Share

4. Menikah

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari pernikahan Namira dan Junapun tiba. Hari ini, mereka akan melangsungkan akad disusul acara resepsi. Acara digelar di sebuah gedung milik Gamandi dan semuanya sudah diatur oleh pria itu. Namira dan sekeluarga hanya tinggal datang, membawa si pengantin wanita yang tak lain adalah Namira yang sudah didandani secantik mungkin serta di pakaikan kebaya yang sudah disiapkan ibu Namira.

Namira di gandeng Basri dan Renita memasuki gedung yang sudah dipenuhi banyak orang. Tampak di tempat ijab qabul, Juna duduk menunggu. Ditemani bapak penghulu dan beberapa saksi dari pihak Namira dan Juna.

Laki-laki itu menawan dan rupawan dengan setelannya. Kemeja putih dibalut jas berwarna hitam. Berpadu dengan celana bahan berwarna senada. Tak lupa dengan kopiah yang menutupi kepala Juna, membuatnya terlihat semakin tampan.

Namira akui, Juna memang tampan.

"Karena pengantin wanitanya sudah duduk di samping mas ganteng, ada baiknya kita mulai ijab qabulnya," ujar pak penghulu.

Juna duduk tegap, menatap lurus ke arah bapak penghulu. Jujur, dia deg-degan. Momen yang kerap dia bayangkan akan terjadi hari ini. Menjabat tangan penghulu seraya mengucap ijab qabul lalu di sahuti kalimat sah oleh para saksi dan tamu undangan. Dan selanjutnya, Juna resmi menjadi seorang suami.

Singkat tapi bermakna.

Ah, dia tidak pernah membayangkan hal itu terjadi secepat ini.

"Baiklah, Nak Arjuna. Jabat tangan saya."

Juna meneguk ludahnya, berusaha untuk tidak gugup. Dia mengusung senyum, lalu menjabat tangan pak penghulu. Dia memejamkan mata, mencoba mengatur nafas sekali lagi. Jantungnya betulan tidak bisa diajak bekerja sama. Berdetak dengan tempo cepat, membuat Juna gemeteran. Untung yang tremor kaki. Coba kalau tangan? Juna tidak yakin dirinya bisa tersenyum lagi.

"Saya nikahkan, Namira Raina Putri Binti Basri Galam dengan ananda Arjuna Putranda Gamandi Bin Gamandi A.S dengan seperangkat alat sholat dan cincin emas 48 karat dibayar tunai!"

Namira menghembuskan nafas yang sejak tadi dia tahan. Tatapannya beralih pada Juna yang masih diam.

"Saya terima nikahnya, Namira Raina Putri Binti Basri Galam dengan mahar tersebut dibayar tunai!"

"Bagaimana para saksi? Sah?"

Juna membuang nafas, menatap para saksi yang masih diam.

"SAH!"

Reflek semua manusia yang berada di dalam ruangan itu mengucap syukur. Namira yang semula diam, berucap syukur lirih. Juna yang baru saja usai mengucapkan ijab qabul dengan lancar menitikkan air mata. Merasa terharu dan sedikit bahagia. Meskipun mereka menikah atas dasar perjodohan, Juna akan mencoba untuk mencintai Namira.

"Silahkan, cincinnya dipasangkan di jari satu sama lain."

Juna meraih kotak beludru berisi sepasang cincin yang mana di setiap cincinnya terukir nama mereka. Juna menarik salah satu, lalu menatap Namira yang ternyata juga menatapnya. Sial! Juna kembali gugup. Dia menarik tangan Namira, menyematkan cincin itu di jari manis perempuan itu.

Kemudian sebaliknya, Namira meraih tangan Juna dan menyematkan cincin yang sama di jari manis laki-laki itu. Setelahnya mereka saling pandang dalam jangka waktu yang cukup lama. Menyelami netra satu sama lain. Hingga akhirnya Namira tersadar. Dia meraih tangan Juna untuk di salami, berlanjut Juna yang membawa kening Namira untuk di cium.

Jantung Namira berdisko ria.

"Selamat datang di kehidupan saya, Namira," bisik Juna setelah melepas ciuman di kening Namira. Laki-laki itu tersenyum tulus, membuat Namira buru-buru berdeham karena merasa tidak nyaman. Detak jantungnya semakin menggila jika Namira terus-terusan berada di dekat Juna. Terlebih saat ditatap seperti itu. Ah, melebur sudah jiwanya.

Semua yang menyaksikan tersenyum haru. Kedua orang tua dari mempelai menitikkan air mata. Putra putri mereka sudah dewasa. Sudah berumah tangga dan akan hidup terpisah dengan jalan mereka sendiri.

Usai menandatangani dokumen penting dan acara foto bersama, Namira dan Juna di bawa duduk di pelaminan. Mereka juga sudah berganti pakaian, menggunakan adat Minang. Ibu Namira adalah orang Minang dan begitu pula dengan almarhumah Bunda Juna. Hal inipun atas usulan Ibu Namira.

Para tamu datang mengucapkan selamat dan kalimat doa lainnya, berharap Juna dan Namira menua bersama. Lekas mendapat keturunan dan berbagai macam kalimat manis lainnya. Tak ayal ada juga yang menggoda, mencolek-colek Juna dan mengajak pria itu foto bareng tanpa Namira. Dia sendiri hanya diam. Mau dikata cemburu juga tidak. Namira tidak ada rasa pada Juna.

Acara usai pukul delapan malam. Namira dan Juna akhirnya turun dari pelaminan, bergegas menuju hotel yang berada di sebelah gedung. Mereka akan bermalam di sana dan pulang ke rumah esok pagi untuk menyiapkan keperluan Namira. Perempuan itu akan dibawa Juna untuk tinggal di rumahnya.

