Beranda / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Bab 4 : Pernikahan Yang Tidak Direncanakan

Share

Bab 4 : Pernikahan Yang Tidak Direncanakan

Penulis: Nanasshi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 21:51:40

Pernikahan Karana Wihardjo, putri tunggal dari keluarga Wihardjo, adalah topik yang tak pernah lepas dari pembicaraan di setiap sudut kota. Sebagai CEO sukses dan pewaris perusahaan besar milik ayahnya, Karana sudah lama menjadi sorotan publik. Kini, momen besar dalam hidupnya akan segera tiba—hari pernikahannya dengan Hasya Gaharu, seorang laki-laki muda yang sebelumnya hanya dikenal sebagai anak magang di perusahaannya. Hubungan mereka yang dimulai dengan perjanjian kontrak untuk setahun itu akhirnya berkembang menjadi kenyataan.

Media, tentu saja, tidak melewatkan kesempatan untuk meliput setiap detil persiapan pernikahan ini. Tampilkan gaun yang dipilih Kara, riasan yang menakjubkan, hingga lokasi pesta yang mewah—semua menjadi sorotan. Di tengah sorotan publik yang begitu besar, Kara berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati, ada perasaan cemas yang sulit untuk ditutupi. Sementara itu, Hasya, yang lebih suka hidup di luar sorotan, merasa canggung dengan perhatian yang datang begitu cepat.

^^^

Pagi itu, semua terasa begitu cepat. Kara, yang biasanya dikenal dengan ketegasannya, kini merasa gugup menjelang hari yang telah lama ia nantikan. Pakaian pengantin yang anggun terhampar di atas meja, siap untuk dikenakan. Ia menatap dirinya di cermin, dan untuk sejenak, ia terhanyut dalam perasaan campur aduk—antara kebahagiaan dan kekhawatiran. Ini adalah pernikahan yang dimulai dengan kontrak, namun sekarang, ia bertanya-tanya apakah perasaan yang mereka miliki akan berkembang seiring berjalannya waktu.

Setelah serangkaian prosesi pernikahan yang mewah dan penuh dengan tamu undangan yang luar biasa, akhirnya mereka melangkah ke momen yang telah dinanti—malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Dengan perasaan campur aduk, mereka menuju hotel tempat mereka akan menghabiskan malam pertama.

^^^

Ketika mereka memasuki kamar hotel, suasana menjadi canggung. Ada ketegangan di udara yang tidak bisa disembunyikan. Meskipun mereka berdua sudah berkomitmen pada pernikahan ini, ada perasaan aneh yang menggelitik di antara mereka. Karana duduk di tepi ranjang, merasakan beratnya dunia yang seolah-olah bergantung pada pernikahan ini. Hasya, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan canggung.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Kara, mencoba memecah keheningan yang aneh ini.

Hasya mengangkat bahunya. “Mungkin kita harus... beristirahat?”

Kara mengangguk, sedikit lega karena mereka berdua masih menjaga jarak yang aman. Mereka tahu betul bahwa hubungan mereka hanya berdasarkan pada kontrak. Tidak ada ruang untuk perasaan yang lebih dalam—setidaknya itulah yang mereka yakini.

Setelah beberapa saat, Kara berdiri dan berkata, “Aku akan mandi sebentar.”

Ketika ia sudah selesai dengan kegiatan mandinya, ia tiba-tiba menyadari bahwa ia lupa membawa bathrobe. Ia memanggil nama Hasya. Tanpa berpikir panjang, Kara meminta dengan ragu, “Hasya, bisa tolong ambilkan bathrobe?”

Hasya tampak sedikit terkejut dengan permintaannya. Namun, ia hanya mengangguk, berjalan menuju lemari dan mengambil bathrobe yang digantung di sana. Dengan hati-hati, ia menyerahkannya pada Kara sambil menundukkan kepala, matanya menghindari pada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dan membiarkan hanya wajah Kara yang mengintip di sana. “Tentu, Kara. Ini,” katanya dengan suara lembut dan mata tertutup.

