami kamu terlepas kamu menyukai saya atau tidak," balas Juna.Namira menekuk wajahnya, kesal. "Terserah.""Mau taruhan nggak?""Taruhan apaan?""Kalau saya jatuh cinta duluan, semua permintaan kamu bakal saya turuti dan sebaliknya, kalau kamu yang jatuh cinta duluan, semua permintaan saya harus kamu turutin," terang Juna. Ide random yang tiba-tiba muncul di kepalanya cukup menarik untuk direalisasikan. Seru juga kalau Juna bisa jadi pemenang.Namira mengerutkan dahi. Pertaruhan apaan ini? Aneh sekali. Tapi boleh juga. Mana tau Namira menang dan bisa mendapatkan semua keinginannya. "Boleh juga. Jangka waktunya berapa bulan?""Dalam dua bulan.""Oke. Siap-siap aja, gue pasti menang," ujar Namira dengan begitu percaya diri.Juna tidak membalas dengan kalimat, melainkan dengan senyum miring yang entah apa artinya.Usai melaksanakan sholat Maghrib, Namira memutuskan untuk duduk di ruang tengah, berniat untuk menonton televisi atau serial atau series atau semacam itulah. Sebelum itu, Namira sudah memesan cemilan untuk menemaninya saat nonton. Rencananya ia akan menonton ulang film Korea yang berjudul Descandent of the sun. Masih belum move on dan ada sedikit rasa rindu terhadap bapak-bapak tentara keren itu.Namun tampaknya rencana menonton dengan tenang tidak akan berjalan dengan lancar, sebab Juna tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa permisi. Mana langsung meraih remot dan mengganti siaran ke siaran tv nasional. Langsung saja, Pak Kemet dan Dadang menjadi tontonan Namira."Kok lo ganti sih?!"Juna menoleh, menatap Namira dengan air muka lugu. "Emangnya kamu mau nonton film apa? Dunia terbalik kan?"Namira menatap Juna kesal. Sejak kapan tontonan Namira dunia terbalik? Tau saja tidak dia kalau ada serial itu di pertelevisian Indonesia. "Gue mau nonton Drakor, Juna! Apaan tuh dunia terbalik.""Dra
Omong kosong jika mereka betulan ke toko elektronik untuk membeli remot tv. Nyatanya, tempat yang mereka kunjungi adalah area street food malam. Membeli aneka jajanan yang entahlah--Namira tidak menduga bahwa Juna yang sok cool itu suka dengan arum manis. Bahkan dia membeli dua bungkus karena saking sukanya.Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa makanan asin dan gurih. Dan tampaknya, kegiatan jajan itu sepenuhnya dilakukan oleh Juna. Ia bahkan menghiraukan Namira dan tidak peduli jika Namira tertinggal di belakang. Seharusnya yang sibuk menyapa abang-abang gerobak itu adalah dirinya, bukan Juna.Dan kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Setelah menghabiskan setengah isi dompet dan separuh jam hanya untuk menelusuri pinggiran jalan. Wajah Namira masih tertekuk kesal meski sudah disogok dua kotak martabak sultan. Junapun tidak merasa bersalah karena telah mengerjai perempuan itu. Jika Namira memang tidak ingin ada di sini untuk menemaninya, Namira bisa pulang sendiri dengan angkot
"Masak apa Bu?" tanya Namira pada Bi Arum yang sedang asik di dapur. Memotong-motong kentang sembari memperhatikan masakan di wajan. Bi Arum tersenyum kala tau Namira datang ke dapur. "Masak telur dadar sama sop sayur non," jawab Bi Arum. Memang telur dadar ternyata.Namira menganggukkan kepalanya mengerti. "Boleh nggak kalau Mira ikutan masak?"Bi Arum langsung menatap kaget Namira. "Non mau masak?""Iya Bu.""Tapi jangan deh non. Ini bibi mau goreng ayam. Kalau non yang goreng, nanti tangannya kecipratan minyak." Bi Arum tidak mengizinkan. Takut istri dari majikannya itu terluka jika nekat berdekatan dengan wajan.Namira memasang wajah cemberut. "Bolehlah Bu. Mumpung Mira nggak ada kerjaan." Bi Arum masih ragu untuk memberikan izin kepada Namira. Bahaya jika ibu negara itu terluka karena nekat terjun ke dapur. Bisa-bisa sang paduka mengamuk."Biarin aja, bi. Manusia males kayak dia emang harus tau sama dapur." Entah sejak kapan, Juna berdiri di samping kulkas sembari bersedekap da
"Saya pergi dulu," pamit Juna pada Namira kala mendapati perempuan itu sedang duduk di teras. Membaca majalah seraya menikmati secangkir kopi. Namira mendongak, menatap Arjuna yang sudah kece abis. Tubuh dibalut kemeja lengan pendek berwarna hitam, kaki dilindungi sepatu kece yang kerap dipakai orang-orang kantoran, kaca mata minus di atas hidung, celana bahan berwarna hitam, jam tangan, tas tentengan, jas putih yang tersampir di salah satu lengan, hm--ini terlalu rapi untuk keluar rumah mencari angin. Namira menyipitkan matanya, curiga dengan Juna yang tumben-tumbenan ganteng maksimal. "Mau kemana?""Rumah sakit.""Ngapain? Lo sakit?" tanya Namira, heran. Juna menggeleng. "Ada perlu. Kamu kalau butuh apa-apa, bilang aja sama Bi Arum.""Tapi gue juga mau keluar." Namira juga sudah punya rencana untuk menghabiskan waktu luangnya. Juna beroh singkat. "Yaudah. Saya berangkat kalau gitu."Namira menahan Juna yan
