Karana duduk di ruangannya yang luas dan modern. Dinding kaca di belakang mejanya memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di jantung kota. Namun, pikirannya sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan itu. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sejak pagi. Pernikahannya dengan Hasya baru berusia beberapa minggu, tapi sudah terlalu banyak hal yang harus ia urus. Bukan hanya soal Hasya yang masih kikuk menyesuaikan diri, tetapi juga bagaimana mempertahankan penampilan mereka di depan keluarga dan publik.
Namun, hari ini, masalah baru datang mengetuk pintu. Lebih tepatnya, menghantamnya tanpa ampun. Alice. Sepupunya yang selalu menjadi duri dalam daging sejak mereka kecil. Dari semua orang di dunia ini, Alice adalah orang yang paling Karana harapkan tidak akan menyadari sesuatu yang aneh dalam pernikahannya. Tapi, Karana seharusnya tahu bahwa Alice tidak akan tinggal diam. Alice berjalan memasuki ruangan dengan langkah percaya diri, mengenakan gaun merah yang memeluk tubuhnya sempurna. Bibir merahnya tersenyum sinis. “Kara,” sapanya dengan nada mencibir, “bolehkah aku mengucapkan selamat kepada pengantin baru? Atau aku harus menunggu undangan resepsi mewah kalian?” Karana menekan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Ia tahu ini akan terjadi. Ia sudah mempersiapkan dirinya, tetapi menghadapi Alice selalu membuat darahnya mendidih. “Kalau kau hanya datang untuk mengucapkan selamat, terima kasih. Aku sibuk sekarang,” jawab Karana datar, berharap percakapan ini bisa segera diakhiri. Alice tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. “Oh, aku yakin kau sibuk. Mengatur pernikahan dadakan pasti melelahkan, ya? Apalagi dengan… suami muda yang bahkan baru beberapa bulan bekerja di sini.” Karana menggenggam pena di tangannya lebih erat. “Hasya bukan urusanmu, Alice.” “Oh, tapi dia jadi urusanku.” Alice melangkah lebih dekat, mencondongkan tubuhnya ke meja Karana. “Aku ini keluarga. Aku peduli denganmu, Kara. Aku khawatir kau mungkin membuat keputusan yang… ceroboh.” “Ceroboh?” Karana akhirnya menatap Alice dengan tajam. Alice tersenyum puas, seolah menunggu momen ini. “Ayo, Kara. Kita berdua tahu kau tidak pernah membuka hati setelah Adrian meninggalkanmu seperti pecundang. Lalu tiba-tiba, kau menikahi anak magang yang bahkan tidak punya uang untuk membeli jas yang layak? Kau bisa berbohong pada orang lain, tapi tidak padaku.” Jantung Karana berdegup kencang, tetapi ia berusaha menjaga wajahnya tetap dingin. “Kau terlalu jauh, Alice.” Alice menyandarkan dirinya ke meja. “Atau mungkin aku terlalu dekat dengan kebenaran? Karena itu kau terlihat begitu defensif sekarang?” Karana menatap Alice tajam, tetapi Alice tidak mundur. “Kau tahu apa yang lebih menarik?” lanjut Alice dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan beracun. “Aku sudah memerintahkan orang untuk menyelidiki latar belakang Hasya. Dan kau pasti akan terkejut dengan apa yang kutemukan.” Kali ini, Karana tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia tahu Alice licik, tetapi ia tidak mengira sepupunya itu akan sampai sejauh ini. Alice menangkap ekspresi itu dan tersenyum menang. “Oh, tenang saja. Aku belum akan membocorkan apa pun. Tapi sejujurnya, Kara, aku kecewa. Aku kira kau lebih pintar dari ini. Memilih pria yang jelas-jelas putus asa hanya untuk menutup mulut keluargamu? Itu bukan gaya seorang Karana Wihardjo.” Karana berdiri dari kursinya, menatap Alice dengan mata tajam. “Cukup, Alice. Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Pernikahanku bukan urusanmu. Dan jika kau berani mencampuri hidupku lagi, aku tidak akan tinggal diam.” Alice tertawa lagi. “Kita lihat saja nanti.” Ia berbalik dan berjalan keluar dengan angkuh, meninggalkan Karana dengan perasaan campur aduk. ^^^^ Karana duduk di kursinya dengan tangan yang gemetar. Ia tahu Alice tidak akan berhenti begitu saja. Dan jika latar belakang Hasya benar-benar diselidiki, maka kebenaran tentang pernikahan mereka pasti akan terungkap. Namun, bagian terburuknya bukanlah ketakutan akan terbongkarnya rahasia. Yang membuat Karana benar-benar gelisah adalah kenyataan bahwa, meskipun ini semua dimulai sebagai kesepakatan bisnis, ia mulai peduli pada Hasya lebih dari yang seharusnya. Ia menggenggam ponselnya dan membuka pesan singkat dari Hasya. Pesan sederhana itu mengatakan bahwa Hasya akan pulang lebih awal malam ini karena ingin menemani kakaknya di rumah sakit. Karana menutup matanya dan menarik napas panjang. Ia tidak bisa membiarkan Alice menghancurkan