Kara hanya tersenyum geli melihat sikap canggung Hasya. “Kenapa kamu menutup mata?” ia bertanya, sambil mengambil bathrobe dari tangannya.

Hasya, yang merasa sangat canggung, hanya bisa menggelengkan kepala. “Aku hanya... tidak tahu harus bagaimana.”

Kara tertawa kecil, merasa lebih lega melihat sikap polos Hasya yang tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. “Tak perlu khawatir, Hasya. Aku hanya butuh bathrobe, bukan sesuatu yang lebih.”

Setelahnya Kara masuk kembali ke kamar mandi, Hasya mencoba menenangkan diri, merasa canggung akan situasi yang baru saja terjadi. Namun, pikirannya terus berputar pada kenyataan bahwa mereka pernah menikmati malam yang indah sebelumnya. Walau Kara sama sekali tidak pernah membahasnya dengan Kara. Lalu kini mereka telah menikah, meskipun hanya untuk kontrak, dan malam ini adalah malam pertama mereka sebagai pasangan.

^^^^

Tak lama setelah Kara keluar dari kamar mandi, ia mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk, merasakan air yang masih menetes di rambut panjangnya. Tiba-tiba, Hasya, yang tadinya hanya berdiri di pojok kamar, melangkah maju dan menawarkan bantuannya.

“Apa kamu ingin aku membantu mengeringkan rambutmu?” tanya Hasya, sedikit ragu. Ia menatap Kara dengan wajah yang menunjukkan kebingungan. Kara, yang semula terkejut, akhirnya mengangguk dengan senyum kecil.

“Baiklah, terima kasih,” jawab Kara, melepaskan handuk dari rambutnya dan duduk di kursi dekat meja rias.

Hasya kemudian berdiri di belakang Kara, perlahan mulai menyeka rambut basah Kara dengan handuk lalu menghidupkan hairdryer. Ada keheningan yang canggung di antara mereka, namun Hasya berusaha untuk fokus pada tugas yang ada di hadapannya. Namun, setiap kali jarinya menyentuh rambut Kara yang lembut, juga kulit Kara yang putih, hatinya semakin berdebar. Ia berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan betapa dekatnya mereka saat ini.

Ketika Hasya menyeka rambut Kara, tiba-tiba ia merasakan dorongan yang tak terkendali. Dalam sekejap, ia mematikan pengering rambut lantas membungkuk dan tanpa berpikir, mengecup tengkuk Kara dengan lembut. Kara terdiam, terkejut, dan kemudian tubuhnya menegang. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya ada suara detakan jantung yang semakin keras di telinganya.

Kara perlahan menoleh ke arah Hasya, yang masih tertegun di belakangnya. Wajah mereka berdua dekat sekali. Tanpa peringatan, Hasya meraih wajah Kara, dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman. Awalnya, ciuman itu penuh dengan kebingungannya, tetapi lama kelamaan, itu berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Ciuman itu penuh dengan emosi yang tak bisa dijelaskan—perasaan yang tak bisa lagi mereka bendung.

Kara dan Hasya berdiri, mendekat pada tempat tidur lalu duduk di sana. Dimana, Kara lebih tepatnya duduk di pangkuan Hasya. Tentu saja, mereka tidak melepaskan sama sekali ciuman itu. Justru pagutan itu semakin dalam, semakin lekat.

Keduanya spontan bernapas, terengah-engah, saat ciuman berhenti. Sesaat saja. Sebab setelahnya, mereka kembali menyatukan bibir. Mengecup, memagut dan lidah masing-masing menari di dalam mulut mereka.

Hasya nampak kewalahan. Ia tidak pernah terbiasa dengan betapa agresifnya Kara -terlepas efek obat ataupun bukan. Ia selalu kelabakan setiap kali perempuan itu mencium bibirnya, bergantian, antara atas dan bawah. Belum lagi ketika Kara menggigit dengan gemas, seolah melahap bibir Hasya seperti candu yang sulit dikendalikan.