Juna memasuki kamar diikuti Namira yang melangkah di belakang. Keduanya sudah mengganti baju adat yang tadi dikenakan dengan baju biasa. Tadi mereka melepas di gedung bersama MUA dan yang punya baju.

Juna menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Kemudian menarik dasi yang mencekik lehernya. Menghela nafas panjang, Juna melirik Namira yang duduk di sisi ranjang lain. Perempuan itu juga tampak lelah, tapi tidak mau ikut berbaring. Juna paham, pasti setelah ini mereka akan membahas perihal wilayah kekuasaan yang ujung-ujungnya akan dibatasi menggunakan guling. Juna hafal dengan tingkah istri yang menikah karena dijodohkan. Kerap Juna temui di buku yang dia baca.

"Saya mau mandi." Juna memilih beranjak bangkit. Meraih handuk yang dilipat di atas sofa, kemudian berlalu memasuki kamar mandi.

Namira melirik sekilas tanpa mengeluarkan suara. Dia masih berusaha menerim kenyataan yang baru saja terjadi. Arjuna adalah suaminya. Namira telah menikah. Dia sudah berumah tangga.

Ah! Namira menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Menatap langit-langit kamar seraya menerawang perihal kehidupannya di masa yang akan datang. Rasanya asing. Aneh dan sedikit canggung. Namira terus dibuat deg-degan kala bayangan Juna mencium keningnya memenuhi kepala. Bagaimana lembut dan tulusnya laki-laki itu, bagaimana air matanya jatuh saat para saksi berseru sah.

Mendebarkan dan selalu mendebarkan.

Namira mengangkat tangannya, menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. "Gue udah jadi istri. Ternyata gue udah lumayan tua juga ya? Emang udah pantes berumah tangga."

Ceklek!

Juna keluar dari kamar mandi. Namira menoleh, lalu memekik. Reflek melempar guling ke arah laki-laki itu. "Lo ngapain?!"

"Habis mandilah," sahut Juna melangkah mendekati lemari pakaian. Juna baru ingat bahwa dirinya tidak memiliki pakaian ganti. Mereka belum pulang ke rumah untuk mempersiapkan pakaian dan keperluan lainnya. Semoga saja di dalam lemari itu ada pakaian yang bisa dia gunakan.

"Baju lo mana?!"

Juna menatap tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Kemudian menatap Namira yang melotot galak. "Saya lupa kalau kita ke sini nggak bawa baju."

"Terus?!"

"Ini mau liat dulu di lemari. Semoga ada baju gantinya. Kalau enggak ya, terpaksa."

"Terpaksa apa?!"

Juna menghela nafas lelah. "Mending kamu diem. Saya mau fokus nyari baju dulu."

Juna mengacak-acak lemari yang kosong. Tidak ada baju yang bisa dipakai kecuali handuk berbentuk baju. Entahlah, Juna tidak tau namanya apa. Dan terpaksa, Juna harus memakai kembali pakaian yang dia pakai tadi. Sial! Padahal sudah bau keringat. Dia tidak mungkin memakai handuk berbentuk baju itu hingga esok hari.

"Itu kan baju yang lo pakai tadi," ujar Namira menatap Juna yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Juna melirik Namira sinis. "Terus kenapa? Baju saya wangi."

Namira berdecak pelan. "Jadi gimana, lo mau tidur di mana?"

"Ya dikasurlah!" Juna langsung melompat ke atas ranjang. Dia tidak akan mengalah lalu tidur di sofa. Juna tidak ingin tubuhnya remuk dan pegal-pegal hanya karena terlalu baik pada Namira.

Perempuan itu melebarkan mata, tidak terima. "Weh, nggak bisa gitu dong! Kalau lo tidur di kasur, gue tidur di mana?"

"Di kasur juga."

"Nggak!" Namira menggeleng cepat.

Juna mengerutkan dahinya. "Kenapa?"

"Ya, gue nggak mau tidur sama lo!"

"Apa masalahnya? Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu. Lagian nggak papa juga kalau disentuh dikit, kan udah sah."

Namira terdiam dengan perasaan jengkel. Perihal mereka yang sudah sah Namira juga tau. Hanya saja, Namira tidak ingin berada di ranjang yang sama dengan Juna. Alasannyapun Namira tidak tau, tapi intinya dia tidak ingin tidur bersama laki-laki itu.

"Kamu dosa loh kayak gitu sama suami sendiri. Saya bisa maklum, tapi Allah, dia bakal marah kalau kamu bersikap kayak gini." Juna menatap Namira tak percaya. Perempuan itu terlalu banyak gaya. Pasti isi kepalanya sudah yang aneh-aneh, makanya tidak mau tidur bersama Juna. Lagipula, Juna tidak akan memulai tanpa izin dari Namira.

Lagi-lagi Namira dibuat kalah. Biar begitu, Namira tidak akan menyerah. "Gimana kalau kita suit? Kalau gue menang, lo tidur di sofa."

"Oke. Kalau saya menang, kamu tidur sama saya," ujar Juna.

Namira menatap ragu. Tapi akhirnya tetap menganggukkan kepala. "Oke."

Dan hasilnya, Namira kalah. Mereka suit batu gunting kertas sebanyak lima kali dan Juna menang lima kali berturut-turut. Mau tidak mau, Namira tidur di kasur bersama Juna yang tersenyum penuh kemenangan. Tidak sepenuhnya menang karena Namira tetap memberikan batas teritorial, yaitu si bantal guling yang membatasi mereka.

Juna tidur memunggungi Namira. Matanya masih terbuka. Bibirnya menyunggingkan senyuman miring. Entah kenapa, Juna merasa tertantang untuk mendapatkan hati Namira. Membuat perempuan itu jatuh cinta padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status