Namira berbalik, memunggungi meja administrasi. Ada banyak manusia berpakaian formal berseliweran di lobi. Mereka tampak bersemangat untuk bekerja dan Namira menginginkan hal itu. Ia ingin sibuk seperti orang-orang itu. Duduk sembari menatap layar komputer, ditemani satu cangkir kopi susu. Indah sekali jika dibayangkan.Senyum Namira memudar kala melihat seorang laki-laki berjalan menghampiri meja administrasi. Mata Namira menyipit, merasa kenal dengan manusia yang sudah punya id card sendiri."Regi? Lo Regi kan? Yang waktu itu hampir pingsan karena antrian ngirim surat lamarannya panjang?" Namira langsung menodongkan sebuah pertanyaan.Pria bernama Regi itu menoleh. Cukup lama matanya menatap Namira sebelum akhirnya berseru heboh. "Namira! Lo udah kerja di sini juga?"Namira menggelengkan kepalanya. "Gue ngirim surat lamaran.""Lagi?" Regi terkekeh. Ia sudah hafal berapa kali perempuan yang satu ini datang ke tempat ini untuk mengirim surat lamaran kerja. "Iya. Lo ngirim surat lamar
Juna langsung membawa Namira memasuki kamar. Perempuan itu pasti syok diperlakukan seperti itu oleh laki-laki jahat yang nyatanya adalah mantan kekasih Namira. Juna tidak tau kronologi jelasnya perihal yang dilakukan Sky pada Namira. Ia hanya melihat, Namira di tarik dengan begitu kasar menuju parkiran. Juna cukup bersyukur karena ada yang menolong Namira. Jika tidak ada, mungkin Juna tidak akan tau bagaimana nasib perempuan itu selanjutnya."Kamu nggak papa?" tanya Juna pada Namira yang berada di sebelahnya. Sejak tadi, Namira tak mau bersuara."Gue baik-baik aja," ketus perempuan itu, tidak mau menatap Juna. Ia tidak marah pada laki-laki itu tapi takut jantungnya kembali berdetak tidak normal jika matanya dan mata Juna kembali beradu. Cukup di sepanjang perjalanan pulang Namira kesulitan mengatur detak jantungnya sendiri.Juna tersenyum tipis. "Maaf karena saya membiarkan kamu pergi sendiri.""Bukan salah Lo. Biasanya juga kalau mau kemana-mana kan gue sendiri," ujar Namira."Ya, un
Kening Namira berkerut dengan dahi yang ikut bertaut setelah membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Sky. Pesan berisi beberapa foto Juna bersama seorang perempuan di sebuah cafe. Ketika Juna tersenyum menatap perempuan itu, dilanjut dengan wajah salah tingkah perempuan asing itu dan terakhir foto Juna yang menyentuh kepala perempuan itu yang tampaknya dilakukan tanpa paksaan.Lalu? Apa gunanya Sky mengirim foto aneh ini padanya? Berharap Namira cemburu dan berterima kasih pada Sky karena telah memberitahukan keburukan suaminya yang pergi bersama perempuan lain? Kemudian Namira marah pada Juna dan rumah tangga mereka berantakan? Cih! Namira bukan perempuan mudah baper yang sedikit-sedikit langsung sedih, menangis dan marah. Dia mah santai saja. Mau Juna tidur dengan perempuan lain sampai punya anak dia juga tidak peduli. Malahan akan lebih baik biar mereka cepat berpisah."Saya pulang."Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Juna yang datang sembari menenteng plastik berisi makanan pesana
Tidak ada rutinitas keren yang mereka lakukan malam ini selain menyaksikan sebuah drama yang di sarankan oleh Namira. Beruntungnya mereka akur. Tidak saling adu mulut dan cukup rukun. Buktinya Juna dan Namira duduk anteng di sofa di depan televisi. Duduk bersebelahan dengan posisi Namira yang duduk cukup dekat dengan laki-laki itu. Di masing-masing pangkuan terdapat cemilan. Di pangkuan Namira ada mangkuk berisi popcorn, Snack kentang dan teh botol. Sedangkan di pangkuan Juna ada permen rasa kopi, dua bungkus makaroni dan air mineral satu liter. Juna tidak memakan ataupun meminumnya. Apa yang ia pangku bak anak sendiri itu adalah kepunyaan Namira. "Ganteng kan dia?" tanya Namira pada Juna sembari menunjuk tokoh pria yang muncul di layar kaca.Juna menatap pemeran pria yang dimaksud, lalu menatap Namira yang tampak antusias dan senang. Dahinya berkerut, bingung dimana letak gantengnya manusia di tv. Jelas Juna lebih ganteng dan tentu lebih nyata."Gantengan saya," jawab Juna akhirnya