Hasya merasa gelap sekarang. Segalanya seperti dopamin, membuat ia lupa pada batasan-batasan yang telah mereka sepakati lewat berlembar-lembar kertas kontrak yang telah mereka tandatangani. Ia jadi tidak peduli. Toh, Kara sendiri yang melangkah maju duluan.

Hasya menyentuh pundak Kara yang berbalut bathrobe, meluruhkannya sedikit, sehingga menampilkan pundak polos Kara yang putih. Ia juga melakukannya pada sisi yang lainnya, sehingga bathobe itu terus turun, tertahan oleh pelukan mereka.

Hasya bisa melihatnya dengan jelas. Dua milik Kara yang indah dan berisi. Membuatnya sigap menyapu pelan dengan jari-jarinya yang kini merasa gemetar. Takut, risau, senang, gairah, lalu takut lagi.

Kara tidak menolak. Ia sendiri masih sibuk dengan ciumannya di bibir Hasya. Juga tangannya yang mengalung sempurna pada tengkuk laki-laki itu. Lalu sesekali, ia akan meraba perut Hasya yang seperti roti sobek. Gemas.

Hasya melepaskan ciuman mereka, beralih pada leher jenjang milik Kara. Mengecupnya lama di sana dengan kedua tangan yang sibuk. Sibuk sekali. Pada sesuatu yang -separuhnya- masih terbungkus bathrobe. Dua milik Kara yang indah.

Hasya menyentuhnya, menggenggam, mengusap, memberikan efek yang luar biasa pada tubuh Kara. Perempuan itu berjengit, merasa seperti tubuhnya diguncang oleh rasa haus dan terpenuhi dahaganya. Apalagi saat jemari-jemari nakal Hasya mencubit dan memilin-milin ujung dadanya yang sekarang mungkin sudah menyembul sempurna.

Usia Kara, 29, perempuan dewasa dan matang. Tapi, kesibukannya membangun Wihardjo Group membuat ia luput untuk menikmati hidup. Satu-satunya hubungan yang Kara miliki pun, telah berakhir lama. Oleh karena itu, andai boleh jujur, mungkin Kara rindu disentuh semacam ini.

Apalagi oleh laki-laki yang jauh lebih muda darinya.

Yang nampak takut-takut dan malu-malu. Padahal saat diberi sedikit distraksi, ia menggila seperti sekarang ini. Menyentuh titik-titik hebat yang memangkitkan gejolak dalam diri Kara.

Anak muda itu, lucu juga, batin Kara.

Namun, saat ciuman itu semakin intens, saat Hasya hendak menurunkan lebih jauh bathrobe milik Kara, perempuan itu tersadar. Ia melepaskan ciuman mereka dengan cepat, meraih tangan Hasya dan menariknya menjauh. “Tidak, Hasya. Kita tidak bisa seperti ini,” kata Kara dengan napas yang terengah-engah. Wajahnya memerah, dan ada ketegangan yang jelas terpancar dari dirinya. Ia lantas membetulkan kembali bathrobe-nya yang sudah hampir melorot dan menunjukkan dadanya.

“Ini hanya pernikahan kontrak. Kita tidak bisa melangkah lebih jauh,” lanjut Kara, suaranya penuh dengan keyakinan. “Ini adalah perjanjian bisnis, dan kita harus tetap menjaganya seperti itu.”

Hasya hanya terdiam, perasaan bingung dan kecewa bercampur di dalam dirinya. Ia tahu bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, namun perasaannya terhadap Kara semakin berkembang. “Aku mengerti,” jawabnya pelan, meskipun hatinya terasa sakit.

Kara menatapnya dengan serius, merasa cemas bahwa mereka telah melewati batas yang tidak seharusnya mereka lewati. “Kita harus menjaga jarak, Hasya. Kita sudah sepakat untuk melakukannya dengan cara ini.”

Hasya mengangguk, meskipun hatinya bergejolak. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa menahan perasaannya terhadap Kara. Namun, untuk saat ini, ia harus menerima kenyataan bahwa hubungan mereka memang hanya sebatas kontrak.

Malam itu, setelah mereka berdua terdiam dalam keheningan, Kara dan Hasya tidur terpisah. Kara tidur di ranjang King Size sedang laki-laki itu tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Meskipun tubuh mereka tidak berdekatan, perasaan mereka tetap berputar di dalam pikiran masing-masing.

Kara tahu bahwa keputusan yang mereka buat mungkin akan mengubah banyak hal. Namun, yang ia tahu pasti adalah bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan menentukan nasib mereka berdua—apakah kontrak ini akan berakhir sesuai rencana, atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang akan berkembang di antara mereka?

Untuk sekarang, mereka hanya bisa menunggu dan melihat apa yang akan terjadi.

^^^^

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 35 : Ending Story About Kara-Hasya

    Hujan rintik-rintik turun dari langit kelabu, membasahi jendela kantor Kara yang menghadap kota. Perempuan itu duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata yang tajam dan penuh amarah yang terpendam. Di sampingnya, Hasya berdiri dengan tangan terlipat, menunggu Kara berbicara."Aku sudah menyelidiki semua transaksi keuangan perusahaan selama setahun terakhir," suara Kara akhirnya terdengar, dingin seperti baja yang baru diasah. "Dan hasilnya?"Hasya mendekat, membaca dokumen yang tertera di layar. Matanya membulat. "Alice… dia benar-benar gila."Angka-angka dalam laporan itu berbicara sendiri. Puluhan miliar dana perusahaan telah dialirkan ke rekening-rekening asing, perusahaan fiktif, dan berbagai proyek yang ternyata tak pernah ada. Alice bukan hanya sekadar menyebarkan rahasia Kara ke media, tapi juga telah mengkhianati perusahaan dengan cara yang jauh lebih busuk.Kara mengepalkan tangannya, jemarinya gemetar karena emosi. "Dia pikir aku nggak bakal tahu? Dia pikir aku ak

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 34 : Alice Biang Kerok

    Malam itu, angin berembus pelan, tapi dinginnya menembus hingga ke tulang. Kara duduk di ruang kerja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan dalam kekacauan ini. Hasya berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Kara menggulirkan layar, mencari tahu sumber berita yang telah menghancurkan segalanya.Lalu, di sanalah mereka menemukannya.Nomor ponsel Adrian.Kara mematung. Hatinya menolak percaya. Adrian? Teman lamanya? Orang yang dulu dia anggap sebagai rekan sekaligus seseorang yang pernah ia percayai?Hasya, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Kara, menarik napas dalam. "Kita harus memastikan ini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Kita ke rumah sakit sekarang."Rumah sakit berbau khas antiseptik, bercampur dengan aroma samar kecemasan yang melayang di udara. Langkah Kara dan Hasya cepat, hampir berlari. Mereka bertanya pada perawat, lalu diarahkan ke kamar perawatan Adrian.Namun, sebelum

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 33 : Konferensi Pers

    Ruangan itu sunyi, sepi yang menusuk lebih dalam daripada kemarahan yang baru saja meledak. Hasya berdiri tegak, dadanya naik-turun menahan emosi. Matanya menatap lurus ke arah sang mertua, meski sorot mata lelaki tua itu lebih tajam daripada pisau yang baru diasah.Kara masih memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan tadi, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan kenyataan bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan sesuatu yang—walaupun dia enggan mengakuinya sebelumnya—sudah menjadi bagian dari hatinya.Hasya menelan ludah, lalu maju satu langkah."Ayah," suaranya tegas, tapi tetap penuh hormat. "Saya tahu Anda marah. Saya tahu berita itu mencoreng nama baik keluarga Wihardjo. Tapi sebelum Anda memutuskan sesuatu, biarkan saya bicara."Ayah Kara menatapnya dengan rahang mengeras, tapi tak berkata apa-apa."Kami memang memulai hubungan ini dengan sebuah perjanjian," Hasya melanjutkan, memastikan suaranya stabil. "Kami berdua tahu itu. Kami paham risiko dan konsekuensi

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 32 : Rahasia Terbongkar

    Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 31 : Hasya Galau

    Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 30 : Rahasia yang Diketahui Dhea

    Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status