ini—menghancurkan mereka. ^^^^ Alice menyesap anggur merahnya di balkon apartemen mewahnya. Laporan tentang Hasya tergeletak di mejanya, berisi semua informasi yang ia butuhkan untuk menjatuhkan Karana. “Ini baru permulaan, Kara,” bisiknya dengan seringai licik. “Aku akan pastikan kau jatuh dari singgasanamu. Dan kali ini, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu.” Alice memandangi foto Hasya di laporan itu. Laki-laki itu mungkin tidak menyadari bahwa ia baru saja menjadi pion dalam permainan berbahaya yang Alice mulai jalankan. “Yatim piatu, tinggal bersama kakaknya yang sakit… tunggakan rumah sakit… jumlah hutang yang hampir menembus batas.” Pria itu tersenyum puas sebelum mengirim laporan kepada Alice. “Anak ini mudah dihancurkan,” gumamnya. ^^^^ Hasya duduk di sofa, mencoba merapikan dasi yang ia kenakan untuk latihan menghadiri acara formal bersama Karana. Ia masih merasa canggung di dunia ini—dunia yang penuh kemewahan dan kebohongan. Namun, ia tahu ia harus bertahan. Demi kakaknya, ia tidak bisa membiarkan apa pun menghancurkan perjanjian ini. Saat Karana pulang, wajahnya terlihat lelah dan tegang. Hasya mencoba menyapanya, tetapi Karana hanya memberikan senyuman tipis sebelum langsung menuju kamarnya. Hasya menatap punggung Karana yang menghilang di balik pintu dan merasa ada sesuatu yang salah. Namun, ia tidak berani bertanya. Tidak malam ini. ^^^Hujan rintik-rintik turun dari langit kelabu, membasahi jendela kantor Kara yang menghadap kota. Perempuan itu duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata yang tajam dan penuh amarah yang terpendam. Di sampingnya, Hasya berdiri dengan tangan terlipat, menunggu Kara berbicara."Aku sudah menyelidiki semua transaksi keuangan perusahaan selama setahun terakhir," suara Kara akhirnya terdengar, dingin seperti baja yang baru diasah. "Dan hasilnya?"Hasya mendekat, membaca dokumen yang tertera di layar. Matanya membulat. "Alice… dia benar-benar gila."Angka-angka dalam laporan itu berbicara sendiri. Puluhan miliar dana perusahaan telah dialirkan ke rekening-rekening asing, perusahaan fiktif, dan berbagai proyek yang ternyata tak pernah ada. Alice bukan hanya sekadar menyebarkan rahasia Kara ke media, tapi juga telah mengkhianati perusahaan dengan cara yang jauh lebih busuk.Kara mengepalkan tangannya, jemarinya gemetar karena emosi. "Dia pikir aku nggak bakal tahu? Dia pikir aku ak
Malam itu, angin berembus pelan, tapi dinginnya menembus hingga ke tulang. Kara duduk di ruang kerja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan dalam kekacauan ini. Hasya berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Kara menggulirkan layar, mencari tahu sumber berita yang telah menghancurkan segalanya.Lalu, di sanalah mereka menemukannya.Nomor ponsel Adrian.Kara mematung. Hatinya menolak percaya. Adrian? Teman lamanya? Orang yang dulu dia anggap sebagai rekan sekaligus seseorang yang pernah ia percayai?Hasya, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Kara, menarik napas dalam. "Kita harus memastikan ini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Kita ke rumah sakit sekarang."Rumah sakit berbau khas antiseptik, bercampur dengan aroma samar kecemasan yang melayang di udara. Langkah Kara dan Hasya cepat, hampir berlari. Mereka bertanya pada perawat, lalu diarahkan ke kamar perawatan Adrian.Namun, sebelum
Ruangan itu sunyi, sepi yang menusuk lebih dalam daripada kemarahan yang baru saja meledak. Hasya berdiri tegak, dadanya naik-turun menahan emosi. Matanya menatap lurus ke arah sang mertua, meski sorot mata lelaki tua itu lebih tajam daripada pisau yang baru diasah.Kara masih memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan tadi, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan kenyataan bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan sesuatu yang—walaupun dia enggan mengakuinya sebelumnya—sudah menjadi bagian dari hatinya.Hasya menelan ludah, lalu maju satu langkah."Ayah," suaranya tegas, tapi tetap penuh hormat. "Saya tahu Anda marah. Saya tahu berita itu mencoreng nama baik keluarga Wihardjo. Tapi sebelum Anda memutuskan sesuatu, biarkan saya bicara."Ayah Kara menatapnya dengan rahang mengeras, tapi tak berkata apa-apa."Kami memang memulai hubungan ini dengan sebuah perjanjian," Hasya melanjutkan, memastikan suaranya stabil. "Kami berdua tahu itu. Kami paham risiko dan konsekuensi
Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al
Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea
Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara